Dari jarak 2 meter Gian bisa menangkap ekspresi Ara yang sangat cerah, binar matanya dan pipinya bersemu. Sahabatnya ini memang tidak pernah berpacaran. Berpikir untuk dekat dengan lelaki lain selain Gian pun tidak pernah. Bukan karena terlalu cuek atau tidak percaya kekuatan cinta, namun Ara belum memprioritaskan itu. Menurut Gian, Ara adalah orang yang cukup ambisius, passionate, dan keras kepala untuk mencapai apa yang menjadi cita-citanya. Apa yang Ara inginkan harus ia dapatkan. Kadang sifat ini membuat Gian pusing pasalnya Ara siap menerjang opsi terburuk dalam hidupnya dan Gian selalu ada sebagai penarik jika Ara sudah kelewat batas. Dulu, Gian selalu khawatir jika tidak ada laki-laki yang kuat mengurus anak ini. Sekarang, seperti oksigen yang lama tersekat di paru-parunya yang akhirnya dapat menguap.
"Gi, lo tau kan gue anaknya emang ambisius. Gue anak cewek pertama. Dari kecil gue udah jadi pemimpin setidaknya untuk adek-adek gue. Waktu papah meninggal, tanggung jawab gue makin besar di keluarga. Gue jadi makin terbiasa buat jadi pemimpin di mana pun gue berada. Gue selalu bertanggung jawab atas banyak hal. Sampe sekarang bahkan, gue responsible sama bawahan gue. Kadang, rasanya gue pengen ngasih tanggung jawab gue ke orang lain dan gak usah mikir apa-apa lagi. Kadang gue tertekan dan pengen orang lain angkat beban itu dari pundak gue. Then he came, told me I did well. It's like he's telling me that everything's gonna be okay. Akhirnya gue bisa jadi powerless dan ada dia yang kendaliin gue. Ngontrol gue, ngendaliin isi pikiran gue, rasanya ringan."
Gian menahan napas mendengarnya. Ada makna tersirat soal rasa merana yang Ara kubur dalam-dalam dengan superioritas yang fana. "I see. Kayaknya dia emang pantas dapet kepercayaan lo, Ra."
"More than deserve. Gue sama dia udah kaya simbiosis mutualisme." Ara tidak dapat menahan rasanya yang membludak. Ia amat jatuh, dan tak tahu bagaimana cara keluar dari jurang ini. "Gue sayang banget sama dia, Gi. I love talking to him, because when I do, I hear myself."
Gian berani bersumpah seumur hidupnya baru kali ini ia melihat Ara tampak terang. Ada pancaran harapan di sana, kebahagiaan yang rasanya sulit didapat. Untuk itu, Gian dalam hati berdoa agar harapan itu terus bertahan. Cahaya mentari perlahan menghilang. Kedua sahabat itu kini menyantap hasil jerih payah Gian sedari sore.
"Gimana hah?" ucap Gian kala mereka selesai dengan makan malamnya.
"Gimana apanya?" Ara terheran.
"Jadi bikin exposing thread gak?" Gian terkekeh.
"Gak ah, males gue."
"Yoi secara makanan gue enak gini. Hahaha...aww!" Dahi Gian disentil kuat oleh Ara. Melihat Gian meringis kesakitan, Ara tertawa lebar. "Ohiya, Ra."
"Hm?"