Menjadi pertanyaan kenapa kita tidak menggalang dan mendukung pengadaan stok nasional dari sentra-sentra produksi ketika panen raya. Â Justru misalnya yang terjadi melaksanakan impor pada saat panen raya.Â
 Sangat sulit mencari logika pembenar untuk kebijakan melaksanakan impor beras pada saat negara kita sedang panen raya padi. Â
Konsekuensi paling mudah dilihat adalah bahwa, dengan kebijakan impor beras pada saat panen raya padi ini, petani diberikan sinyal, produksi padi tidak menguntungkan bahkan merugi, dan akibatnya mereka akan terpaksa harus mengalihkan produksi padi ke usaha lainnya yang lebih menguntungkan.Â
 Pada gilirannya ini akan menjadi seperti efek involusi, yang bila terus berlanjut maka ketergantungan negara kita akan impor padi akan terus menerus dan bahkan semakin dalam.
Pilihan yang lebih masuk logika sebenarnya adalah Kemenperdag memanfaatkan dana, yang seyogyanya untuk mengimpor beras itu, digunakan untuk membeli produksi padi petani yang melimpah, paling tidak pada tingkat harga yang setara dengan yang ditawarkan tengkulak atau bahkan lebih tinggi lagi. Â
Dengan demikian kesulitaan pengadaan oleh Bulog yang terhalang ceiling price yang lebih rendah dari harga tengkulak, dapat diatasi. Â
Pengalaman sebagian petani di Kalsel, ada yang harus berpartisipasi dalam program sergab dengan wajib menjual gabahnya mengikuti harga Bulog yang berada di bawah harga tengkulak. Â
Hal serupa ini mungkin bisa dihindari bila Kemenperdag berpartisipasi dengan "dana impor"nya untuk pengadaan beras ini.
Antara Produksi dan Konsumsi Beras
Sesungguhnya antara produksi padi atau beras di satu sisi, dengan ketersediaan beras untuk dikonsumsi masyarakat di sisi yang lain, terdapat perbedaan karakteristik yang mendasar.Â
Kelihatannya hal ini terlewatkan dalam pertimbangan kebijakan kita, atau paling tidak dianggap given, padahal beda karakteristik ini besar pengaruhnya. Â