"Pagi, Bu."
"Pagi Zah, gimana kabarnya?" ujarnya
"Baik, Bu. Hmm.. Bu, hari ini aku ketemu dia dan aku memilih pilihan pertama."
"Baik, jika itu keputusanmu, siapkan hati untuk setiap jawabannya nanti."
Bu Ira meningalkan aku di parkiran karena harus segera menuju ruang guru untuk persiapan mengajar.
Tak terasa jam sekolah pun selesai dan aku mengajak beberapa teman untuk membantuku bertemu Kak Rian, takutnya nanti ketahuan oleh guru. Aku memutuskan untuk bertemu di pintu musala yang kebetulan berada di sudut sekolah. Jujur saja aku merasa canggung dan takut padahal aku sudah sering bertemu namun beda dengan kali ini. Tak berselang lama Kak Rian datang dan aku bingung harus memulai percakapan ini.
"Jadi, mau bilang apa? Sepenting itu sampai harus ketemu?" ujarnya
"Kenapa diam? Nanti jika kelamaan ketahuan loh sama guru," lanjutnya lagi
"Maaf Kak, aku nggak tahu harus memulainya. Namun, akan kucoba. Sudah kurang lebih satu bulan kakak di sini dan selama itu pula kita menjalin komunikasi, aku tahu pasti kakak paham maksudku dan yaa.. aku juga nggak menginginkan perasaan ini datang gitu, tapi yaa bagaimana? Kedekatan yang terjadi sebulan ini membuatku merasa nyaman, namun aku tahu ini semua salah dan sangat salah dengan posisi dan keadaan yang saat ini," jelasku dengan penuh rasa tegang.
"Zah, maaf saya nggak bisa menerima ini semua, pertama saya di sini guru kamu dan kamu siswi saya, kedua ini hanya sekadar perasaan yang salah untuk kamu dan terakhir saya. Umur saya tidak sepadan denganmu dan tidak mungkin lagi. Jadi terima kasih atas perhatian dan kenyamanannya juga selama ini ya. Ah, ya, saya duluan. Ada yang mau dikerjakan. Permisi."Â
Setelah mengatakan itu, Kak Rian meninggalkanku yang diam beribu bahasa dan aku bingung, jadi aku harus bagaimana?