Mohon tunggu...
Kuntoro Boga
Kuntoro Boga Mohon Tunggu... -

Pemerhati Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Selanjutnya

Tutup

Money

Catatan dan Harapan Implementasi Metodologi Baru Produksi Beras Nasional

27 November 2018   11:46 Diperbarui: 27 November 2018   17:30 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Memperhatikan rilis BPS tentang Perbaikan Metodologi Perhitungan Data Produksi Beras Dengan Kerangka Sampel Area (KSA), yang dikeluarkan setelah melalui rapat koordinasi yang dipimpin oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla pada tanggal 22 Oktober 2018 yang lalu, stakeholder banyak yang bernafas lega dan berharap ini akan berkontribusi signifikan untuk perumusan kebijakan pertanian dan ketahanan pangan yang lebih akurat dan sekaligus juga dapat menyelesaikan simpang siur justifikasi dan argumen mengenai kebijakan impor beras, apakah diperlukan atau tidak.

Keunggulan metode ini dan kecanggihan peralatan pendukung yang digunakan padanya, sangat memberikan harapan, bahwa Indonesia akan mampu memperoleh gambaran situasi dan tingkat produksi padi, serta gambaran surplus dan defisit persediaan beras untuk konsumsi penduduknya, dengan lebih baik dan akurat. 

Diharapkan, metode canggih ini benar-benar mampu memberikan gambaran kondisi dan angka-angka terkait padi dan beras, baik produksi maupun konsimsinya, tidak hanya menjadi alat rasionalisasi, untuk mendukung pelaksanaan impor beras.

Lebih-lebih perhitungan akhir Metode-KSA ini memberikan angka surplus beras Indonesia untuk tahun 2018 adalah 2,85 juta ton beras. Angka ini memang lebih rendah dari data Kementan yang sebelumnya memberikan tingkat surplus 16,29 juta ton. 

 Meskipun demikian, ketersedian surplus 2,85 juta ton ini memberikan indikasi bahwa dari sudut produksi, arah kebijakan Kementan sudah selaras dengan keinginan Presiden Jokowi.  Bahwa negara kita bisa tidak impor beras.  

Karenanya, kebijakan berikutnya yang diperlukan bukanlah impor beras untuk mengamankan stok, melainkan lakukan penyerapan surplus (gabah maupun beras) itu dengan harga yang sesuai, agar stok aman dan surplus tersebut berada dalam penguasaan pemerintah.

Sejak pemerintahan kabinet kerja Jokowi-JK terbentuk di 2014 lalu, garis besar arah pembangunan nasional adalah kemandirian seperti yang termaktub dalam Nawacita. 

Tulisan Presiden Jokowi dalam buku 'Revolusi Mental' (editor Jansen Sinamo, 2014), dengan tegas mengatakan, "Indonesia secara ekonomi seharusnya dapat berdiri di atas kaki sendiri, sesuai amanat Tri Sakti.  

Ketahanan pangan dan ketahanan energi merupakan dua hal yang sudah tidak dapat ditawar lagi. Kita jangan mengandalkan impor pangan. 

Indonesia harus berusaha melepaskan diri dari ketergantungan pemenuhan kebutuhan makanan dan bahan pokok lainnya dari impor. Kita harus melakukan revolusi mental untuk mengikis mental ketergantungan itu".

Agaknya, apa yang menjadi harapan Presiden Jokowi secara perlahan mulai terwujud di sektor pangan nasional dengan berhasilnya Indonesia secara cepat melakukan lompatan dalam meningkatkan produksi.

 Yang jadi persoalan saat ini adalah, terkait mentalitas para pengambil kebijakan. Seperti yang dikatakan Presiden dalam buku tersebut, "Kebijakan ekonomi liberal yang sekadar mengedepankan kekuatan pasar telah menjebak Indonesia sehingga tergantung pada modal asing.

 Sementara sumberdaya alam dikuras oleh perusahaan multinasional bersama para "kompradornya".

Korelasi Produksi Padi dan Harga Beras di Pasar

Selama ini Kementan sering menjadi alamat yang menerima complaint dan blame bahwa data produksi padi dan kemudian konversinya menjadi produksi beras, tidak valid dan tidak sesuai dengan kenyataan. 

 Dipertanyakan, kalau memang produksi tinggi dan surplus, mengapa harga di pasar tinggi dan stok beras dirasakan langka.  Pahadal Kementan sendiri menggunakan data dari BPS, yang dalam proses rilisnya melalui kerja bersama dengan BPS.  

Sayangnya, ketika menyatakan data Kementan yang ada salah, tidak ada data koreksi yang diberikan.  Hanya asumsi, dugaan dan perkiraan yang muncul ke permukaan.  Kondisi ini pulalah yang merupakan satu di antara pemicu kegaduhan Kepala Bulog dan Menperdag.  

