Sebelum malam Kasimin pulang dengan wajah kusam tampak lelah sekali, hal yang pertama kali ditanyakan Marliang terhadap suaminya: adakah suara-suara busuk kembali masuk ke dalam telinga melukai perasaan?
"Saya ingin sekali marah, lama-lama saya tidak akan bisa bersabar lagi. Lalu saya ladeni mereka, saya akan mencakar-cakar wajah mereka dengan mulut saya," tutur Kasimin.
"Sudah saya bilang kaum lebih baik diam. Itu yang sebaiknya kamu lakukan."
"Kesabaran manusia ada batasnya," Kasimin meraih gelas berisi air putih di tangan Marliang, sekali meneguk.
"Jangan bilang kesadaranmu kian mendekati batasnya?"
"Saya merasakannya memang begitu."
Di atas sofa, Marliang menggeser duduknya semakin mendekati Kasimin, lantas merangkul kepala Kasimin dirapatkan ke dalam dadanya. Marliang terdengar seperti berbisik, "Kita boleh mendengarkan apa yang tidak baik, tapi tetaplah menjadi kain basah terhadap api menyala."
Hari yang panjang bagi Kasimin, dimulai saat ia meninggalkan rumah untuk bekerja, roda mobilnya baru beberapa putaran meninggalkan halaman depan tiba-tiba berhenti di depan pagar tetangga. Wanita paruh baya bertubuh tambun menghampiri Kasimin dengan jendela mobil telah terbuka.
"Enak betul hidupmu sekarang, tak perlu usaha keras langsung dapat mobil sebagus ini."
Kasimin tidak senang dengan ucapan tetangganya tersebut, tapi sekalipun Kasimin begitu, ia sebisa mungkin mencoba menunjukkan penampakan wajah yang ramah, senyum tetap dipertahankan. Kemudian mencoba menimpali, "Begitulah, Bu, jika beristrikan peremuan seperti Marliang. Saya beruntung sekali ditakdirkan menjadi pendampingnya."
"Eh," wanita itu memulai lagi, "Bagaimana kalau misalnya Marliang tidak bisa hamil? Apakah kamu akan menceraikannya dan menikah dengan wanita lain, katakanlah wanita yang lebih muda?"
Kasimin ingin mendengus kesal mendengar tajam mulut tetangganya, sudah beberapa kali memang sepanjang ia tinggal bersama Marliang, wanita itu terlalu banyak bicara terhadapnya: menyoroti kehidupan rumah tangganya. Kasimin bisa saja mencak-mencak, agar wanita itu berhenti banyak tingkah, tapi selalu terbayang di telinga Kasimin bagaimana penegasan-penegasan Marliang kepadanya.
Kasimin tak punya pilihan selain memaksakan diri tersenyum, "Kami bahagia dengan kehidupan kami sekarang, ada dan tak punya anak bukan masalah." Diucapkan begitu mantap, membuat wanita itu bisu seketika.
Di tengah perjalanan sebelum tiba di kantor, ponselnya berdering. Matanya tetap awas ke jalan, memelankan kecepatan mobil tatkala membaca Ibu di layar monitor. Ia tak punya alasan untuk tidak segera menjawab. Kasimin selalu sadar, setiap ibu atau bapak atau keluarga yang lain menelpon pasti ada sesuatu hal penting disampaikan, jarang sekali sekadar basa-basi.
Dan benar saja, ibunya memberi tahu kalau akan ada pertemuan keluarga. Salah satu adik perempuannya bakal segera dipersunting kekasihnya. Dia meminta Kasimin untuk meluangkan waktu datang ke sana, ambil cuti kerja atau mengatur jadwal di akhir pekan. Kasimin tidak bisa mengambil keputusan yang tergesa-gesa, disampaikannya kepada ibunya bahwa harus lebih dulu membicarakan itu dengan istrinya.
Pembicaraan mereka berdua itu, sempat membikin Kasimin tidak enakan, tatkala ibunya bilang begini, "Ibu tidak melarangmu datang membawa istrimu, itu sesuatu yang baik.Â
Hanya saja Ibu mengkhawatirkan bagaimana kalau keluarga dari bapakmu, mengeluarkan kata-kata yang membuatmu kesal. Maksud Ibu, mereka mengomentari istrimu."
Seperti ada gemuru di dalam dada Kasimin setelah mendengar itu, ia ingin berhenti seketika, untuk mengatur suasana hatinya yang tiba-tiba kacau, namun posisi mobilnya tidak memungkin untuk melakukannya, sedang ramai kendaraan di kanan kiri.
"Halo! Kamu mendengar Ibu," suara di seberang sana keluar dari lubang ponsel,Â
"Kamu mendengar apa yang Ibu tadi bilang."
"Ibu boleh mengkhawatirkan begitu, tapi bagi saya bukanlah sesuatu yang pantas dicemaskan. Saya yakin tidak ada seorang pun yang berani mengucapkan kata-kata menyinggung perasaan."
