Keesokan paginya ia beranikan diri mengulangi pertanyaan yang sama pada ibunya. "Ayah ke mana, Bu? Mengapa sampai sekarang tidak pulang-pulang? "Sampai kapan ibunya mesti berbohong pada anaknya yang hampir berusia 10 tahun itu? "Ayahmu masih sibuk di bulan! Tidak boleh diganggu!" kata ibunya agak ketus.
Si anak tidak puas dengan jawaban ibunya yang itu-itu saja. Ia mulai berani membantah. "Tapi, temanku si bidadari bilang, tidak ada siapa-siapa di bulan!"
"Apa? Bidadari?! Sejak kapan kau punya teman bidadari? Kau sudah gila, ya?!" ujar ibunya kesal. "Sekarang kau mandi dan pergi sekolah. Dan, jangan ulangi lagi pertanyaan bodohmu itu! Ibu sudah capek, mengerti kau?!"
Ketika Paman pindah tugas ke Jakarta, aku pun mengikutinya, dan melanjutkan pendidikan di sana. Sebenarnya beberapa kali Paman menyuruhku mengunjungi Ibu, tapi aku tidak pernah mau dengan alasan sibuk kuliah dan mengurusi berbagai kegiatan yang menyita waktuku di sebuah lembaga swadaya masyarakat yang kudirikan bersama kawan-kawan. Aku pulang ke kampung. Sejak tadi, aku berharap menemukan kawan-kawan sepermainanku ketika masih bocah. Aku ingin mendengar kisah mereka selama aku minggat dari rumah. Tentu mereka terkejut melihat kemunculanku yang tiba-tiba. Mungkin mereka sudah beristri dan beranak. Atau mungkin mereka tidak lagi mengenaliku. Tapi, tidak satu pun kutemukan mereka. Di manakah Ole, Sindu, Arcana, Pala? Ke mana mereka pergi? Mengapa mereka tidak hadir di pura? Padahal ini odalan besar yang hanya dirayakan enam bulan sekali. Apa mereka juga telah menjadi orang-orang kualat seperti aku?
Lelah mencari mereka, aku mampir di sebuah kedai kopi yang sepi pengunjung. Belum habis kopi dalam gelas, aku dikejutkan oleh kehadiran perempuan tua yang masuk ke dalam kedai melalui pintu belakang. Rambutnya separuh memutih, namun parasnya masih membiaskan kecantikan masa lalu. Aku hapal betul bentuk tulang hidungnya yang keras dan mancung. Aku merasakan sorot mata itu masih seperti dulu, penuh pancaran luka dan dendam, entah pada apa. Aku pernah akrab dengan mata itu! Tidak salah lagi, dia ibuku.
Ibu menatapku dengan pandangan aneh dan penuh selidik yang membuat gadis penjaga kedai menjadi tidak enak padaku. Apa Ibu masih mengenaliku? Dua puluh tiga tahun telah berlalu. Aku ingin memeluk Ibu dan berlutut di kakinya. Tapi niat luhur itu kutekan kuat-kuat dalam batinku. Ibu masih menatapku seperti melihat mahluk aneh.
"Mau apa kau ke sini?" tanya Ibu, nadanya penuh curiga.
Aku terdiam. Rupanya dia masih mampu mengenaliku. Mungkin kepahitan hidup yang telah menempa ingatannya menjadi kuat.
"Bukankah di kota hidupmu telah makmur! Buat apa ke sini lagi?!" Nada bicara Ibu masih belum ramah. Agaknya Ibu masih menyimpan marah karena aku minggat dan tidak mau balik ke desa. Sekilas aku melihat gadis di sebelah Ibu kebingungan, tidak tahu apa yang mesti dilakukannya. Dia mencoba menenangkan Ibu.
"Bu, maafkan saya. Saya telah banyak mengecewakanmu. Saya ke sini mencari Ayah. Apa Ayah sudah pulang dari bulan, Bu?" Dengan perasaan campur-aduk, aku mencoba menggoda dan menyindir Ibu.
"Ayahmu sudah mati!" ujar Ibu ketus.