Mohon tunggu...
Angi
Angi Mohon Tunggu... Freelancer -

Fiksi Writer [moody]

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Yang Tak Terlupakan

22 Februari 2017   13:55 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:32 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yang Tak Terlupakan

14 Februari 2015

Untuk Tirta,

Apa kabar kamu di sana? Apa yang sedang kamu pikirkan? Apa kamu masih memikirkanku seperti aku yang sampai detik ini masih tak bisa menghapus kenangan tentangmu?

Padahal sudah 3 tahun lebih kamu meninggalkanku dan tak cuma sekali pula kamu sanggup menggantiku dengan orang lain. Ya.. aku tahu!

Berulang kali aku mencoba mencari penggantimu, tapi entah kenapa berakhir pada satu pilihan untuk tetap menunggumu. Melihatmu berganti kekasih, lalu kamu mencari pengganti lagi, bahkan temanku sendiri, dan aku hanya bisa menangis dalam hati.

Mungkin aku bodoh.

Ya! Aku bodoh!

Kebodohan ini membuatku buta. Tak lagi ku mampu melihat orang-orang di sekitarku yang menaruh hati. Bahkan sahabatku menjulukiku ‘Pemain Hati’. Entah. Sudah berapa hati yang aku hancurkan hanya karena menunggumu yang tak kunjung menyadari, AKU DI SINI!!!

Apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu sadar??

Ingatkah kamu? Saat kamu, entah sengaja atau tidak, menelponku dari negeri tempatmu berada sekarang?

Saat itu aku sangat bahagia dan percaya diri bahwa kamu juga memikirkanku..

Beberapa kali pula kukatakan, ‘aku ingin berjumpa’, dan kamu hanya tertawa. Sampai akhirnya aku menyadari, kamu hanya menikmatinya saja.

Sakit hati? Pastinya aku merasakannya.

Aku sadar. Aku terlalu bodoh karena selalu mengharapkanmu.

Lalu aku menyadari, kamu sudah tak lagi sendiri. Lagi.

Aku berusaha tak sakit hati dan berusaha menegarkan diri. Tapi kamu malah menjajah mimpi.

Kenapa kamu kembali mengisi mimpi-mimpiku?

Entah berapa kali lagi aku harus hanya bermimpi. Tentang kisah ini. Aku tak mau selamanya begini. Mengenangmu dalam semu.

Memikirkanmu bahagia dengan kekasihmu.

Bukan, Tirta.

Bukan dengan dia kamu seharusnya bahagia. Karena cintanya tak lebih besar dari cintaku, yang sekian tahun mampu menunggu. Cintakulah yang akan membuatmu bahagia, Tirta.

Maukah kamu kembali?

Menemaniku, mengisi hari-hari kita lagi?

Cukup sekali lagi. Agar kamu menyadari, bahwa cintaku yang paling sejati.

                Naora terkikik membaca tulisan di buku hariannya. Sudah dua tahun berlalu sejak terakhir kali dia menorehkan curhatan di sana. Tak banyak memang tulisannya. Naora hanya menulis tentang hal-hal penting yang dirasakannya.

                “Aku dulu pernah se-gak bisa move on gini ya?” Naora tertawa mengingat dirinya yang dulu. Ya, perasaannya sekarang sudah berubah. Setidaknya, itulah yang dipikirkan Naora. Sejak kehadiran seorang Andriano, atau lebih akrab disapa Ano, ke dalam hidupnya. Untuk pertama kali dalam hidup Naora, sejak putus dari Tirta, dia sedikitpun tidak membandingkan pemuda itu dari mantan kekasihnya.

                Selama ini, setiap kali ada cowok mendekatinya, secara tidak sadar, Naora akan membandingkan mereka dengan Tirta. Tapi Ano berbeda. Entah sihir apa yang sudah dia rapalkan pada Naora. Setiap kali melihat Ano, Naora sadar kalau mereka memang berbeda. Dan Naora bisa menerimanya.

                Naora mulai menuliskan kata demi kata di buku hariannya, kisah tentang pertemuannya dengan Ano, saat dia memberanikan diri menyapanya, hingga saat akhirnya mereka semakin dekat seperti sekarang.

               “Nao, kamu lagi apa sih? Kamu gak turun buat makan malam? Bu Dirga sudah nyariin kamu tuh!” Naora menoleh, ternyata Kusuma, teman kamar sebelahnya yang masuk dan mulai menjajah stock-snack miliknya.

                “Aku gak lapar. Lagian besok kita kan mau party, jadi aku sengaja menyisakan space di perutku, biar besok bisa makan sepuasnya!” sahut Naora, masih enggan mengalihkan perhatian dari buku hariannya dan melanjutkan menuliskan kisahnya.