Ketersinggungan Kasimin tidak selesai sampai di situ. Ada masalah lain yang timbul saat jeda makan siang di kantor. Ketika ia hendak meninggalkan mejanya, keluar mencari makan. Dicegat oleh salah seorang kawaannya. Mengabarkan undangan makan malam, besok, bersama beberapa rekan kerja lainnya. Setiap tamu yang datang wajib membawa pasangan. Diucapkan rekannya itu penuh semangat, baginya itu adalah sebuah kabar yang akan disambut dengan kegembiraan oleh Kasimin. Tapi reaksi Kasimin biasa-biasa saja.
"Kamu mau datang atau tidak?" rekannya ini menambahkan dengan suara rendah.
"Saya tidak bisa memutuskan segala sesuatu sebelum dibicarakan dengan istri saya."
Rekannya ini menggaruk kepala, entah benar-benar gatal atau tidak, tampak hati-hati tak ingin merusak tatanan rambutnya sibak miring dibuat klimis,Â
"Jadi sekarang semua tergantung keputusan istrimu?
"Jadi begini," Kasimin menambahkan,Â
"Sekarang kan saya bukan seorang lajang lagi, saya punya partner hidup, apa gunanya saya membawanya ke dalam hidup saya jika segala keputusan adalah tergantung kehendak saya sendiri. Saya menikahinya salah satunya karena saya ingin ada teman bicara di rumah. Apa pun itu akan saya bicarakan lebih dulu dengannya, baru kemudian melangkah."
"Dapatlah saya artikan, kalau kehadiran istri dalam hidupmu adalah tali kekang yang menghambat segala ruang gerakmu."
"Sama sekali tidak pernah saya artikan hambatan."
"Agaknya kita dua tipikal suami yang beda, saya tegas mengambil sikap, saya tidak akan biarkan istri saya mendikte kehidupan saya. Itu baru suami yang tegas."
Rekannya ini kini berpegang di pundak Kasimin dan menambahkan, "Buce dan Barudin juga sudah tahu, dan mereka antusias. Kata mereka sudah tak sabar memperkenalkan istrinya kepada kita.Â
Saya sudah pernah melihatnya, istri-istri mereka sama cantiknya. Saya sempat berpikir bila istri saya bertemu dengan istri mereka, bisa saja istri saya minder.Â
Tapi itu hanya dugaan, bisa salah bisa benar. Saya sangat tahu istri saya orangnya percaya diri, apalagi mereka tidak terpaut umur yang jauh. Ah, semoga saja mereka bisa berkawan, seperti saya berkawan dengan suami mereka."
Rekannya ini tampak belum juga puas, "Apakah kamu juga punya kecurigaan bagaimana jika istrimu bertemu dengan mereka?"
"Saat ini tidak."
"Tapi saya curiga, istrimu akan lebih besar rasa mindernya, istri Buce dan Barudin benar-benar cantik lagi muda," rekannya ini memaksa tertawa.
"Andai saya yang menjadi istrimu dengan kondisi sekarang, akan tebal muka di hadapan mereka," tertawa lagi, "Tapi jangan karena saya bilang begini, kamu jadi urung membicarakannya dengan istrimu, kalian harus datang."
Kasimin tidak suka mendengarnya, namun selalu amarahnya hanya sebatas bergemuruh di dalam dada. Tetap memurahkan senyuman dan bicaranya begitu tenang seolah tak ada ketersinggungan yang dirasakan, "Acaranya besok malam kan? Semoga kami sama-sama sepakat untuk menghadiri."
***
Tiba-tiba Kasimin menarik kepalanya dari rangkulan Marliang. Memegang kedua pundak Marliang, memandangi lekat-lekat tubuh sintal istrinya dari ujung kaki hingga rambut yang disanggul, kemudian matanya tajam di wajah istrinya, sudah mulai tampak kerutan di sana.Â
Sesaat muncul pertanyaan di dalam kepalanya, pertanyaan kerap mendatanginya: bagaimana bisa ditakdirkan memiliki pasangan hidup yang seusia bibinya? Buru-buru pikiran itu dibuyarkan oleh perasaan cinta mengakar kuat di dalam dirinya.
"Hei! Apa yang terjadi?"
"Saya sedang memandangi istri saya yang cantik, apakah itu salah?"
Marliang sempat terlihat heran, lantas tersenyum.
Kasimin menambahkan, "Jika suara-suara itu masih saya dengar besok, saya betul-betul akan mencakar-cakar wajah mereka dengan mulut saya, ya dengan mulut."
"Kamu harus tetap mendengar apa yang saya tegaskan padamu," Marliang mendekati Kasimin hingga wajah mereka begitu dekat.
"Saya khawatir, amarah saya yang besar sehingga saya tidak mampu mendengar kata-katamu lagi," Kasimin menimpali sendiri ucapannya sebelum didahului Marliang, "Atau kamu harus melakukan sesuatu kepada mulut saya agar tidak mencakar-cakar wajah mereka. Apa yang akan kamu lakukan?"
Marliang menjatuhkan pandangan ke lantai sesaat, beberapa detik kemudian ia kembali memandang wajah Kasimin, jari-jari tangannya meraba mulut suaminya, "Saya akan menutup mulutmu ini, dengan selotip, lalu saya menjahitnya."[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H