Bel istirahat pun berbunyi
"Karena bel sudah berbunyi silakan istirahat terlebih dahulu setelah itu kita akan melanjutkan pembelajaran." Saat ini aku belajar sejarah dan masih satu jam setelah istirahat untuk melanjutkan. Aku bergegas menuju ke ruangan mahasiswa ppl dan mengurung niatku untuk ke kantin, kupikir aku akan ke kantin siang nanti saja.
"Zahh, mau kemana? Ayo ke kantin!" Saat ingin meninggalkan kelas, Ope memanggilku.
"Ah, duluan aja! Aku mau ketemu Bu Ira dulu." Aku tak ingin jawab terlalu banyak takutnya mereka akan curiga, bukan tak ingin berbagi kepada mereka, namun belum siap untuk menyampaikan kepada mereka selaku sahabat-sahabatku.
"Assalamu'alaikum," ujarku saat masuk ke ruangan dan kebetulan Bu Ira sendiri dan aku harus cepat-cepat sebelum teman-teman Bu Ira datang.
"Wa'alaikumsalam. Eh, Zah, ayoo duduk! Gimana? Ada masalah?" Ahh Bu Ira sudah paham sekali bahwa aku sedang tidak baik-baik saja, mungkin dengan bertemu dengannya adalah hal yang tepat.
"Hmm... Bu, aku harus gimana sekarang, seperti yang pernah kusampaikan waktu itu. Kupikir hanya akan sementara ternyata kian larut bahkan semakin membesar saja. Jadi, aku harus bagaimana?" Ya benar, aku sempat bertemu Bu Ira satu minggu yang lalu saat pulang sekolah dan bercerita sedikit mengenai hal yang kurasakan saat itu. Aku meyakinkan diriku sanggup menahannya, ternyata tidak.
"Sudah Ibu katakan, pasti itu akan terjadi. Ada dua pilihan, pertama kamu sampaikan namun dengan konsekuensi kamu harus menerima apapun keputusannya nanti, entah itu baik ataukah tidak. Lalu pilihan kedua, kamu diam dan menikmati apapun kondisi kamu saat ini dengan konsekuensi juga kamu harus siap untuk sakit."
Aarrrggghh... pilihan macam apa ini? pikirku. Bagaimana mungkin aku akan sanggup memilih salah satu diantaranya dan itu sama-sama sulit bagiku.
"Jadi, bagaimana Zah? Di sini Ibu tidak ingin menyalahkanmu karena semua hak hatimu dan hal itu lumrah. Kamu harus tau konsekuensinya ketika kamu telah masuk pada ruang yang tak seharusnya kamu masuki." Ya, aku pikir benar yang dikatakan oleh Bu Ira.
"Bu, aku tidak tahu akan memilih apa. Sungguh ini sangat berat, Bu. Biarkan hati dan pikiranku tenang dalam dua hari ini. Kupastikan akan ada keputusan yang akan kuambil diantara pilihan tadi, kupastikan itu." Bu Ira memelukku. Ia menguatkan aku untuk bisa memutuskan itu.