Tanpa persetujuan suami. Aku memutuskan untuk mencari Sando Peana. Suamiku dibuat meradang gara-gara keputusanku itu. Entah sudah berapa kali kata-kata hardik meluncur tajam dari mulutnya.
Ya, itu wajar. Di zaman modern sekarang, saya satu dari sedikitnya wanita hamil yang masih sudi mempercayakan pada Sando Peana untuk menangani kehamilanku.
"Seorang bidan tak akan sanggup membendung kedatangan Malaikat Maut. Sedangkan Sando Peana memiliki jampi-jampi sakti mandraguna,"
Indo Lambesunga, satu-satunya Sando Peana yang masih bertahan sampai sekarang. Maraknya bidan mau tidak mau Sando Peana harus tersisih. Indo Lambesunga masih mau bertahan hingga kini.
Siapa saja wanita hamil yang membutuhkan jasanya. Ia akan melayani dengan senang hati. Tanpa pamrih. Tak pernah mematok berapa kisaran uang yang harus dibayar.
Indo Lambesunga sudah sangat tua. Wajahnya kriput, rambutnya memutih. Ia sudah sangat lama menjadi Sando Peana. Sudah lebih dari tiga perempat abad. Sudah ratusan anak yang ia tangani. Mulai dari kepala desa, kepala sekolah, guru, hingga anggota dewan, pada saat mereka dilahirkan, Indo Lambesungalah yang membantu persalinan ibu mereka.
Karena memang masa itu belum marak bidan katanya. Tapi di zaman sekarang, orang-orang kurang percaya lagi pada kesaktian Indo Lambesunga. Terlebih-lebih pemerintah sudah mengeluarkan seruan. Untuk wanita hamil harus ditangani oleh bidan. Keilmuan mereka katanya lebih teruji dibandingkan Sando Peana.
Ironisnya Sando Peana selalu dikambing hitamkan tingginya angka kematian ibu hamil. Padahal Malaikat Mautlah yang menjadi biang keroknya. Ialaha pemutus tali kebahagian, kesenangan, dan suka cita. Ia pembawa kabar buruk yaitu mati. Perkara yang paling ditakuti oleh manusia kebanyakan. Kedua anakku yang telah mati, ulah Malikat Maut yang keterlaluan. Serta ketidak mampuan ilmu medis bidan untuk membendung Malaikat Maut.
Keputusanku untuk ingin membunuh Malaikat Maut, jika menampakkan batang hidungnya di ruang persalinanku nanti. Serta keputusanku untuk berurusan dengan Indo Lambesunga membuatku kerap kali berseteru dengan suamiku.
Ia kelewat termakan kemodernsasian zaman. Puncak perseteruanku dengannya saat saya memutuskan untuk meneruskan tradisi nenek moyangku tentang kehamilanku kali ini.
Yaitu Niuri Tobattang, pijatan orang hamil. Sebuah tradisi yang sudah turun temurun dilakukan oleh keluargaku. Didua kehamilanku yang pertama saya abai pada tradisi itu. Bisa jadi karena itulah persalinanku selalu menuai nasib buruk.