Mohon tunggu...
Mawan Sastra
Mawan Sastra Mohon Tunggu... Koki - Koki Nasi Goreng

penggemar fanatik Liverpool sekaligus penggemar berat Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen ǀ Perempuan yang Ingin Membunuh Malaikat Maut

28 Desember 2017   08:52 Diperbarui: 28 Desember 2017   23:14 2658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Getty Images

Cahaya senter menghujani tubuhku dalam keadaan tertindih. Buru-buru ia menarik barangnya dari selangkanganku. Gerombolan warga memergoki kami tengah bersetubuh di sebuah gubuk kecil jalan menuju pesawahan, kala pagi masih buta.  

Sekujur tubuhku yang telanjang menjadi tontonan gratis oleh mereka. Secepat kilat kututupi tubuhku dengan pakaian. Kami digiring ke rumah Kanne Imang. Seorang tetua adat dan imam masjid di kampung.

Persetubuhan kami tersebar dari mulut ke mulut. Dalam waktu singkat saya sudah menjadi perempuan busuk lebih busuk dari para lonte. Namaku menjadi bahan pembicaraan orang-orang. 

Saya dicap sebagai perempuan paling berdosa sedunia. Padahal saya tidak lebih buruk dari perempuan-perempuan lain. Betapa banyak perempuan di kampungku yang terenggut selaput darahnya sebelum tiba waktunya. Sialnya, saya satu dari sedikitnya perempuan yang bersetubuh dipergoki warga.  Kami pun dikawinkan. 

Banyak orang mengaitkan masa laluku yang kelam itu, dengan rentetan kejadian  yang menimpaku saat ini. Harusnya sekarang saya memiliki dua orang anak. Anak pertamaku mungkin saja sekarang sudah kelas tiga SMP dan anak kedua sudah kelas empat  SD. 

Sayangnya, saya sedikit  tidak bernasib baik. Tiba waktunya persalinan. Anak yang kukandung tidak bisa diselamatkan lagi. Dua kali beruntun anakku mati begitu keluar dari rahimku. 

Bahkan keduanya belum sempat menyaksikan betapa menjijikkanya dunia. Olehnya itu, kehamilanku yang ketiga ini, saya tidak akan membiarkan Malaikat Maut merenggut nyawa anakku seenak hati. Jika malaikat maut menampakkan wajahnya di ruang persalinanku nanti, saya tidak akan tinggal diam. Akan kubunuh ia.

"Kamu sudah sinting. Kamu ingin membunuh Malaikat Maut sedangkan dia adalah makhluk terakhir yang akan mati," kata suamiku saat di meja makan kurecoki tentang ambisiku ingin membunuh Malaikat Maut. 

"Saya tidak mau tahu. Kelak masa persalinanku nanti, ia berani menampakkan batang hidungnya. Akan kucekik lehernya. Biar tahu rasa. Manusia seperti kita juga butuh anak. Tuhan itu adil, tidak mungkin Dia selalu memerintahkan Malaikat Maut mencabut nyawa anak kita yang baru lahir itu."

Untuk mengantisipasi kedatangan Malaikat Maut pada masa persalinanku nanti. Kehamilanku kali ini saya tidak mau berurusan dengan bidan lagi. Bukan saya meragukan pelayanan puskesmas atau kinerja seorang bidan. 

Hanya saja, rasa trauma selalu menjadi momok menakutkan bagiku.  Suduh cukup kedua anakku mati karena bantuan persalinan bidan. Saya tidak ingin anak ketiga yang kukandung juga akan mati di tangan bidan. 

Tanpa persetujuan suami. Aku memutuskan untuk mencari Sando Peana. Suamiku dibuat meradang gara-gara keputusanku itu. Entah sudah berapa kali kata-kata hardik meluncur tajam dari mulutnya. 

Ya, itu wajar. Di zaman modern sekarang, saya satu dari sedikitnya wanita hamil yang masih sudi mempercayakan pada Sando Peana untuk menangani kehamilanku.

"Seorang bidan tak akan sanggup membendung kedatangan Malaikat Maut. Sedangkan Sando Peana memiliki jampi-jampi sakti mandraguna," 

Indo Lambesunga, satu-satunya Sando Peana yang masih bertahan sampai sekarang. Maraknya bidan mau tidak mau Sando Peana harus tersisih. Indo Lambesunga masih mau bertahan hingga kini. 

Siapa saja wanita hamil yang membutuhkan jasanya. Ia akan melayani dengan senang hati. Tanpa pamrih. Tak pernah mematok berapa kisaran uang yang harus dibayar.