Satu pihak menyatakan impor tidak perlu, karena fakta menunjukkan stok mencukupi sepanjang tahun 2018 ini, sementara pihak yang lain berargumen, impor perlu untuk menjaga kestabilan, karena pasar memberikan sinyal harga beras yang tinggi, yang dipercaya sebagai indikator kekurangan dalam stok kita.

Harga beras yang tinggi di pasar sesungguhnya tidah selalu berkorelasi dengan kekurangan dalam tingkat produksi padi.  Bisa terjadi penyebabnya adalah pergerakan beras akibat perdagangan, yang membuat stok menjadi langka.  

Kelangkaan stok beras ini bisa terjadi disengaja oleh pelaku perdagangan besar yang rakus ingin mengeruk keuntungan, namun bisa pula karena pergerakan produk lintas wilayah yang alami karena sinyal harga beras berlaku dan adanya margin untuk menangkap utilitas tempat (utility of place). 

Apapun keadaanya, sesungguhnya di ranah ini, tangan Kementan tidak valid untuk menanganinya, karena berada di luar otoritas tupoksi yang digariskan kepadanya.  

Anehnya publik dan kebanyakan pengamat, cenderung menempatkan blame ini kepada Kementan.  Seharusnya ranah ini berada dalam otorisasi institusi lain.

Menjadi pertanyaan kenapa kita tidak menggalang dan mendukung pengadaan stok nasional dari sentra-sentra produksi ketika panen raya.  Justru misalnya yang terjadi melaksanakan impor pada saat panen raya. 

 Sangat sulit mencari logika pembenar untuk kebijakan melaksanakan impor beras pada saat negara kita sedang panen raya padi.  

Konsekuensi paling mudah dilihat adalah bahwa, dengan kebijakan impor beras pada saat panen raya padi ini, petani diberikan sinyal, produksi padi tidak menguntungkan bahkan merugi, dan akibatnya mereka akan terpaksa harus mengalihkan produksi padi ke usaha lainnya yang lebih menguntungkan. 

 Pada gilirannya ini akan menjadi seperti efek involusi, yang bila terus berlanjut maka ketergantungan negara kita akan impor padi akan terus menerus dan bahkan semakin dalam.

Pilihan yang lebih masuk logika sebenarnya adalah Kemenperdag memanfaatkan dana, yang seyogyanya untuk mengimpor beras itu, digunakan untuk membeli produksi padi petani yang melimpah, paling tidak pada tingkat harga yang setara dengan yang ditawarkan tengkulak atau bahkan lebih tinggi lagi.  

Dengan demikian kesulitaan pengadaan oleh Bulog yang terhalang ceiling price yang lebih rendah dari harga tengkulak, dapat diatasi.  

Pengalaman sebagian petani di Kalsel, ada yang harus berpartisipasi dalam program sergab dengan wajib menjual gabahnya mengikuti harga Bulog yang berada di bawah harga tengkulak.  

Hal serupa ini mungkin bisa dihindari bila Kemenperdag berpartisipasi dengan "dana impor"nya untuk pengadaan beras ini.

Antara Produksi dan Konsumsi Beras

Sesungguhnya antara produksi padi atau beras di satu sisi, dengan ketersediaan beras untuk dikonsumsi masyarakat di sisi yang lain, terdapat perbedaan karakteristik yang mendasar. 

Kelihatannya hal ini terlewatkan dalam pertimbangan kebijakan kita, atau paling tidak dianggap given, padahal beda karakteristik ini besar pengaruhnya.  

Kalau diperhatikan dokumen rilis Sekretariat Wakil Presiden RI tentang Perbaikan Metodologi Perhitungan Produksi Beras, ada empat faktor pokok yang menjadi dasar perhitungan produksi dan surplus beras kita yaitu: 

  1. luas lahan baku sawah, 
  2. luas panen, 
  3.  produktivitas dan 
  4. angka konversi gabah-beras.  

Dengan metode KSA ke empat tahapan tersebut telah disempurnakan.  Hal ini menggembirakan, karena berarti akurasi data kita semakin tinggi sehingga kebijakan yang dirumuskan berdasarkan data tersebut akan semakin mengena ke sasaran dan tujuannya. 

Ketika perhitungan tingkat produksi kemudian dihubungkan dengan angka perkiraan konsumsi masyarakat yang besarnya adalah 111,58 Kg/Kapita/Tahun, hal inilah yang selanjutnya memberikan kepada kita tingkat surplus atau defisit pangan kita.  

