Jum’at, 18 November 2016 saya memutuskan untuk mengunjungi sanak keluarga saya di Pamekasan, salah satu kabupaten yang berada di pulau Madura. Rencananya saya seminggu tinggal disana sebelum bercengkrama kembali dengan macetnya ibu kota. Saya merasa perlu berlibur, pergi sementara dari kota Jakarta yang akhir-akhir ini sering banjir bukan karena hujan tetapi karena manusia yang membajirinya yang entah kiriman dari mana dan kabarnya tanggal 2 Desember akan ada ‘banjir’ susulan lagi.
Tak mau dibuat pusing oleh semua kejadian di ibu kota, tanpa berpikir panjang saya langsung memesan tiket pesawat jurusan Jakarta-Surabaya hari itu juga. Saya mengontak keluarga saya yang di Pamekasan dan mereka siap untuk menjemput saya di bandara Juanda, Surabaya. Sekitar pukul 19.00 WIB, pesawat take off dari bandara Soekarno-Hatta, Jakarta menuju Surabaya dan Alhamdulillah lebih kurang satu jam kemudian, Alhamdulillah pesawat landing dengan selamat. Keluarga saya ternyata sudah menunggu saya di arrival gate.Dan tanpa berlama-lama kamipun langsung menuju Pamekasan. Dan sepanjang perjalanan banyak hal yang kami obrolkan.
“ Jen, malam senin ikut aku yuk??” tanya Afgan, sepupu saya
“ kemana Gan?”
“ nonton Madura United Vs Persija di stadion Pamekasan”
“emang sudah jadi stadionnya?”
“ iyalah..... resmi di buka hari ini, jadi sekarang Pamekasan sudah punya stadion. Gimana? Ikut kan?”
“ oke deh tapi beliin ya tiketnya, hehe.. terus kalo aku dukung Persija, gak bakalan di bacok kan?”
“ kali ini kamu kudu dukung Madura, titik!”
“Aiiiiiiish....”
Dan setelah lebih kurang 3 jam perjalanan, akhirnya kami sampai di tempat tujuan, kota Pamekasan.
****
Minggu, 20 November 2016, jam menunjukkan pukul 16.00 WIB alias pukul empat sore, saya bersama Afgan, juga beberapa temannya bersiap-siap pergi ke stadion Pamekasan untuk menonton pertandingan sepak bola antara Madura United Vs Persija seperti yang dikatakan Afgan Jum’a lalu. Kami memilih berangkat lebih awal karena tidak mau berdesakan saat pintu masuk dibuka. Rupanya sesampainya di stadion kami harus menunggu temannya Afgan yang lain, katanya biar kompak, saya memilih nurut saja. Setelah semuanya datang, kamipun masuk dan memilih tempat duduk yang pas untuk melihat pertandingan. Sekitar pukul 7 malam pertandingan dimulai, cukup berjalan seru, dan berakhir 1-0 untuk kemenangan tuan rumah Madura United.
Entah saya harus bahagia atau sedih dengan hasil tersebut, cukup membingungkan bagi saya yang keturunan campuran Madura-Jakarta hehe. Sekitar pukul 9 malam WIB kami sudah keluar dari stadion dan berniat untuk makan malam. Tapi tiba-tiba kami dikejutkan kabar bahwa ada pembunuhan tak jauh dari lokasi stadion, kabarnya korbannya di mutilasi dulu kemudian dibakar. Saya yang mendengarnya cukup ketakutan tapi penasaran juga. Kami berinisiatif untuk melihat langsung ke lokasi kejadian. Sesampainya disana, terlihat kerumunan masyarakat yang mungkin tak kalah penasarannya dari kami sampai-sampai kami tak bisa menembus kerumunan tersebut agar bisa melihat langsung apa yang terjadi di depan sana.
“Lewat belakang yuk!”Ajak salah seorang teman Afgan, katanya dia tahu ada jalan kecil di belakang rumah tempat kejadian perkara dan kami bisa melihatnya dari sana tanpa perlu berdesakan. Kamipun menyetujuinya. Karena jalannya tidak cukup untuk mobil, kami terpaksa jalan kaki dan menitipkan mobil di rumah seorang warga yang tidak jauh dari TKP.
