Tapi itu hanya dugaan, bisa salah bisa benar. Saya sangat tahu istri saya orangnya percaya diri, apalagi mereka tidak terpaut umur yang jauh. Ah, semoga saja mereka bisa berkawan, seperti saya berkawan dengan suami mereka."
Rekannya ini tampak belum juga puas, "Apakah kamu juga punya kecurigaan bagaimana jika istrimu bertemu dengan mereka?"
"Saat ini tidak."
"Tapi saya curiga, istrimu akan lebih besar rasa mindernya, istri Buce dan Barudin benar-benar cantik lagi muda," rekannya ini memaksa tertawa.
"Andai saya yang menjadi istrimu dengan kondisi sekarang, akan tebal muka di hadapan mereka," tertawa lagi, "Tapi jangan karena saya bilang begini, kamu jadi urung membicarakannya dengan istrimu, kalian harus datang."
Kasimin tidak suka mendengarnya, namun selalu amarahnya hanya sebatas bergemuruh di dalam dada. Tetap memurahkan senyuman dan bicaranya begitu tenang seolah tak ada ketersinggungan yang dirasakan, "Acaranya besok malam kan? Semoga kami sama-sama sepakat untuk menghadiri."
***
Tiba-tiba Kasimin menarik kepalanya dari rangkulan Marliang. Memegang kedua pundak Marliang, memandangi lekat-lekat tubuh sintal istrinya dari ujung kaki hingga rambut yang disanggul, kemudian matanya tajam di wajah istrinya, sudah mulai tampak kerutan di sana.Â
Sesaat muncul pertanyaan di dalam kepalanya, pertanyaan kerap mendatanginya: bagaimana bisa ditakdirkan memiliki pasangan hidup yang seusia bibinya? Buru-buru pikiran itu dibuyarkan oleh perasaan cinta mengakar kuat di dalam dirinya.
"Hei! Apa yang terjadi?"
"Saya sedang memandangi istri saya yang cantik, apakah itu salah?"
Marliang sempat terlihat heran, lantas tersenyum.