"Aku juga sayang banget sama kamu, Ra. Kamu wanita hebat. Aku yakin kamu bisa nemuin orang yang jauh lebih baik dari aku. Doaku gak pernah putus supaya kamu bahagia. Sahara Anindita, kesayangan Nino Fabian, kamu harus ingat, your happiness is as important as mine."
Sorot mata mereka bertemu. Menarik kembali semua memori yang tercipta. Dahulu keduanya saling melindungi, kini harus saling merelakan. Saling meragukan kebahagiaan masing-masing karena sesungguhnya kebahagiaan mereka telah jelas, ketika mereka saling melempar cinta.
"I've learned a lot, about love, about life, about everything. Untuk itu, aku mau makasih banget sama kamu. You changed me, to be more positive. Kamu selalu jadi yang pertama buat aku, kamu bakal selalu ada di sini selamanya. Tapi, aku harap kita gak akan pernah ketemu lagi. Cukup namamu, dan kenangan-kenangan itu yang bakal aku jaga. I know you will be happy with her even though I don't want it. I hope your moments can turn into something longer, something long-lasting. Gak kaya kita sekarang."
"Ra, please. Kita masih bisa temenan, kan? Aku mau tetep jagain kamu apapun caranya."
"Cukup, Nino. Dulu aku belajar tentang mencintai. Sekarang biarkan aku belajar satu hal yang belum aku pelajari. Semoga aku bisa ngelupain kamu, ya." Ujar Ara setengah tertawa. Genggaman terlepas. "Aku pergi, ya?" Akhirnya jarak mereka pelahan semakin menjauh. Dalam hati Nino sangat ingin menarik kembali tubuh Ara. Mengatakan sebuah kalimat yang rutin ia ucapkan, namun kakinya tertahan. Hingga bayangan Ara ikut menghilang bersama semua kisah dan harapan yang melebur di setiap hembusan angin siang itu.
xxx
Terhitung sudah lebih dari lima belas menit Ara bungkam tanpa suara. Seluruh es pada jus pisangnya telah mencair dan semangkuk sup rumput laut di depannya juga telah dingin. Di ujung sana Gian masih memperhatikan Ara yang mematung, tanpa ada keinginan untuk menginterupsi sahabatnya itu.
"Ra, itu hape lo bunyi ada yang nelpon tuh angkat dong."
"E-emang punya gue? Bukannya punya lo ya?
"Ra coba lo liat deh hape lo sekarang." Ara meraih ponselnya dan seketika mematikannya. Gian hanya berdecih.
"Ra, ngapain sih lo, daritadi sok tegar." Gian menghampiri Ara. "Lo tuh lagi gak baik-baik aja." Entah mengapa benteng pertahanan yang sudah dibangun selama dua hari ini runtuh begitu saja. Dua hari setelah perpisahannya dengan Nino, akhirnya ia menumpahkan segala emosinya dan menangis. Gian hanya memeluknya tanpa berkata apa-apa. Kini Gian tahu, prediksinya benar, bahwa Ara akan sebegini hancurnya. Dari cerita sebelumnya, Gian sudah dapat menangkap betapa besarnya cinta Ara pada Nino -- yang sampai sekarang Gian tak tau bagaimana wujud seorang Nino.