Indo Lambesunga sudah sangat  tua. Wajahnya kriput, rambutnya memutih. Ia sudah sangat lama menjadi Sando Peana. Sudah lebih dari tiga perempat abad. Sudah ratusan anak yang ia tangani. Mulai dari kepala desa, kepala sekolah, guru, hingga anggota dewan, pada saat mereka dilahirkan, Indo Lambesungalah yang membantu persalinan ibu mereka. 

Karena memang masa itu belum marak bidan katanya. Tapi di zaman sekarang, orang-orang kurang percaya lagi pada kesaktian Indo Lambesunga. Terlebih-lebih pemerintah sudah mengeluarkan seruan. Untuk wanita hamil harus ditangani oleh bidan. Keilmuan mereka katanya lebih teruji dibandingkan Sando Peana. 

Ironisnya Sando Peana selalu dikambing hitamkan tingginya angka kematian ibu hamil. Padahal Malaikat Mautlah yang menjadi biang keroknya. Ialaha pemutus tali kebahagian, kesenangan, dan suka cita. Ia pembawa kabar buruk yaitu mati. Perkara yang paling ditakuti oleh manusia kebanyakan. Kedua anakku yang telah mati, ulah Malikat Maut yang keterlaluan. Serta ketidak mampuan ilmu medis bidan untuk membendung Malaikat Maut. 

Keputusanku untuk ingin membunuh Malaikat Maut, jika menampakkan batang hidungnya di ruang persalinanku nanti. Serta keputusanku untuk berurusan dengan Indo Lambesunga membuatku kerap kali berseteru dengan suamiku. 

Ia kelewat termakan kemodernsasian zaman. Puncak perseteruanku  dengannya  saat saya memutuskan untuk meneruskan tradisi nenek moyangku tentang kehamilanku kali ini.

Yaitu Niuri Tobattang, pijatan orang hamil. Sebuah tradisi yang sudah turun temurun dilakukan oleh keluargaku. Didua kehamilanku yang pertama saya abai pada tradisi itu. Bisa jadi karena itulah  persalinanku selalu menuai nasib buruk. 

Niuri Tobattang dipercaya sebagai upaya penyelamatan terhadap bayi yang baru lahir. Dasar suamiku yang terlalu modern enggan lagi percaya dengan tradisi  seperti itu. Tidak ada kaitannya katanya antara proses persalinan dengan Niuri Tobattang. Ia terlalu ilmiah, selalu mengesampingkan tradisi adat. 

"Niuri Tobattang, bukan hanya tradisi belaka. Di dalamnya ada simbol doa untuk keselamatan bayi kita nantinya," tegasku padanya. Tetap saja ia keras kepala.

***

Tiba saatnya bayi yang kukandung sudah tidak sabaran ingin segera menyaksikan betapa menjijikkannya dunia. Perutku terasa sakit. Kuminta pada suamiku untuk menjemput Indo Lambesunga. 

Di saat-saat genting seperti ini masih saja suamiku sempat mendebatku. Dari dulu ia meragukan kesaktian jampi-jampi Indo Lambesunga. Yang ia takutkan Indo Lambesunga gagal membendung kedatangan malaikat maut.

Wajar suamiku khawatir seperti itu. Memang, tiga kasus persalinan terakhir yang ditangani Indo Lambesunga selalu mengalami kegagalan. Bayinya memang lahir dengan selamat tapi sang ibu nyawanya direnggut oleh malaikat maut. Karena itulah sehingga orang-orang pada meragukan kesaktian Indo Lambesunga. 

"Kamu harus melahirkan di puskemas. Itu seruan pemerintah," ucap suamiku mengemas pakaianku dimasukkan ke dalam tas.

"Saya mau melahirkan di rumah saja. Sekali pun harus membayar denda. Sudah cukup dua anak kita mati di tangan bidan. Tidak! Cepat panggil Indo!" Perkataanku diabaikan lagi oleh suamiku. Ia memaksaku keluar rumah, ingin membawaku ke puskesmas. 

Tapi saya bersikeras menolak. Kurasakan bayi yang kukandung semakin ganas di dalam rahimku. Ia semakin tidak sabaran untuk menyaksikan betapa menjijikkannya dunia. 

Suamiku kaget saat melihat cairan mengalir dari selangkanganku menuju paha hingga ke kaki. Ketubanku sudah pecah. "Panggil Indo!" teriakku. Secepat kilat menaiki motornya lalu menuju rumah Indo Lambesunga. Sekuat tenaga saya kembali memasuki rumah. Saya berbaring di atas ranjang. 