Kerangka logika seperti ini sesungguhnya berpotensi melenceng dari realita.  Kita menganggap produksi yang dihasilkan oleh usahatani padi kita tetap seperti ketika kita perhitungkan tingkat produksinya.  

Padahal dengan berjalannya waktu, produk yang dihasilkan itu ada pergerakannya, bisa di jual keluar batas wilayah analisis kita, dan tentu bisa juga ada yang masuk ke wilayah kita.  

BPS sendiri dalam rilisnya di bagian penutup anta lain menyebutkan bahwa: 1) jumlah stok perlu diamati dari waktu ke waktu, dan 2) perlu diteliti pergerakan produksi beras antar provinsi dan kabupaten/kota (provinsi surplus dan provinsi defisit).

Memperhatikan uraian di atas, cukup terang terlihat bagi kita bahwa untuk perhitungkan surplus atau defisit konsumsi beras kita, data tingkat produksi tidak sesuai bila langsung digunakan. 

 Ada dua faktor lagi yang seharusnya ditambahkan kepada empat faktor perhitungan produksi terdahulu.  Kedua faktor tambahan ini adalah variabel 5) waktu dan 6) pergerakan produk.  

Variabel waktu untuk merepresentasikan berapa lama semenjak produk dihasilkan dari usahatani, sampai saat kita memperhitungkan surplus atau defisit konsumsi kita. 

 Sedangkan variabel pergerakan produk akan merefleksikan pengurangan atau tambahan produk kita, akibat adanya pergerakan (perdagangan, transfer dsb) produk tersebut melintasi wilayah analisis.

Dengan demikian berbeda dengan perhitungan produksi, untuk memperhitungkan kebutuhan konsumsi kita, ketersediaan stok yang kita lihat harus memperhatikan:  1) luas lahan baku sawah, 2) luas panen, 3) produktivitas, 4) angka konversi gabah-beras, 5) waktu sejak produksi dan 6) pergerakan produk.

Beberapa Catatan Terkait Metode KSA

Dengan hadirnya data baru yang diperoleh melalui metode KSA ini, besar harapan bahwa perbedaan pandangan tentang kebijakan impor beras, karena perbedaan data yang melandasinya, dapat diselesaikan dengan baik.  

Seperti informasi yang beredar, metode Kerangka Sampel Area (KSA) yang digunakan untuk membuat prediksi data produksi beras oleh BPS, diyakini lebih unggul untuk memperoleh hasil data dibanding metode yang lama. 

Dilakukan dengan serangkaian uji coba menggunakan teknologi mutakhir. Keterlibatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ART), Badan Informasi Geospasial serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional yang mendukung dengan penyediaan citra satelit yang sangat tinggi, hal ini diapresiasi sekali. BPS bahkan menyatakan sudah menguji coba metode KSA ini sejak tahun 2015 dan diaplikasikan di seluruh wilayah Indonesia sampai level kecamatan di tahun 2018.

BPS mengklaim bahwa lewat metode ini kesalahan yang disebabkan kemungkinan petugas merekayasa hasil amatan, dapat diminimalisir. 

Pengamatan dilakukan terhadap luas baku sawah.  Dari hasil pengamatan tersebut setiap bulan dapat diperoleh perhitungan luas tanam padi dan luas panen padi pada periode tertentu. 

Produktifitas padi diukur dengan pengamatan terhadap hasil panen gabah kering panen (GKP) melalui observasi ubinan. 

Ubinan dilengkapi peralatan yang sudah terukur keakuratannya sehingga bisa diperkirakan produktivitas GKP per hektar berdasarkan berat hasil pengamatan.

Terkait uraian di atas, satu hal yang menjadi catatan.  Apabila memang maksud penggunaan metode baru ini sebagai penyempurna data produksi beras nasional, mengapa BPS tidak melibatkan kementerian dan lembaga teknis yang terkait langsung dengan hal tersebut yaitu Kementerian Pertanian (Kementan) dan Badan Urusan Logistik (Bulog)?  

Mengingat kedua institusi itu merupakan yang paling berkepentingan dan yang memiliki otorisasi tupoksi dalam hal produksi beras nasional.

Selanjutnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional telah menerbitkan Keputusan No. 399/KEP-23.3/X/2018, Tanggal 8 Oktober 2018, Tentang Penetapan Luas Lahan Baku Sawah Nasional Tahun 2018 yakni seluas 7.11 juta Ha.

 Dengan implementasi perhitungan berdasarkan KSA diperoleh hasil pengamatan dan perhitungan luas panen 10,91 juta Ha, produktivitas 51,87 Ku/Ha dan Indeks Pertanaman (IP) sebesar 1,53.  Angka produksi yang diperoleh adalah sebanyak 32,42 juta ton beras hingga akhir tahun 2018.