                “Kamu lagi nulis tentang Ano di buku harianmu ya? Ngapain sih kamu masih ngeharapin dia? Padahal jelas-jelas gitu dia gak bakal ngungkapin perasaannya. Cowok kayak dia itu, gak paham sama arti cinta. Percuma deh kalau kamu ngejar-ngejar dia terus, Nao. Mending cari cowok yang lainnya.” Kusuma mulai merampas buku harian milik Naora saat gadis itu sudah menyelesaikan tulisannya, Naora hanya bisa pasrah. Toh, selama ini memang Kusuma lah yang selalu tahu tentang kisahnya, melebihi buku hariannya.

                “Aku sudah bosan dengarnya, ma! Tapi perasaanku tetap gak bakal berubah. Aku sudah memutuskan. Karena dia cowok pertama yang bisa membuatku melupakan Tirta. Jadi, aku akan tetap menunggunya.” Naora tetap teguh dengan pendiriannya.

                “Hmmm, iya juga sih. Kalau dipikir-pikir, kedekatanmu dengan Ano memang seperti mimpi. Cewek biasa sepertimu bisa berteman dengan cowok populer sekelas Ano…” Kusuma bergumam menelusuri buku harian Naora.

                “Iya, kaaaaan? Kalau bukan takdir, apa coba namanya? Aku sama Ano itu, sudah ditakdirkan bersama. Nao dan Ano. Nama kita saja sudah cocok kalau disandingkan, apalagi orangnya.”

                Plak. Timpukan pelan menghampiri kepala Naora. Naora meringis saat Kusuma melayangkan buku hariannya ke kepalanya.

                “Terserah kamu saja. Aku cuma ingin kamu bahagia.” lalu Kusuma kembali ke kamarnya. Naora tahu, Kusuma hanya terlewat khawatir dengannya.

*****

                Keesokan hari,

                Party yang dimaksud Naora semalam adalah pesta pernikahan Keila, salah satu teman baiknya semasa kuliah, teman baik Tirta sebenarnya. Ya, Tirta, sang mantan kekasihnya. Karena itu, Naora semalam menuangkan perasaannya untuk Ano ke buku hariannya, sehingga saat bertemu Tirta lagi, dia akan mengingat kalau perasaannya sudah berubah.

                Sebenarnya Naora tidak yakin apakah Tirta akan datang atau tidak, secara pemuda itu sekarang sudah menetap di Amerika. Tapi ini kan pesta pernikahan sahabatnya?

                “Nao, kamu Nao kan?” tiba-tiba seorang pemuda dengan perawakan tidak asing, menyapa Naora. Naora sedikit tercengang awalnya, tapi langsung bisa menguasai dirinya, Tirta sudah berdiri di hadapannya.

                “Halo, Tirta. Kamu datang ya?” Pertanyaan bodoh, Naora tahu itu. Sudah jelas Tirta akan datang di pesta pernikahan Keila, sahabatnya.

                “Aku kaget lihat kamu sama sekali tidak berubah. Padahal sudah 4 tahunan kan kita tidak bertemu? Bagaimana kabarmu?” Tirta tersenyum, entah kenapa senyum Tirta terlihat sangat indah di mata Naora.

Sudah 4 tahun sejak kepindahan Tirta ke Amerika, di tahun pertama mereka kuliah. Saat itu, mereka memang sudah berpisah dan Tirta sedang dekat dengan Keila. Ahh, kenapa aku malah mengingatnya? maki Naora dalam hati.

                “Baik. Kamu bagaimana?” Naora mencoba kembali menguasai dirinya.

                “Baik juga. Kamu datang sendiri saja nih? Mana cowoknya?” Tirta sengaja menggoda Naora.

                “Sengaja ya?” jawab Naora ketus, pura-pura membuang muka, dan berhasil mengundang gelak tawa Tirta.

                “Yaelah, gitu saja marah. Ke sana yuk? Biar lebih enak ngobrolnya. Kita kan sudah lama tidak ngobrol-ngobrol. I miss you, baby.”

                Deg. Naora tahu, kata-kata itu tidak berarti apa-apa untuk Tirta, tapi sayangnya berhasil membentur dinding pertahanan hatinya cukup keras dan meretakkannya. Detik berikutnya setiap kali Tirta bicara, Keila tidak sanggup lagi menutupi perasaan, kalau jauh di lubuk hatinya, Tirta-lah yang masih berkuasa.

                Terlebih saat Tirta menceritakan kalau dirinya juga sedang sendiri, sedang tidak punya kekasih, hati kecil Naora menjerit bahagia, saat itu juga ingin meluapkan perasaannya.

