Yang jadi persoalan saat ini adalah, terkait mentalitas para pengambil kebijakan. Seperti yang dikatakan Presiden dalam buku tersebut, "Kebijakan ekonomi liberal yang sekadar mengedepankan kekuatan pasar telah menjebak Indonesia sehingga tergantung pada modal asing.
 Sementara sumberdaya alam dikuras oleh perusahaan multinasional bersama para "kompradornya".
Korelasi Produksi Padi dan Harga Beras di Pasar
Selama ini Kementan sering menjadi alamat yang menerima complaint dan blame bahwa data produksi padi dan kemudian konversinya menjadi produksi beras, tidak valid dan tidak sesuai dengan kenyataan.Â
 Dipertanyakan, kalau memang produksi tinggi dan surplus, mengapa harga di pasar tinggi dan stok beras dirasakan langka.  Pahadal Kementan sendiri menggunakan data dari BPS, yang dalam proses rilisnya melalui kerja bersama dengan BPS. Â
Sayangnya, ketika menyatakan data Kementan yang ada salah, tidak ada data koreksi yang diberikan. Â Hanya asumsi, dugaan dan perkiraan yang muncul ke permukaan. Â Kondisi ini pulalah yang merupakan satu di antara pemicu kegaduhan Kepala Bulog dan Menperdag. Â
Satu pihak menyatakan impor tidak perlu, karena fakta menunjukkan stok mencukupi sepanjang tahun 2018 ini, sementara pihak yang lain berargumen, impor perlu untuk menjaga kestabilan, karena pasar memberikan sinyal harga beras yang tinggi, yang dipercaya sebagai indikator kekurangan dalam stok kita.
Harga beras yang tinggi di pasar sesungguhnya tidah selalu berkorelasi dengan kekurangan dalam tingkat produksi padi. Â Bisa terjadi penyebabnya adalah pergerakan beras akibat perdagangan, yang membuat stok menjadi langka. Â
Kelangkaan stok beras ini bisa terjadi disengaja oleh pelaku perdagangan besar yang rakus ingin mengeruk keuntungan, namun bisa pula karena pergerakan produk lintas wilayah yang alami karena sinyal harga beras berlaku dan adanya margin untuk menangkap utilitas tempat (utility of place).Â
Apapun keadaanya, sesungguhnya di ranah ini, tangan Kementan tidak valid untuk menanganinya, karena berada di luar otoritas tupoksi yang digariskan kepadanya. Â
Anehnya publik dan kebanyakan pengamat, cenderung menempatkan blame ini kepada Kementan. Â Seharusnya ranah ini berada dalam otorisasi institusi lain.