"Kamu mau datang atau tidak?" rekannya ini menambahkan dengan suara rendah.
"Saya tidak bisa memutuskan segala sesuatu sebelum dibicarakan dengan istri saya."
Rekannya ini menggaruk kepala, entah benar-benar gatal atau tidak, tampak hati-hati tak ingin merusak tatanan rambutnya sibak miring dibuat klimis,Â
"Jadi sekarang semua tergantung keputusan istrimu?
"Jadi begini," Kasimin menambahkan,Â
"Sekarang kan saya bukan seorang lajang lagi, saya punya partner hidup, apa gunanya saya membawanya ke dalam hidup saya jika segala keputusan adalah tergantung kehendak saya sendiri. Saya menikahinya salah satunya karena saya ingin ada teman bicara di rumah. Apa pun itu akan saya bicarakan lebih dulu dengannya, baru kemudian melangkah."
"Dapatlah saya artikan, kalau kehadiran istri dalam hidupmu adalah tali kekang yang menghambat segala ruang gerakmu."
"Sama sekali tidak pernah saya artikan hambatan."
"Agaknya kita dua tipikal suami yang beda, saya tegas mengambil sikap, saya tidak akan biarkan istri saya mendikte kehidupan saya. Itu baru suami yang tegas."
Rekannya ini kini berpegang di pundak Kasimin dan menambahkan, "Buce dan Barudin juga sudah tahu, dan mereka antusias. Kata mereka sudah tak sabar memperkenalkan istrinya kepada kita.Â
Saya sudah pernah melihatnya, istri-istri mereka sama cantiknya. Saya sempat berpikir bila istri saya bertemu dengan istri mereka, bisa saja istri saya minder.Â