Kami harus memutar dulu untuk masuk lewat jalur belakang, jalannya sempit, gelap dan becek. Berbekal lampu HP, kamipun berjalan memutar sekitar 100 meter, dan akhirnya kami sampai juga di pintu belakang. Jarak dari pintu belakang ke pintu depan tempat kerumunan orang ternyata tidak sedekat yang saya kira, kurang lebih 50 meter, kami masih harus berjalan kaki untuk sampai ke depan. Untungnya disana kami tidak perlu lagi menggunakan HP sebagai alat penerang jalan. Sudah ada lampu yang cukup untuk menerangi jalan.
“Pelan-pelan ya jalannya, ngendap kalau perlu”Imbau teman Afgan yang puny ide untuk lewat pintu belakang
“emang kenapa?”
“ dengar-dengar sih Pelaku dah beberapa kali membunuh dan katanya dilakukan di belakang rumahnya, itu artinya di sekitar tempat ini, takutnya entar kita ketahuan terus dia bunuh kita belum lagi arwah-arwah yang bakalan ganggu kita”
“ngeri aaaah,, pulang yuuuk!!! Aku ke Madura mo liburan, bukan serem-sereman gini, ini kan bukan sinetron atau film horror, ini kan nyata, jangan naku-nakutin dooong!”. Saya sekarang benar-benar ketakutan dan minta pulang
“masak anak Jakarta takut sama begituan”? Afgan meledek saya
“ayo jalan! Gak papa- gak papa, tenang aja, ini kan rame-rame gak sendirian, ayo cepat ntar malah bubar lagi, keburu malem juga, yuk Jalan!” Afgan dengan tegas meminta kami khususnya saya untuk terus berjalan. Kami pun mengikutinya.
Baru beberapa langkah, kami dikejutkan dengan banyaknya ceceran darah di tempat itu, bulu kuduk saya merinding, takut tapi masih penasaran. Bau amis sangat menyengat membuat saya ingin muntah tapi saya tahan. Kami terus berjalan. Selanjutnya, kami dapati dua buah ember besar yang awalnya saya pikir isinya air, tapi ternyata darah. Saya tambah ingin muntah. Kebetulan ada sebuah kantong plastic berukuran jumbo disamping ember, saya bilang kepada mereka bahwa saya tidak tahan dan saya ingin muntah. Merekapun menyuruh saya untuk muntah di kantong plastic tersebut. Saat saya membuka kantong plastiknya, alangkah terkejutnya saya mendapati isi di dalamnya. Sayapun langsung gemetar
“kenapa Jen, ada apa?”tanya Afgan yang melihat saya mulai mengeluarkan keringat dingin
“isi kantong plastic itu seperti bagian organ dalam gitu kayak lilitan perut gitu”
“jangan bercanda doong!!!”
“aku serius”
Mereka pun mengecek kantong plastic itu dan isinya benar-benar bagian organ dalam, tumpukan lilitan perut .
Uweeeeeeiiikkk....!!! kamipun muntah bersama di tempat itu.
kami terdiam sesaat, menatap satu sama lain.
“Terus gimana neh, lanjut nggak?” saya bertanya memecah keheningan
“Lanjut aja, selangkah lagi juga sudah sampek, kepalang tanggung neh, masak harus balik? muter lagi dong”.Jawab Afgan
Kami pun setuju dengannya. Dan ternyata benar, baru beberapa langkah, kami sudah sampai di depan di tempat TKP. Ternyata orang masih berkerumun sementara pelaku masih menusuk-nusuk dan membakar korbannya.
Afgan yang memang pemberani mencoba mendekat ke arah pelaku, kami mencoba melarangnya tapi dia tetap ngotot.
“kalau kita semua diam, ini akan semakin lama dan dia juga nggak bakalan berhenti!”Belanya
Diapun berjalan tak pedulikan orang-orang yang meneriakinya
Saat dekat dengan si pelaku, pelaku yang tengah sadis membakar korbannya langsung menatap ke wajah Afgan dengan tajam dan dengan bahasa Maduranya dia berkata
“Messen apah Cong, sate ajem, embik apah sapeh? (pesan apa nak, sate ayam, kambing apa sapi?)”
Afgan pun menanyai kami satu persatu tentang sate apa yang ingin kami makan.
Ah, akhirnya perjalanan kami selesai, Afgan pun memesan sate sesuai selera kami. Kamipun lega, perjuangan untuk menikmati sate Madura akhirnya terbayar juga. Alhamdulillah. Ini benar-benar kisah nyata......nyata fiksinya! Hahahahahaha....
Cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan tokoh, tempat atau kejadian ,semata hanya kebetulan belaka. :)
Keep smile dan stay calm!!! :)
#dontstress #whysoserious
#makeyourselfhappybyyourownway
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H