Mohon tunggu...
Sanad
Sanad Mohon Tunggu... Mahasiswa/Pelajar -

Penulis Cerita Pendek

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Retakan dan Keinginan-keinginan di Atas Meja Makan

21 Februari 2018   09:56 Diperbarui: 22 Februari 2018   00:04 1532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: atypyk.com

"Mbak, ini mijon lagi? Oke? Jos!"

~

Di hadapan polisi Marni menceritakan segalanya, termasuk alasan bertahun-tahun rencana pembunuhan itu sudah ada dikepalanya. Tentu saja polisi-polisi itu bisa mengerti dengan baik kenapa itu bisa menimpa Marni, yang tiba-tiba menikam suaminya sendiri Sukarya, bahkan sebelum acara televisi dan sarapan paginya selesai.

Polisi-polisi itu juga tahu, kalau kasus ini lebih pelik dari sekedar kudeta pada sebuah negara. Ini menyangkut perasaan seorang perempuan. Dan tak ada yang bisa mengerti perasaan perempuan kecuali perempuan itu sendiri. Data-datanya bisa di ambil dari seberapa banyak lagu-lagu yang negara itu biarkan tercipta, dan sialnya lebih banyak mewakili suara-suara perempuan.

Salah satu dari polisi yang bertugas mencatat biodata Mirna segera saja merebahkan diri di atas kursi putarnya. Dengan satu tarikan nafas yang menggumpal didada ia menggapai satu batang rokok dari saku celananya. Yang juga ditawarkan pada Mirna.

"Menurut informasi yang ibu Mirna sampaikan, kami (dari pihak kepolisisan) bisa mengerti. Tentu, jangankan Ibu Mirna, istri-istri kamipun barangkali bisa saja menghajar kami kalau kami berlaku seperti Almarhum suami ibu. Tapi tak mungkin sampai harus membunuh bukan?" Sambung polisi itu ditengah-tengah pengambilan data dan informasi.

"Anda tidak mengerti pak. Andakan laki-laki. Gimana bisa ngerti perasaan perempuan!" jawab Mirna datar saja. Mungkin karena masih kesal pada suaminya. Dan kalau ada kesempatan, bahkan mayat Sukaryapun akan dikulitinya lagi, biar laki-laki yang sudah jadi mayat itu bisa paham rasa sakit yang dialami Mirna, yang juga di alami semua perempuan yang bernasib seperti dia.

"Ia kami mengerti.."

"Enggak. Bapak, enggak ngerti, dan enggak akan ngerti, dasar laki-laki susah sekali diajak bicara pake hati. Sudah saya mau pulang dulu, banyak cucian belum dijemur" sambung Mirna dengan sikap yang masih sama.

"Apa? Pulang? O tidak bisa! Anda kami tahan Ibu Mirna. Dan anda wajib memberikan keterangan detail tentang perkara ini pada kami" Polisi itu menatap tersangka pembunuhan didepannya dengan sikap mengejek sekaligus mengancam.

"Ya sudah, apa mau bapak?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun