“Hah?” Naora tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Jadi selama ini, kedekatannya dengan Ano, hanya karena pemuda itu ingin membantunya melupakan mantan kekasihnya?
“Tapi jangan salah paham. Aku melakukannya bukan karena terpaksa kok.” Naora tidak paham apa maksudnya. Dan yang lebih tidak dipahaminya, bagaimana bisa dua orang yang pernah disukainya dan sedang disukainya, berdiri di hadapannya, sedang menatapnya.
Naora masih terdiam tanpa kata, begitu banyak hal sedang dipikirkannya. Tiba-tiba sentuhan lembut tangan Tirta di pipinya, berhasil membuyarkan lamunannya.
“Nao, maafkan aku kalau sudah membuatmu trauma. Tapi kamu berhak bahagia. Aku yakin, cuma Ano yang bisa melakukannya. Kamu mencintainya, kan?” Naora tersipu mendengar perasaannya diungkapkan oleh Tirta.
“Aku tahu. Sejak kamu mengenalnya, kamu sudah berhenti memikirkanku?” Naora mengangguk malu-malu.
“You love him more than you love me, baby.”
“Tapi…”
“Kamu tidak mungkin mencintainya kalau kamu masih mencintaiku. Cinta itu cuma satu.” lanjut Tirta, mencegah Naora menyelanya.
“Iya sih. Tapi kan Ano belum tentu menyukaiku.”
PUK. Tangan besar Ano kini bertengger di kepalanya.
“Kalau aku tidak menyukaimu, mana mungkin aku tega membuatmu merasakan cinta satu arah!” Ano tersenyum geli melihat ekspresi kaget Naora.