(Kabar Koran Ternama)
"Seorang perempuan di Kota B tega membunuh suaminya sendiri karena diduga tidak mau memakan masakannya dihari selasa kemarin. Hingga hari ini tersangka masih berada di Mapolsek terdekat dari TKP untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut, termasuk kejiwaan. Sampai berita ini dimuat dan berada ditangan pembaca yang budiman, ehemm, masih belum ada kepastian sampai kapan tersangka akan ditahan. Mungkin selamanya. Terima kasih."
~
Pagi itu Mapolsek kota B dipenuhi warga dari berbagai kalangan, beberapa dari forum Pemerhati Istri-Istri Tersakiti, yang kalau disingkat jadi PI2T, ada juga dari Kerukunan Pemuda -Pemuda Takut Istri, yang tak kalah apik kalau namanya disingkat (KEPEPET Istri). Tentu tidak hanya itu. Ada juga beberapa puluh orang wartawan, sudah termasuk kameramen, pemegang sound system, tukang make-up, dan tidak lupa beberapa orang yang sudah dibariskan untuk dimintai pendapat masing-masing, ada beberapa dari tokoh-tokoh agama hingga lintas agama, ada juga pengamat politik mikro tingkat Rt dan Rw, dan beberapa pedagang kaki lima, pedagang bakso, nasi pecel, soto kuda, dan tak lupa pengasong mijon, yang barangkali sengaja berada disekitar mapolsek karena menganggap semua kekacauan itu adalah peluang bisnis yang menggiurkan.
"Apakah menurut bapak kasus ini bisa berpengaruh pada kondisi perpolitikan dinegara ini?" Sergah salah satu wartawan cantik pada seorang pengamat politik yang tentu saja sudah berbaris didepan kamera sejak tadi.
"Tentu! Kalau enggak berpengaruh ngapain saya ada disini. Dan, tolong mbak, hati-hati kalau bicara negara. Ini media jangan sembarangan bicara negara, entar bisa didemo" sambung salah seorang (yang dianggap pengamat politik) diantara kerumunan orang-orang yang berada disekitar kawasan mapolsek itu.
"O, maafin saya mas, eh, salah, maksudnya bapak. Kembali ke topik, jadi menurut bapak langkah apa yang seharusnya diambil agar kasus ini tidak meluber dan mempengaruhi sektor-sektor lain, seperti ekonomi, dan kebudayaan misalnya?" sambung wartawan cantik itu sambil terus memainkan mata dan bibirnya dihadapan kamera.
"Ya mijon, mijon, mijon. Mijonnya mba, pak, mas, dek manis!" Seorang pedagang asongan tiba-tiba memasuki arena wawancara.
"Maaf pak, ini kami sedang syuting, bisa menyingkir sebentar" dengan gerakan serupa memerintah perempuan wartawan tadi coba membersihkan area wawancara. "Tapi, mijonnya satu pak, aus!" sambungnya lagi.
"Oke. Mumpung masih dingin"
"Jadi, gini ya mbak" sergah bapak (pengamat politik) yang tadi diwawancarai. "Tugas saya itukan hanya mengamati, bukan memberi nasehat. Kalau mbak dengan mas kameramen, eh tolong kameranya kesini dong!. Saya ulangi ya. Saya bukan penasehat politik, saya hanya pengamat, kalau mbak, mas, butuh nasehat dan masukan, coba aja hubungi penasehat politik, jangan ke saya" sambungnya lagi sambil menghela nafas panjang. "Tolong mijonnya satu pak!"
~
Jauh dari keriuhan itu, dihari ketika darah tumpah diatas meja makan, Sukarya, lelaki yang umurnya kira-kira empat satu, kalau enggak empat dua itu sedang menunggu istrinya membereskan sarapan paginya sambil menonton tivi. Tentu acara yang ia sukai sedang berlangsung, dan ia jadi cenderung berlama-lama jika dipanggil oleh istrinya untuk sarapan.
"Bapak kok jadi suka acara itu sih?" tanya istrinya sambil menyendokan sesendok nasi ke atas piring Sukarya.
"Inspiratif Ma!" rupanya, Sukarya punya sikap romantis yang tidak main-main. Ia tahu, istrinyapun tahu, kalau sudah sepuluh tahun pernikahan mereka tak ada satupun bocah yang diciptakan Tuhan untuk berkeliaran dirumah mereka, termasuk tanda-tanda memiliki seorang anak dari istrinya ini. Tapi ia tetap bersikap sebagaimana semua suami, manis berucap agar tak mengundang pahit diatas kasur, dan sebenarnya ia tak memperdulikan apakah yang ia ucapkan itu manis atau tidak, ia hanya peduli pada cara tivinya yang sedang berlangsung.
Istri Sukarya diam saja sambil terus menyendokan apa saja yang akan dilahap suaminya. Sayur tempe, ikan goreng, ikan asin, dan sambal terasi sudah ia hidangkan untuk suaminya, dan ia kembali duduk ditempatnya menunggi suaminya makan.
Dalam sepersekian menit, Sukarya masih juga belum melahap satu sendokpun makanan yang sudah ada diatas piring. Ia masih terus mengamati acara kesukaannya dari sebuah jarak antara ruang makan yang jadi satu dengan dapur dan ruang keluarga, dimana televisi berbunyi dan memancarkan cahaya informasinya yang menurut Sukarya 'inspiratif' itu.
Istrinya tetap menunggui Sukarya, entah seberapa lama lagi laki-laki itu tidak memakan makanannya, dan ia tetap akan menunggui suaminya, sikap setianya mengakar sebagaimana tugas semua istri dinegara itu. Kecuali jika perempuan itu tidak lagi berfikir tentang uang bulanan dari suaminya.
~
"Tunggu sebentar!" Wartawan cantik itu kembali menatap kamera disisi kirinya, seakan hendak menahan ketegangan atas waktu yang terus berjalan, seumpama mencegah haus yang sudah bersarang ditenggorokan seorang bocah. Sementara itu, disisi lain ada seorang ahli, ini menurut Wartawan itu, ia adalah ahli agama.
"Menurut bapak, eh maksudnya Ustad, apakah kasus ini dapat mempengaruhi moralitas istri-istri yang ada di negara ini?" Di tatapnya lagi kamera dengan manis dan sempurna, sambil terus mengarahkan corong mikropon pada tokoh atau ahli agama tadi.
"Ah bisa aja mbak, eh, maksudnya dik!, siapa nama adik tadi? Soraya? nama yang indah. Dik Soraya, dalam agama, suami itu adalah pemimpin, baik itu pimpinan sebagai pemimpin rumah tangga maupun pemimpin keluarga. Adik Soraya tahu beda antara keluarga dan rumah tangga? Oh itu nanti bisa kita diskusikan diluar forum ini. Lanjut ya, karena suami itu adalah pemimpin rumah tangga, maka kasus ini sangat, sangat, dan sangat berpengaruh buat moralitas istri-istri dinegara ini. Kenapa? Analoginya adalah sebuah negara, kalau pemimpinnya dibunuh oleh wakilnya, kira-kira bisa disebut sebagai apa kasus itu? Betul, betul sekali dik Soraya, itu bisa kita sebut Kudeta. Tapi ngomong-ngomong apa adik sudah punya pemimpin? Pemimpin rumah tangga maksud saya!" Sang ahli kemudian berlalu begitu saja, meninggalkan wartawan yang ia sebut dik Soraya itu sendiri mematung tanpa kata-kata lagi ditempatnya berdiri.
"Mbak, ini mijon lagi? Oke? Jos!"
~
Di hadapan polisi Marni menceritakan segalanya, termasuk alasan bertahun-tahun rencana pembunuhan itu sudah ada dikepalanya. Tentu saja polisi-polisi itu bisa mengerti dengan baik kenapa itu bisa menimpa Marni, yang tiba-tiba menikam suaminya sendiri Sukarya, bahkan sebelum acara televisi dan sarapan paginya selesai.
Polisi-polisi itu juga tahu, kalau kasus ini lebih pelik dari sekedar kudeta pada sebuah negara. Ini menyangkut perasaan seorang perempuan. Dan tak ada yang bisa mengerti perasaan perempuan kecuali perempuan itu sendiri. Data-datanya bisa di ambil dari seberapa banyak lagu-lagu yang negara itu biarkan tercipta, dan sialnya lebih banyak mewakili suara-suara perempuan.
Salah satu dari polisi yang bertugas mencatat biodata Mirna segera saja merebahkan diri di atas kursi putarnya. Dengan satu tarikan nafas yang menggumpal didada ia menggapai satu batang rokok dari saku celananya. Yang juga ditawarkan pada Mirna.
"Menurut informasi yang ibu Mirna sampaikan, kami (dari pihak kepolisisan) bisa mengerti. Tentu, jangankan Ibu Mirna, istri-istri kamipun barangkali bisa saja menghajar kami kalau kami berlaku seperti Almarhum suami ibu. Tapi tak mungkin sampai harus membunuh bukan?" Sambung polisi itu ditengah-tengah pengambilan data dan informasi.
"Anda tidak mengerti pak. Andakan laki-laki. Gimana bisa ngerti perasaan perempuan!" jawab Mirna datar saja. Mungkin karena masih kesal pada suaminya. Dan kalau ada kesempatan, bahkan mayat Sukaryapun akan dikulitinya lagi, biar laki-laki yang sudah jadi mayat itu bisa paham rasa sakit yang dialami Mirna, yang juga di alami semua perempuan yang bernasib seperti dia.
"Ia kami mengerti.."
"Enggak. Bapak, enggak ngerti, dan enggak akan ngerti, dasar laki-laki susah sekali diajak bicara pake hati. Sudah saya mau pulang dulu, banyak cucian belum dijemur" sambung Mirna dengan sikap yang masih sama.
"Apa? Pulang? O tidak bisa! Anda kami tahan Ibu Mirna. Dan anda wajib memberikan keterangan detail tentang perkara ini pada kami" Polisi itu menatap tersangka pembunuhan didepannya dengan sikap mengejek sekaligus mengancam.
"Ya sudah, apa mau bapak?"
"Coba Ibu Mirna jelaskan, kenapa ibu membunuh suami ibu. Itu saja!" Tanya polisi itu dengan tangan kanan menjepit rokok dan tangan kiri menggaruk kepala, kadang bahu, kadang betis, lain waktu, selangkang juga digaruk, mungkin lembab, dan iritasi.
"Dia minta kawin lagi, dan saya bunuh dia. Masa pemimpin hanya tau mendatangkan pekerja dari luar, barangkali dipikirnya saya tidak bisa lagi bekerja dan berguna untuk dia!" Jawab Mirna dengan penuh emosi, meskipun jauh dilubuk hatinya ia terus saja menangis, karena ia tahu ia tidak bisa memberikan anak untuk suaminya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H