                “Tapi sumpah, kamu tidak banyak berubah!” Tirta mengulang kata-katanya.

                “Gak cuma penampilan kok yang gak berubah. Naora tetap sama.” Naora membekap mulut dengan tangannya, sungguh dia tidak bermaksud mengatakannya.

                “Maksudnya?”

Sudah kepalang kalau Naora mengurungkannya. Siapa tahu kalau ini memang kesempatannya? Setelah menimbang-nimbang, Naora memutuskan untuk melanjutkan pengakuannya.

                “I’ll confess, tapi jangan ketawa ya?”

Kalau menurut, bukan Tirta namanya. Pemuda itu malah sengaja tertawa untuk menggoda Naora. Ekspresi Naora mengeras, menekankan keseriusannya, membuat Tirta terdiam dibuatnya.

                “Aku…” belum sempat Naora mengungkapkan perasaannya, Ano sudah berdiri di samping mereka, menyapa Tirta.

                “Halo, brother! Aku senang kamu datang juga!” Ano memeluk Tirta, memberikan sambutan selamat datangnya.

                “Iyalah. Kalau tidak datang, Keila bisa membunuhku.” lalu keduanya tertawa. Naora tercengang melihat keduanya berangkulan, layaknya sudah lama saling kenal.

                “Wait! Ano kenal Tirta? Bagaimana bisa?” Naora tahu, Tirta dan Ano tidak ada hubungan saudara. Lalu bagaimana keduanya bisa saling mengenal? Sejak kapan?

                Ano dan Tirta saling berpandangan, melempar tanggung jawab siapa yang harus menjelaskan. Akhirnya Ano mulai berbicara,

“Nao, maaf aku tidak berniat merahasiakannya.” Naora terdiam, tidak mempunyai pandangan apa yang sudah dirahasiakan Ano darinya.

“Kamu ingat, aku pernah cerita kalau sempat ikut pertukaran pelajar ke Amerika? Di sana, aku tinggal bersama keluarga Tirta. Waktu itu, aku pernah tidak sengaja membuat Tirta menghubungi salah satu teman Indonesia-nya, dan ternyata itu nomormu.”

Ah, jadi Tirta memang tidak sengaja menghubungiku?batin Naora.

“Maaf, waktu itu aku tidak tahu hubungan kalian apa. Setelah Tirta menceritakannya, aku merasa bersalah, karena sudah membuatmu kembali terjebak dengan masa lalu. Karena itu, setelah pulang ke Indonesia, aku bertekad untuk membantumu melupakannya.”

                “Hah?” Naora tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Jadi selama ini, kedekatannya dengan Ano, hanya karena pemuda itu ingin membantunya melupakan mantan kekasihnya?

                “Tapi jangan salah paham. Aku melakukannya bukan karena terpaksa kok.” Naora tidak paham apa maksudnya. Dan yang lebih tidak dipahaminya, bagaimana bisa dua orang yang pernah disukainya dan sedang disukainya, berdiri di hadapannya, sedang menatapnya.

                Naora masih terdiam tanpa kata, begitu banyak hal sedang dipikirkannya. Tiba-tiba sentuhan lembut tangan Tirta di pipinya, berhasil membuyarkan lamunannya.

                “Nao, maafkan aku kalau sudah membuatmu trauma. Tapi kamu berhak bahagia. Aku yakin, cuma Ano yang bisa melakukannya. Kamu mencintainya, kan?” Naora tersipu mendengar perasaannya diungkapkan oleh Tirta.

                “Aku tahu. Sejak kamu mengenalnya, kamu sudah berhenti memikirkanku?” Naora mengangguk malu-malu.

You love him more than you love me, baby.”

                “Tapi…”

                “Kamu tidak mungkin mencintainya kalau kamu masih mencintaiku. Cinta itu cuma satu.” lanjut Tirta, mencegah Naora menyelanya.

                “Iya sih. Tapi kan Ano belum tentu menyukaiku.”

                PUK. Tangan besar Ano kini bertengger di kepalanya.

                “Kalau aku tidak menyukaimu, mana mungkin aku tega membuatmu merasakan cinta satu arah!” Ano tersenyum geli melihat ekspresi kaget Naora.

                “Jadi?”

                “Iya, Nao. Aku menyukaimu juga.” ucap Ano akhirnya.

Selama ini aku memang tak bisa melupakan Tirta sebagai seorang mantan kekasih. Tapi berkat hari ini, aku akan semakin tak bisa melupakannya sebagai tali penghubung antara dua hati kami. Terima kasih Tirta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun