Mohon tunggu...
Laksmi Haryanto
Laksmi Haryanto Mohon Tunggu... Freelancer - A creator of joy, a blissful traveler who stands by the universal love, consciousness, and humanity.

As a former journalist at Harian Kompas, a former banker at Standard Chartered Bank and HSBC, and a seasoned world traveler - I have enjoyed a broad range of interesting experience and magnificent journey. However, I have just realized that the journey within my true SELF is the greatest journey of all. I currently enjoy facilitating Access Bars and Access Energetic Facelift sessions of Access Consciousness - some extraordinary energetic tools of cultivating the power within us as an infinite being.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kelana Laut yang Gamang, Akankah Kalian Bertahan?

26 Maret 2020   16:41 Diperbarui: 28 Maret 2020   14:52 989
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bunda Densy dari Yayasan Kajang dan anak-anak Suku Laut. | Sumber gambar: Dokumentasi pribadi.

Pertanyaan berikutnya: pada saat pemerintah Indonesia melakukan Land Reform, atau dalam hal ini bisa diartikan Sea Reform, apakah seperti masyarakat adat lainnya Orang Suku Laut ikut menyulut perdebatan, apalagi melakukan pertentangan sengit?

Jawabannya: tidak. Bagi mereka, apa itu Land Reform? Kelana-kelana laut tersebut tak mengerti hal-hal seperti itu. Mereka buta huruf dan tak pernah mengenyam pendidikan formal sepanjang hidupnya. 

Mereka menganggap lautan adalah hak milik semuanya, dan sibuk berlayar kian-kemari menangkap ikan di samudera luas. Mereka selalu menangkap ikan secukupnya saja -- tak pernah berlebihan - dengan menggunakan serampang atau tombak ikan sederhana dengan cara seperti yang diturunkan oleh nenek moyangnya.

Hingga tibalah masa, di mana mereka menyadari kehidupan mereka berubah. Tiba-tiba saja mereka terjepit oleh kekuatan-kekuatan yang mengancam di wilayah mereka sendiri, di rumah mereka sendiri. Inilah kekuatan pasar global yang tak bisa dihindari. 

Investasi trans-nasional mengalir dalam bentuk teknologi dan sumber daya yang tak lagi menyebabkan hasil laut hanya diambil secukupnya -- namun dieksploitasi sebanyak-banyaknya. 

Kemudian kebutuhan akan tanah dan lautan juga menciptakan banjir migrasi pemukim baru ke wilayah-wilayah yang selama ini mereka anggap rumah mereka sendiri.

Rumah-rumah Orang Suku Laut. | Sumber gambar: Dokumentasi pribadi.
Rumah-rumah Orang Suku Laut. | Sumber gambar: Dokumentasi pribadi.
Pada saat terumbu karang dibom dan dirusak oleh kapal-kapal berteknologi, pada saat pasir-pasir putih di pulau-pulau yang indah di pemukiman mereka dikeruk habis-habisan, pada saat pohon-pohon dan hutan bakau dibabat, pada saat hewan-hewan lautan menjadi langka, pada saat ekosistem mereka dirusak, bahkan pada saat eksistensi mereka malah dihakimi sebagai penghalang jalannya pembangunan -- di mana suara mereka? Tak ada. 

Selama ini mereka adalah 'the voiceless people' -- orang-orang yang tak mampu bersuara. Orang-orang yang seperti ada, tapi tiada. Buta huruf, tak berpendidikan, gamang menghadapi perubahan hidup, tak punya lembaga adat, dan tak punya lembaga pendamping -- kecuali baru-baru ini saja ada Yayasan Kajang, sebuah lembaga nirlaba yang didirikan pada tahun 2018 dengan tujuan mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak Orang Suku Laut.

Sekitar 800-an kepala keluarga yang terdiri dari 4000-an jiwa yang tersebar di Kabupaten Lingga inilah yang sekarang menjadi sasaran empuk bagi para tengkulak-tengkulak dagang yang ingin mencari untung, bagi para politisi yang memerlukan suara dalam Pilkada, maupun bagi para para misionari dan penyebar agama.

Saking semangatnya para penyebar agama berlomba mengonversi Orang Suku Laut, ini pun menciptakan kisah-kisah unik tersendiri. Seringkali dalam satu keluarga, kepala keluarga, isteri, atau pun anak-anak memiliki agama yang berbeda-beda -- tetapi mereka tetap bisa hidup rukun dan damai. 

Ada juga yang berpindah-pindah dari satu agama ke agama lainnya demi mengharmoniskan diri dengan seluruh keluarga. "Saya tadinya memeluk Islam, tapi karena tiba-tiba anak dan istri saya memeluk Kristen, maka saya pun pindah ke Kristen," ujar Pak Sari, salah seorang tetua Orang Suku Laut di Tereh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun