Pertanyaan berikutnya: pada saat pemerintah Indonesia melakukan Land Reform, atau dalam hal ini bisa diartikan Sea Reform, apakah seperti masyarakat adat lainnya Orang Suku Laut ikut menyulut perdebatan, apalagi melakukan pertentangan sengit?
Jawabannya: tidak. Bagi mereka, apa itu Land Reform? Kelana-kelana laut tersebut tak mengerti hal-hal seperti itu. Mereka buta huruf dan tak pernah mengenyam pendidikan formal sepanjang hidupnya.Â
Mereka menganggap lautan adalah hak milik semuanya, dan sibuk berlayar kian-kemari menangkap ikan di samudera luas. Mereka selalu menangkap ikan secukupnya saja -- tak pernah berlebihan - dengan menggunakan serampang atau tombak ikan sederhana dengan cara seperti yang diturunkan oleh nenek moyangnya.
Hingga tibalah masa, di mana mereka menyadari kehidupan mereka berubah. Tiba-tiba saja mereka terjepit oleh kekuatan-kekuatan yang mengancam di wilayah mereka sendiri, di rumah mereka sendiri. Inilah kekuatan pasar global yang tak bisa dihindari.Â
Investasi trans-nasional mengalir dalam bentuk teknologi dan sumber daya yang tak lagi menyebabkan hasil laut hanya diambil secukupnya -- namun dieksploitasi sebanyak-banyaknya.Â
Kemudian kebutuhan akan tanah dan lautan juga menciptakan banjir migrasi pemukim baru ke wilayah-wilayah yang selama ini mereka anggap rumah mereka sendiri.
Selama ini mereka adalah 'the voiceless people' -- orang-orang yang tak mampu bersuara. Orang-orang yang seperti ada, tapi tiada. Buta huruf, tak berpendidikan, gamang menghadapi perubahan hidup, tak punya lembaga adat, dan tak punya lembaga pendamping -- kecuali baru-baru ini saja ada Yayasan Kajang, sebuah lembaga nirlaba yang didirikan pada tahun 2018 dengan tujuan mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak Orang Suku Laut.
Sekitar 800-an kepala keluarga yang terdiri dari 4000-an jiwa yang tersebar di Kabupaten Lingga inilah yang sekarang menjadi sasaran empuk bagi para tengkulak-tengkulak dagang yang ingin mencari untung, bagi para politisi yang memerlukan suara dalam Pilkada, maupun bagi para para misionari dan penyebar agama.
Saking semangatnya para penyebar agama berlomba mengonversi Orang Suku Laut, ini pun menciptakan kisah-kisah unik tersendiri. Seringkali dalam satu keluarga, kepala keluarga, isteri, atau pun anak-anak memiliki agama yang berbeda-beda -- tetapi mereka tetap bisa hidup rukun dan damai.Â
Ada juga yang berpindah-pindah dari satu agama ke agama lainnya demi mengharmoniskan diri dengan seluruh keluarga. "Saya tadinya memeluk Islam, tapi karena tiba-tiba anak dan istri saya memeluk Kristen, maka saya pun pindah ke Kristen," ujar Pak Sari, salah seorang tetua Orang Suku Laut di Tereh.