Ruangan inilah yang akan kujadikan sebagai tempat persalinanku. Jauh-jauh hari sudah kusiapkan segala sesuatunya. Tak kubiarkan celah barang setitik pun untuk Malaikat Maut masuki. 

Ventilasi yang ada kututup rapat-rapat. Anakku harus lahir dengan selamat. Kuharap ia bukan lagi tumbal atas kesalahan masa lalu kedua orang tuanya yang mengabaikan seruan adat dan agama. Persetubuhan terlarang di masa lampau kuharap tidak lagi menjadikan anakku sebagai tumbalnya.  

Masih kuingat persalinanku yang pertama. Betapa kejamnya Malaikat Maut. Belum sempat saya memeluk anakku. Ia merampasnya dari tangan bidan. Kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Tangan lancang Malaikat Maut itu, ia masukkan ke dalam kerongkongan anakku. Lalu nyawanya ia cabik-cabik. 

Persalinanku yang kedua juga begitu. Begitu suara tangis anakku terdengar. Dan suamiku ingin mengazaninya. Lagi-lagi Malaikat Maut menampakkan kekejamannya. 

Ia merampas anakku dari tangan bidan. Ia julurkan tangan panjangnya memasuki mulut anakku. Ia cari nyawanya lalu ditarik tanpa belas kasih. Kali ini tidak kubiarkan Malaikat Maut untuk berbuat seenaknya. 

Jika dahulu saya hanya bisa bungkam. Kali ini saya tidak akan tinggal diam. Akan kucekik leher Malaikat Maut. Entah, siapa duluan yang mati. Jelasnya saya ingin membunuh malaikat maut apabila ia berani menampakkan wajahnya di ruangan ini.

Rupanya anak yang kukandung ini, tidak sabar lagi ingin melihat kekejaman dunia. Sabarlah sedikit anakku, Indo belum datang. Lagi pula dunia tidak seindah cerita-cerita iblis padamu. 

Di sini penuh kebobrokan, suatu saat kau akan jijik dengannya. Banyak pertumpahan darah, permusuhan di mana-mana, pemimpin yang tak layak dan hakim yang tak adil. Itu hanyalah sedikit contoh kecil yang akan kau jumpai di dunia ini. 

Tenanglah anakku, akan kubekali kau dengan sebaik-baik petunjuk. Berpegang padanya kau akan selamat. Mengabaikannya kau akan celaka sebagaimana celakanya kedua orang tuamu. Kuberpesan padamu, jagalah Tuhan! Tuhan pun akan menjagamu. Batinku sambil menahan sakit. 

Akhirnya mereka datang. Suamiku duduk di disampingku. Ia mengusap wajahku yang berkeringat. Sedangkan Indo Lambesunga mengambil posisi di bawah selangkanganku. 

Saat segala sesuatunya sudah siap. Indo Lambesunga memintaku mengejan. Hanya tiga kali saya mengejan, terdengar tangisan bayi meraung-raung di keheningan malam.  

Belum  jua saya tahu jenis kelamin anakku, bahkan ia belum benar-benar bersih. Kulihat dengan mata kepalaku sendiri Malaikat Maut yang selama ini datang menampakkan batang hidungnya saat persalinanku. Ia kembali lagi, kulihat keluar dari tubuh Indo Lambesunga yang sedang membersihkan anakku. 

Tatapan Malaikat Maut begitu menakutkan. Seperti ia menyimpan dendam padaku. Kukira ia akan mencabut nyawa anakku. Seperti yang ia lakukan pada kedua kakaknya. 

Ternyata Malaikat maut berjalan menghampiriku. Jika ia berani menyentuhku akan kucekik lehernya. Rupanya aku kalah. Tangannya yang dulu ia gunakan mencabut nyawa kedua anakku. Ia masukkan ke dalam mulutku. Saya mau melawan bagaimana lagi? Sekujur tubuhku kaku. Tangannya mencari-cari di mana nyawaku telah kusembunyikan. 

Lebih kecewanya lagi, Indo Lambesunga tak menyadari keberadaan Malaikat Maut. Di mana jampi-jampinya yang sakti mandraguna itu? Ia begitu asyik membersihkan anakku. 

Ahh, memang tak seorang pun yang bisa membendung Malaikat Maut. Setelah ia menemukan nyawaku. Ditariknya tanpa belas kasih. Perih terasa, saya tidak bisa menggambarkan betapa sakitnya saat nyawa dicabut.***  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun