"Nino? Istri kamu?"
"She's okay. Ra, makasih ya kamu masih mau nyempetin datang ke sini. Jujur ini semua berat buat aku. Kamu tau aku sayang banget sama kamu. Tapi ternyata aku gak bisa apa-apa lagi. Maaf Ra, aku powerless, aku gak punya pilihan, dan aku gak bisa perjuangin kamu." Rahang Ara mengetat, sakit hati jelas. Ada luka dalam bola matanya dan Nino dapat melihatnya.
"You're hurting me, Nino. You broke our promises"
"I know." Nino terdengar putus asa. "Aku bernazar buat ngelakuin apa aja supaya dia siuman dari komanya. Tapi aku gak pernah expect dia bakal minta aku buat nikahin dia. I know I'm stupid. Maafin aku, Ra."
Cairan di pelupuk mata sudah tak terbendung. Mereka lolos begitu saja, menyiratkan betapa pedihnya luka yang Ara simpan sendiri selama ini. Saat itu, Ara bukan lagi seorang wanita kuat, bukan wanita ambisius yang siap menerjang risiko apapun, bukan seorang manajer kebanggaan perusahaannya. Ara hanya seorang wanita yang kisah cinta pertamanya sangat manis namun berakhir menyakitkan. Maka, ia mengizinkan dirinya menangis saat itu, di hadapan orang terkasihnya, yang berdiri sebagai sebab akibat.
"Ra, selama ini, aku gak pernah segini sayangnya sama orang. Cuma kamu. You're one of the most genuine girls I've ever met and I know you don't deserve any of this. Aku ngerasa paling bahagia pas bareng sama kamu. Meski cuma sebentar. Aku pengen hidup sama kamu selamanya. Tapi ternyata takdir kita kayak gini. Aku-"
"Udah, Nino. Kalau kamu bilang semua ini cuma biar kamu ngerasa lega, ngerasa gak bersalah lagi sama aku, lebih baik gak usah. Aku bahkan udah gak tau gimana aku bakal hidup setelah ini, setelah kamu jadi milik orang lain. Aku gak tahu gimana rasanya bangun tidur tanpa chat selamat pagi, atau selamat tidur, tanpa ucapan I love you dari kamu. Gimana rasanya merelakan mimpi-mimpi indah kita yang dulu selalu kita bahas tapi sekarang, mikirin itu rasanya jadi salah. No, apa aku bisa bahagia setelah ini, No? Apa bisa?"
Banyak tamu undangan yang datang. mereka berkumpul, bersuka cita, menyantap hidangan yang tersedia sambil bertukar cerita dan gelak tawa. Tanpa menyadari bahwa cukup jauh di ujung sana, ada dua orang yang kesulitan menata hati masing-masing yang hancur. Sudah berapa banyak air mata tumpah hanya dalam hitungan menit, karena sekarang Nino pun menangis. Lukanya sama dengan Ara, dan rasa bersalahnya seperti meneteskan cuka pada luka yang menganga.
"Ra, aku juga gak tau apa ini keputusan yang tepat. Tapi aku gak bisa mengubah keadaan. Satu hal yang aku tau, Ra. Nothing last forever. Even the best thing has its ending. Termasuk sama kamu. We had our moments, didn't we? We had all those beautiful moments. Tapi kadang, momen selamanya bakal cuma jadi momen, yang cuma bisa kita ingat nantinya. Gak semua hal manis ini harus berakhir di pernikahan, gak semua hal harus berlangsung selamanya. Mungkin emang kita ditakdirkan untuk punya momen selama beberapa bulan. Tapi itu salah satu momen terbaik di hidup aku, though it doesn't last forever."
Tangan Ara diraih, dipegang erat. Menyadari bahwa inilah kali terakhir kedua tangan ini dapat berpaut. Genggaman yang dahulu sangat hangat, saling menguatkan. Genggaman yang menandai kepemilikan satu sama lain. Namun sekarang genggaman itu punya arti lain yang tidak pernah mereka inginkan. Mata keduanya sembab, tapi Nino berusaha menormalkan semuanya. "Ra, momen indah bakal tetap jadi momen indah, gak peduli seberapa lama itu. Gak ada yang bisa ganti itu. Gak ada yang bisa ambil itu dari kita. Walaupun aku gak yakin sekarang, tapi semoga ini menjadi hal yang terbaik buat kita berdua."
"Aku sayang banget sama kamu, Nino. Aku kira aku bisa egois in the name of love, tapi ternyata aku gak bisa. It sucks. I hate it, I hate this feeling."