Dengan melihat konsumsi beras masyarakat Indonesia melalui angka hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), jumlah konsumsi beras di Indonesia mencapai 29,57 juta ton. 

Jadi dalam hasil perhitungan tersebut maka Indonesia mengalami surplus beras sebesar 2,85 juta ton.

Sebelumnya, perhitungan Kementan menggunakan data formal BPS memberikan angka untuk luas lahan baku sawah adalah 8,19 juta Ha. 

 Luas panen adalah 15,99 juta Ha, tingkat produktivitas 51,92 Ku/Ha , dan IP 1,75.  Angka produksi yang diperoleh adalah sebesar 46.68 juta ton beras.  

Perhitungan Kementan untuk konsumsi lebih tinggi yaitu 30,39 juta ton beras (dengan konsumsi per kapita sebesar 114,60 Kg/Kapita/Th.  Menurut perhitungan ini surplus beras di tahun 2018 adalah sebesar 16,29 juta ton. 

Dengan melihat tampilan angka-angka dari kedua kelompok perhitungan tersebut, terlihat bahwa perhitungan Kementan umumnya over-estimated, bila diukur dengan standar perhitungan BPS-metode KSA.  

Bila dilihat lebih detail pada breakdown datanya, tampak bahwa sumber perbedaan itu bermuara pada perbedaan luas lahan baku sawah, perbedaan estimasi luas panen dan perbedaan estimasi IP. 

Menjadi pertanyaan saya kemudian adalah, bila di overlay dengan keadaan sebenarnya di lapangan, manakah yang lebih mendekati nilai sebenarnya, apakah Kementan yang over-estimated ataukah justru BPS yang under-estimated?

Kita masih memerlukan konfirmasi, apakah kemampuan satelit canggih penangkap citra dengan resolusi yang sangat tinggi, yang diimplementasikan di metode KSA ini, sudah di program untuk menangkap juga jumlah luasan ladang yang ditanami padi, sebagai bagian dari luas lahan baku sawah untuk menghitung produksi?  

Karena bagaimanapun kecanggihan peralatan yang digunakan, tetap menghajatkan sumberdaya manusia yang mampu memprogramnya, mengendalikannya dan membaca hasil yang dibawanya, dengan benar.

Pertimbangan lainnya yang juga memerlukan perhatian adalah terkait kondisi rawa.  Lahan sawah yang berupa rawa banyak yang perangai produksinya berlawanan dengan sawah lazimnya.  

Lahan lebak misalnya, justru memberikan kontribusi hasil produksi yang signifikan tinggi ketika musim kemarau, yaitu di musim yang lahan sawah non irigasi justru tidak dapat difungsikan untuk berproduksi. 

Perangai produksi yang khusus ini, apakah juga telah terprogram dengan baik dalam Metode KSA, sehingga perhitungan luas lahan baku sawah dan IP, sudah merepresentasikan kemampuan produksi lahan rawa ini dengan baik.

Harapan pada Kontribusi Metode KSA untuk Penyelesaian Masalah

Masing-masing metode yang digunakan, sehingga menghasilkan dua kelompok data yang berbeda di atas, yakni  yang disebut "eye estimate" digunakan oleh Kementan dan Metode KSA yang digunakan oleh BPS, sebenarnya memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing.  

Metode eye estimate mungkin bisa dianggap subjektif dan rentan terhadap rekayasa, namun metode ini unggul dalam hal jangkauan petugasnya yang mencapai pelosok terpencil dari unit observasi terkecil.  

Sementara itu Metode KSA boleh jadi unggul karena lebih objektif dengan berdasarkan dukungan alat canggih untuk observasinya, namun pengaturan dan instalasi peralatan tersebut secara benar, untuk merespon variasi dalam tipe dan karakteristik lahan yang diamati, bisa jadi merupakan drawback yang harus diluruskan.

Berdasarkan hal itu alangkah indahnya apabila kedua metode ini "dikawinkan" untuk memperoleh "silangan" yang memiliki sifat-sifat keunggulan dan membuang karakteristik yang merupakan kelemahan dari kedua metode.  

Saya berfikir apabila BPS kembali bersinergi dengan Kementan, Metode KSA dari BPS diimplementasikan, dengan dukungan verifikasi dari Kementan dengan petugasnya yang mampu menjangkau jauh sampai sudut-sudut terpencil, maka hasil yang lebih rigorus (teliti dan tepat) dapat diperoleh.  

Harmoni dalam proses generasi data yang berjalan baik sebelum ini antara dua lembaga ini, kiranya perlu dilanjutkan kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun