Menurut informasi ayah, Pak Ikhsan sudah masuk komplek perumahan kami. Waktu seakan berjalan lambat. Debaran jantungku makin kencang ketika mendengar suara mobil berhenti di depan rumah.
Aku menggigit bawah bibir. Hatiku tidak tenang, takut jika duda tua itu memaksaku. Ingin rasanya aku lari, keluar dari rumah ini. Akan tetapi, itu tidak mungkin.
***
Pak Ikhsan disambut baik oleh ayah dan ibu. Mereka sangat memuliakan tamu. Apalagi sang bos tentunya.
Pak Ikhsan mengenakan batik nuansa biru. Ia masih terlihat gagah meski usianya tak lagi muda. Ketampanannya masih terlihat di wajahnya. Ah, tetapi usia kami terpaut jauh pastinya.
Aku meremas-remas tangan yang basah. Hanya menunduk tanpa berani melihat dia yang datang.
"Sebenarnya, kedatangan saya kemari, untuk melamar nak Citra."
"Maaf, Pak, tapi saya ti--,"
"Nah, itu datang orangnya." Pak Ikhsan memotong pembicaraanku ketika mendengar suara motor berhenti.
"Siapa?" tanyaku ingin tahu.
"Kenalin, ini Steveen, anak saya satu-satunya." Dengan bangga Pak Ikhsan memperkenalkan anaknya yang baru saja mengucapkan salam.