Mohon tunggu...
Kang Didin
Kang Didin Mohon Tunggu... Jurnalis - Saya adalah Penulis dan Videografer serta foto grafer apa saja

MENULIS SEDIKIT NGAWUR SELEPAS MUNGKIN

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Blenthot Manteb Mbangun Mesjid

24 Februari 2023   11:11 Diperbarui: 24 Februari 2023   11:14 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jumat legi, awal bulan sayakbar atau ruwah dalam bulan penganggalan qomariyah. Sardi Blenthot pagi-pagi sudah disibukan dengan serentetan jadwal kegiatan. Meskipun hanya seorang purnawirawan, pensiunan, atau manusia yang sudah masuk usia senja. Namun Gusti Allah masih memberikan anugerah Kesehatan dan fisik yang kuat untuk beraktifitas.

Pagi dimulai harus ikut kerjabhakti, kerigan atau rulisan atau gotong royong. Untuk persiapan melaksanakan giat rutin imtihan. Tahap dimana seorang santri harus diuji dihadapan khalayak atas kelas tertentu yang sudah dijalani selama setahun.

Sardi Blenthot sudah mengingat semua. Pagi sampai siang jelang sholat jumat di madrasah, selepas jumatan, slametan, lepas asar ngaji dan bar maghrib ruwahan selepas isyak pengajian. Harus dijalani karena sebagai mahluk sosial ada harga-harga sosial yang harus dibayar. Ada kewajiban bermasyarakat yang harus dilakukan dan ada kewajiban sosial lainnya yang yang melekat sebagai warga masyarakat.

Esok ada lagi. Esok ada lagi, esok ada lagi. Alhamdulillah kini sudah punya waktu sesdemikian longgar untuk melakukan semua kewajiban sosial itu. Sebab kalua tidak pernah hadir akan ada  sosial punishment atau resiko sisial yang diterima.

Paling kecil adalah digunjing tetangga.  Wes situ saja. Namanya hidup bermasyarakat maka kegiatan bermasyarakat harus sesekali diikuti.  Sebagai kewajiban sosial.

Sardi Blenthot iku jelas sekarang punya waktu banyak, leluasa untuk melaksanakan kehidupan bermasyarakat di desa. Dengan tradisi beragam. Kebersamaan yang terbangun nyaris di semua sisi dan segi kehidupan.

Sardi Blenthot jelas bukan kaleng-kaleng yang bagus dipinggiran dan tampak indah namun kopong dan kosong didalam. Dan sekali dipukul atau dilempar akan keras dan nyaring suaranya.  Setelah capek seharian mengikuti kegiatan sosial. Satu ketika Sardi Blenthot istirahat.

Jegang diatas dipan. Kemudian ngeple-eple, ganti selonjor. Bangun minum teh tadi pagi yang dibikin dengan wadah gelas besar. Gelas hadiah dari istana kepresidenan. Masih jelas tulisannya, Pasukan pengamanan Presiden 1994.

Usai minum ditatanya bantal, sebentar istirahat siang, mensyukuri anugerah badan sehat dengan cara beristirahat agar selalu sehat.  Angin sepoi-sepoi dan kemrasak suara daun bambu di samping kiri rumah berpadu dan berirama alam dengan suara burung prenjak, serta elang hutan dilangit biru yang cerah. Lelap.

Sayuup terdengar suara khas yang sangat diingatnya. Suara ki Manteb Sudarsono. Guru pewayangan. Bahkan professor pedalangan Indonesia. Entah dimana yang jelas suara Ki Manteb memang khas dan sangat familiar ditelinga.

"Ngertiku nek wong islam iku ora mekso karo kekarepan. Ibarate gedang mateng nang wit ora mateng diimbu. Karbitan ketoke mateng kuning ning rasane sepet"

Rupanya sang maestro sedang bercerita  tentang  masa-masa dirinya menjadi muslim. Tahun antara tahun 1990 saat itu ada krenteg dari hati untuk membangun sebuah masjid di kampung halaman. Saat itu dia belumlah seorang muslim. Isteri, anak-anak dan keluarga sudah muslim namun dirinya masih belum muslim.

Dalam kisahnya, Manteb Sudarsono sempat berkonsultasi dengan Gusdur perihal maksudnya untuk membangun masjid.

Pada  satu forum Bersama Cak Nun. Ki Manteb Soedarsono menceritakan kisah hidupnya saat menjadi muslim yang taat. Bahwa antara tahun 1990, istri Ki Manteb berkata," Mas, Kowe shalat tho... (Mas, kamu itu shalat lah) serumah kok hanya kamu yang tidak shalat." Hanya dijawab," Lha kenapa Bu? Bu agama Islam itu tidak pernah memaksakan kehendak. Ibarat pisang, biarlah matang di Pohon. Jangan sampai matang dikarbit, terlihat kuning tetapi rasanya sepet."

Mengingat saat itu kluarga Ki Manteb semua sholat. Putra Ragil dari Ki Manteb bilang padanya "Pak...bapak Sholato, sesok nek bapak sedho mlebet neraka lho ".

Neraka yo ben, sesok neng kono nek pethuk bapak, dadaaaaa...

Bapak iki dawuhe ustad kulo lho.... bapak ki....

Kemudian Pak Manteb melihat Gatot, putra bungsunya yang baru kelas 3 SD sedang berjalan untuk Jumatan ke masjid yang berjarak 3 km dari rumah di Karanganom. Pak Manteb menawarkan,"Ayo Bapak antar pake mobil." Namun hanya dijawab singkat oleh sang anak, "Terima kasih Pak. Saya mau diantar kalau Bapak sudah sholat." Hal tersebut juga disampaikan Si Bungsu kepada temannya. Aku gelem Jumatan numpak Mobil nek bapakku wes sholat.

Pada ceritanya pak Manteb belum juga mau sholat. Sampai kemudian rasan-rasan dengan istri. Bahwa dia punya tanah. Kasian anak yang jauh jika mau sholat jumat.

"Ora sholat ko mbangun masjid"

Lha saya mau berbuat baik, coba tanya kepada ustad sing pinter, timbang gawe masjid diwadani wong. S

Sampai suatu saat di Gedung DPR RI Ki Manteb bertemu Gusdur dan menyampaikan maksud hatinya untuk membangunsebuah masjid.

Gus kulo meniko dereng sholat, umpami kulo mbangun masjid kepareng napa mboten?"

Entuk. Dijawab Gus Dur boleh.

Dasaripun menapa?

Lha kowe wes omong. Nek kowe pinging awe masjid ning dereng sholat. Begitu kan?

Inggih

Lha iya digawe. Tegese nek kowe wis omong ngono kui, kowe wes entuk hidayah karo Gusti Allah. Kowe wes diprentah karo Gusti Allah, sebab nek kowe ora diprentah Gusti Allah ora mungkin kowe omong koyo ngono.

Task bantu Pak manteb.

Maturnuwun Gus.

Tak Bantu dongo.

Sepulang dari Jakarta. Pal Manteb mewujudkan. Membangun masjid berukuran 9 X 9 meter. Sampai diresmikan. Ya... Demi sang anak, Pak Manteb akhirnya membangun masjid dekat rumah. Saat peresmian, para tamu menjalankan sholat, beliau malah tidak ikut hingga kalau ingat saat itu hanya bisa memaki diri sendiri sebagai, "Minal Kuclukin".

Hingga sampai saat itu anak tidak pulang. Kalua pulang dari sekolah pulang ke masjid, sinau di masjid. Sampai ibunya menyusul ke masjid. Si anak bilang mau pulang jika bapak sudah mau sholat.

Sampai kemudian pak manteb dan anak neng-nengan sampai antara waktu 3 tahun. Hingga si anak kelas 6 dan mau disunat.

Ketika sudah di sunat. Ki manteb bertanya kepada anak. Le kowe njaluk hadiah opo? Sepeda motor, mobil?

Mboten pak kulo pingin umroh. Kalih Ibu, kalih Mas Danang, ugi bapak nek bapak kerso tindak pak.

Seperti disamber nggelap, kepala pusing. "Lha Bapak kan sholat saja belum?" Gumam Pak Manteb. Kepala Ki Manteb serasa disambar petir. Ketika keluarga berumroh, hanya dia yang tertinggal sendiri. Ya mungkin ini saatnya tidak bisa menolak pemberian hidayah Gusti Allah.

Lha iyo, anakku, bojoku, keluargaku do nang mekkah umroh. Ko aku nang umah micek.

Nah ini, saya bisa menerima pepiling bukan dari orang pintar, ustad atau orang tua. Bocah cilik iso ngemutke wong shalat, wong kliru, wong luput. Itu yang saya alami.

"O ya Le, nek ngono Bapak tak melu,  ikut umroh"

Bapak kerso pak ?

 Gelem.

Nek ngonio bapak mlebu islam sek.

Tapi nek bapak mlebu islam acak-acakan aku emoh.

Lha kersana bapak pripun?

Piye carane nek bapak iku terdaftar. Kemudian anakku ke solo memproses kemudian saya diislamke oleh KH Amir Barokah Almarhum. Itu terjadi antara bulan agustus tahun 1995 dan desember 1995 saya umroh. April tahun 1996 saya naik haji. Itu Namanya kaji kebrangas.

Kalua ada yang bertanya, Pak manteb ketika ditahan suci berdoa kepada Allah mohon apa?

Kulo mboten nyuwun sebab kulo dereng ndokok. Nyuwun duit teng bank, entok sebabkulo narte ndokok duit nang bank. Lha sakniki kulo ibadah hurung suwe, ko nyuwun po ora isin karo Gusti Allah.

Kulo teng mriko nopo, kulo pasrah. Tumrap kulo teng mekah niku dudu panggonan penyuwunan, tapi tempat pasrah. Pasrahe menungsa karo Gusti Allah.

Ya Allah kulo sowan panjejengan ya Allah. Kulo n gangkeni mboten wonten saneh sesembahan kulo naming penjenengan ya Allah. Kulo ngangkeni rosulullah Muhammad utusan panjenengan ya Allah. Umpami kulo pejah teng mriki pejah kulo khusnul khatimah, umpami panjejengan paring rejeki, rejeki ingkang barokah ya Allah.

Selepas haji entoke napa pak manteb.

Tentrem

Saat belum sholat, berlum ibadah. Tidak mayang atau ndalang seminggu panik. Siapa yang membuat salah. Sekarang meh ndalang atau enggak sudah tebntram sebab kalua saya sudah tidak ada rejeki saya pasti dipateni atau dibunuh oleh Allah. Lha entek lakone ko....

Dadi hikmahe ngrasuk agama Islam nopo Pak manteb?

ayem tentrem sumanak ditresnani wong akeh.

Pethooook..kokokoko.. pethooookkkkk

Suara petok ayam selesai bertelur disisi barat rumah. Suaranya keras membangunkan Hadi Blenthot dari istirahat siang. Berdiri sejenak dan Kembali meneguk the. Bukan karena haus tapi karena kaget.

Masih ingat betul apa yang hadir pada mimpinya di siang bolong ini. Ceritanya hamper mirip dengan kisahnya. Meskipun belum haji dan belum umroh.

Kini dibagian selatan rumah pada Sebagian kebun dan tanah yang dimiliki sudah ada mushola. Yang berdiri diatas tanah waqaf dari keluarga Sardi Blenthot. 

Semoga berkah, kisah Ki Manteb dan Sardi Blenthot. Sama-sama lahir dari latar belakang  seniman. (Semarang 24/2/23)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun