Mohon tunggu...
Kundiharto
Kundiharto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Psychology Student

Deep interest in the fields of Information Technology, Psychology, Marketing, Management, and Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bukan Cuma Lima! Kenali 8 Tahap Kebutuhan Manusia Menurut Maslow

4 Desember 2023   04:04 Diperbarui: 4 Desember 2023   05:52 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hal teman-teman! Pernah dengar tentang Teori Hierarki Kebutuhan Maslow? Kalau belum, yuk, kita ngobrol-ngobrol santai tentang ini. Bayangin aja, teori ini kayak menu di restoran kesukaan kita, tapi bukan untuk perut, melainkan untuk jiwa.

Asal-usul Teori yang Keren Ini

Jadi, ceritanya ada seorang psikolog bernama Abraham Maslow. Pada tahun 1943, beliau punya ide cemerlang untuk menjelaskan apa yang bikin kita, sebagai manusia, 'ngegas' setiap hari.

Maslow mengamati, loh, ternyata kita semua punya kebutuhan yang berlapis-lapis, mirip kayak lasagna kesukaan kita itu. Dia mulai dari yang paling dasar, kayak makan, minum, dan tidur, sampai ke hal-hal yang lebih 'wah', kayak pengakuan dan pencapaian diri.

Tujuannya Apa, sih?

Nah, tujuan Maslow sebenarnya sederhana: dia pengen tahu apa yang bikin kita 'ngeklik'. Apa sih yang bikin kita bangun tiap pagi dan bersemangat menjalani hari?

Teori ini kayak peta harta karun, yang nuntun kita ngerti apa yang paling kita butuhkan di setiap tahap hidup. Dari situ, kita bisa lebih paham kenapa kadang kita ngebet banget pengen beli sepatu baru, atau kenapa tiba-tiba kita pengen jadi volunteer di panti asuhan.

Yuk, Bayangin...

Coba bayangin, kita lagi di supermarket. Di rak paling bawah, ada kebutuhan dasar: beras, mi instan, sabun. Itu kayak tahap awal di hierarki Maslow. Penting banget, tapi bukan akhir dari segalanya.

Terus, kita naik ke rak yang lebih atas, ada barang-barang yang lebih 'wah', kayak buku self-help atau catatan jurnal. Ini mirip tahapan selanjutnya, di mana kita mencari makna lebih dalam tentang diri kita dan dunia sekitar.

Ngomong-ngomong...

Maslow bilang, kita nggak bisa loncat-loncat tahap. Kayak, nggak mungkin kita mikirin self-actualization kalau perut kita lagi keroncongan, kan? Tapi, sejujurnya, siapa sih yang nggak pernah ngelanggar 'aturan' belanja? Kadang kita butuh sneaker baru meski belum tentu butuh-butuh banget.

Jadi, itulah sekilas tentang teori Hierarki Kebutuhan Maslow. Seru, kan? Teori ini nggak cuma bikin kita ngerti diri sendiri, tapi juga orang lain. Jadi, selanjutnya, kita akan ngobrol tentang kesalahpahaman umum seputar teori ini. Siap-siap untuk kejutan, ya!

Kesalahpahaman Umum: Model Lima Tahap

Kita lanjut yuk cerita tentang Teori Hierarki Kebutuhan Maslow. Tapi, kali ini kita bahas tentang kesalahpahaman yang sering terjadi. Banyak orang cuma tahu ada lima tahap, padahal sebenarnya... Eh, tunggu dulu, kita ulas dulu kelima tahap yang terkenal itu.

1. Kebutuhan Fisiologis: Dasar dari Dasar

Ini lapisan paling bawah dari 'kue' hierarki kita. Bayangin deh, kebutuhan kayak makan, minum, tidur, dan... ehem, kebutuhan biologis lainnya. Ini kayak fondasi rumah; tanpa ini, kita nggak bisa bangun lebih tinggi.

2. Keamanan dan Keselamatan: Payung Anti Badai

Tahap kedua ini tentang rasa aman. Bukan cuma fisik, tapi juga keamanan finansial, kesehatan, dan ketenangan rumah tangga. Kayak pakai payung saat hujan, kita butuh rasa aman untuk bisa jalan ke depan.

3. Kasih Sayang dan Rasa Pertenyaan: Teman untuk Tertawa dan Menangis

Nah, di tahap ketiga, kita bicara soal hubungan. Teman, keluarga, pasangan. Kita semua butuh cinta dan diterima, kan? Kayak di grup WhatsApp keluarga, yang kadang ribut tapi hangat.

4. Penghargaan: Piala di Rak Hati

Di tahap keempat, kita pengen diakui. Prestasi, status, rasa hormat dari orang lain. Ini kayak medali yang kita pajang di hati. Siapa sih yang nggak bangga saat namanya disebut saat rapat kantor?

5. Self-Actualization: Jadi Diri Sendiri yang Terbaik

Tahap terakhir dari model lima tahap ini adalah self-actualization. Ini kayak mencapai puncak gunung setelah pendakian panjang. Kita jadi versi terbaik dari diri kita, mengejar impian, dan mewujudkan potensi penuh.

Tapi, Tunggu Dulu...

Masalahnya, banyak yang nggak tahu bahwa ada lebih dari lima tahap. Maslow sebenarnya menambahkan tiga tahap lagi setelah lima ini. Kayak bonus level di game kesukaan kita.

Jadi, itu dia kelima tahap yang sering dibicarakan. Tapi, ingat ya, cerita belum selesai. Ada lebih banyak 'level' di hierarki Maslow yang jarang dibahas. Penasaran?

Mengungkap Tahapan yang Kurang Dikenal

Siap-siap, teman-teman, sekarang kita masuk ke bagian yang seru: mengapa banyak orang tidak tahu bahwa sebenarnya ada delapan tahap dalam Hierarki Kebutuhan Maslow, bukan hanya lima!

Kenapa Si Lima Jadi Superstar?

Pertama, kita harus ngerti kenapa model lima tahapnya Maslow ini kayak 'idola pop'. Waktu Maslow pertama kali memperkenalkan teori ini di tahun 1940-an, dia cuma bicara tentang lima tahap itu. Dan itu yang 'nempel' di benak semua orang.

Buku-buku psikologi, kuliah, hingga seminar-seminar motivasi, kebanyakan cuma ngomongin lima tahap ini. Jadi, wajar kalau kita semua kayak nonton film tapi cuma sampai setengah cerita.

Lalu, Maslow Tambahin Apa Lagi?

Nah, yang menarik, di akhir hidupnya, Maslow nambahin tiga tahap lagi. Tapi, karena ini terjadi belakangan, nggak banyak yang tahu. Ibaratnya, Maslow ngeluarin 'album' terbarunya, tapi fans lama masih dengerin lagu-lagu hits yang lama.

Mengapa Kurang Populer?

Alasan lain, tahapan tambahan ini agak 'abstrak'. Kita semua mudah mengerti kebutuhan makan atau kasih sayang. Tapi, kebutuhan kognitif atau estetika? Itu kayak bahan obrolan di kafe hipster, unik tapi nggak semua orang ngomongin.

Juga, karena Maslow meninggal tidak lama setelah mengusulkan tahapan baru ini, teorinya nggak sempat berkembang sepopuler lima tahap awal. Jadi, bisa dibilang, tiga tahap terakhir ini seperti 'hidden track' yang belum banyak didengar.

Penyebab Lain Ketiadaan Pengetahuan

Pendidikan dan media massa cenderung fokus pada yang 'tradisional' dan mudah dicerna. Jadi, tiga tahap terakhir ini sering terlewat.

Juga, banyak psikolog dan peneliti yang setuju dengan lima tahapan awal, tapi belum sepenuhnya yakin atau tidak mengetahui tentang tiga tambahan tersebut.

Jadi, itulah alasan mengapa banyak dari kita belum tahu tentang delapan tahap dalam teori ini. Menarik, kan? Maslow kayak penyihir yang menyimpan trik-trik terbaiknya sampai akhir pertunjukan. Di bagian selanjutnya, kita akan ngulik apa saja sih tiga tahap 'bonus' ini. Siap untuk kejutan lainnya? Ayo lanjut!

Hierarki yang Diperluas: Tahapan Keenam hingga Kedelapan

Oke, guys! Sekarang kita masuk ke zona misterius yang jarang dieksplor: tiga tahap terakhir dari Hierarki Kebutuhan Maslow. Mulai dari yang pertama di antara tambahan ini, yaitu Kebutuhan Kognitif.

6. Kebutuhan Kognitif: Haus Pengetahuan

Bayangin kita lagi di toko buku besar. Di sini, kita nggak cuma lihat-lihat, tapi benar-benar mencari buku yang bikin 'klik'. Itu loh, rasa penasaran yang nggak bisa diem. Kita mau tahu lebih banyak, mengerti dunia lebih dalam.

Maslow bilang, setelah kebutuhan dasar kita terpenuhi, kita mulai pengen mengisi kepala dengan pengetahuan. Bukan cuma ngerti cara kerja mesin cuci, tapi juga hal-hal besar kayak 'kenapa kita ada di dunia ini?' atau 'apa rahasia alam semesta?'.

Kita semua pernah merasa, kan, saat kita tiba-tiba pengen belajar bahasa baru, atau saat kita menghabiskan malam menggali info tentang teori konspirasi. Itu semua bagian dari kebutuhan kognitif kita.

Kenapa Penting?

Kebutuhan ini penting karena membuat kita 'hidup', tidak hanya eksis. Ini tentang mengasah otak, memperkaya diri dengan wawasan baru. Ini juga yang bikin kita bisa ngobrol panjang lebar tentang topik yang kita suka, atau merenung dalam-dalam tentang makna hidup.

Tapi, Tunggu Dulu...

Menariknya, kebutuhan ini nggak selalu lurus. Kadang, kita bisa jadi terlalu 'haus pengetahuan' sampai lupa waktu dan tempat. Pernah kan, pas lagi asyik browsing, tiba-tiba udah jam 3 pagi?

Sisi Humoris

Bayangin aja, kita lagi di kafe, sibuk debat tentang apakah Pluto itu planet atau bukan, sementara lupa kalau kita sebenarnya cuma mau nongkrong santai.

So, itulah sedikit cerita tentang Kebutuhan Kognitif. Menarik, 'kan? Ini baru satu dari tiga 'bonus track' yang Maslow kasih. Di bagian selanjutnya, kita akan bahas dua tambahan lainnya. Stay tuned, ya!

7. Kebutuhan Estetika: Menikmati Keindahan

Pernah nggak sih, kita jalan-jalan ke galeri seni atau taman kota, dan tiba-tiba merasa damai? Atau saat kita melihat langit sore yang warnanya kayak lukisan, terus kita berhenti sejenak, hanya untuk menikmatinya? Itu loh, momen-momen 'wow' yang bikin kita merasa hidup.

Maslow bilang, setelah kita puas dengan pengetahuan, kita mulai cari keindahan di sekitar kita. Ini bukan cuma tentang seni atau musik, tapi juga tentang mencari keseimbangan, harmoni, dan keelokan dalam segala aspek kehidupan.

Kenapa Kita Butuh Keindahan?

Kebutuhan estetika ini sebenarnya penting banget, loh. Ini yang bikin kita punya 'selera' dalam memilih baju, mendekor rumah, atau bahkan memilih wallpaper HP. Ini tentang menciptakan lingkungan yang 'nyaman' buat mata dan jiwa kita.

Ini juga yang bikin kita menghargai hal-hal kecil, kayak cara daun berguguran atau senyum dari seorang anak kecil. Momen-momen ini memberi kita perasaan damai dan puas yang nggak bisa digantikan oleh apa pun.

Bayangin aja, kita lagi di mall, melihat-lihat barang-barang lucu atau desain interior yang kece. Kita bisa menghabiskan berjam-jam hanya untuk menemukan 'benda sempurna' yang 'ngomong' ke kita.

Atau saat kita memilih filter Instagram. Kita bisa sibuk berpikir, "Filter ini bikin fotoku kayak di film indie," atau "Ini filter bikin aku kelihatan kayak di Bali, padahal cuma di balkon rumah."

Itu dia, teman-teman, tahap ketujuh dari hierarki Maslow: Kebutuhan Estetika. Seru 'kan, menemukan keindahan di sekitar kita? Di tahap selanjutnya, kita akan bahas tentang tahap terakhir yang mungkin paling 'magis'. Jadi, jangan kemana-mana ya!

8. Kebutuhan Transendensi: Membantu Orang Lain Capai Self-Actualization

Setelah kita melewati pengetahuan, keindahan, dan pencapaian pribadi, tiba-tiba ada dorongan untuk 'memberi kembali' ke dunia. Ini lebih dari sekedar berbagi; ini tentang membantu orang lain menemukan versi terbaik mereka sendiri.

Kita bicara tentang guru yang menginspirasi siswanya, atau teman yang selalu ada untuk mendukung mimpi-mimpi kita. Ini tentang menjadi bagian dari perjalanan orang lain, memberikan mereka dorongan yang sama yang pernah kita dapat.

Mengapa Ini Puncak Hierarki?

Di sini, kita nggak lagi fokus pada apa yang kita butuhkan, tapi apa yang bisa kita berikan. Ini kayak level terakhir di video game, di mana kita sudah kuasai semua skill, dan sekarang waktunya membantu pemain lain.

Ini juga menunjukkan sebuah kebenaran yang indah: kadang, kepuasan terbesar dalam hidup datang dari membuat orang lain bahagia. Bukankah itu sesuatu yang luar biasa?

Contoh Sehari-hari

Contohnya sederhana, loh. Kayak saat kita membantu adik atau teman mengerti pelajaran yang sulit. Atau, saat kita menjadi sukarelawan di komunitas, mengajarkan keterampilan atau berbagi pengalaman hidup kita.

Bayangkan kita jadi 'guru' dalam hal memilih film bagus untuk nonton. Kita merasa puas banget saat teman kita bilang, "Eh, film yang kamu rekomendasiin itu keren banget!". Sederhana, tapi bikin hati hangat.

Atau, saat kita jadi 'coach' kebugaran untuk teman, dan kita lebih bangga melihat mereka mencapai tujuan mereka daripada saat kita sendiri menurunkan berat badan. "Lihat! Ototnya mulai nongol!"

Jadi, itulah, teman-teman, tahap terakhir dari Hierarki Kebutuhan Maslow. Kebutuhan Transendensi ini tentang memberi, bukan menerima. Tentang menjadi bagian dari perjalanan orang lain, dan menemukan kebahagiaan dalam keberhasilan mereka. Ini bukan akhir perjalanan, tapi awal dari perjalanan yang baru dan penuh makna.

Implikasi dari Model Delapan Tahap

Ngomong-ngomong soal Hierarki Kebutuhan Maslow yang sudah 'upgrade' jadi delapan tahap, yuk kita bahas apa sih dampaknya terhadap cara kita memahami motivasi manusia. Juga, kenapa sih tahapan-tahapan tambahan ini kurang populer di omongan sehari-hari? Kayak ada film bagus yang belum banyak yang tahu!

Dampak pada Pemahaman Motivasi Manusia

Lebih Kompleks dan Mendalam: Dengan tambahan tiga tahap ini, teori Maslow jadi kayak puzzle yang lebih lengkap. Sekarang, kita nggak cuma ngomongin kebutuhan dasar dan pencapaian diri, tapi juga kebutuhan untuk mengerti, mengapresiasi keindahan, dan membantu orang lain. Ini kayak menyadari ada banyak layer dalam kue favorit kita.

Menyoroti Kebutuhan Non-Material: Sebelumnya, fokusnya cenderung pada hal-hal yang bisa 'diukur', seperti keamanan dan prestasi. Tapi sekarang, kita juga ngomongin tentang hal-hal yang lebih abstrak, seperti kebutuhan estetika dan transendensi. Ini kayak menyadari bahwa hidup nggak cuma soal punya rumah besar atau mobil keren, tapi juga tentang seni, keindahan, dan kebahagiaan orang lain.

Kenapa Kurang Populer di Diskusi Populer?

Kompleksitas dan Abstraksi: Tahapan tambahan ini lebih 'berat' dan abstrak. Banyak orang lebih suka konsep yang simpel dan langsung 'ngeh', daripada yang butuh pemikiran mendalam. Kayak bedanya antara nonton film laga yang seru dengan film drama yang penuh simbolisme.

Kurangnya Penyebaran Informasi: Karena Maslow menambahkan tahapan ini di akhir hayatnya, dan mungkin karena kurangnya eksposur, tahapan-tahapan ini kurang 'viral'. Ini kayak lagu bagus dari band indie yang belum banyak yang tahu.

Tantangan dalam Pendidikan dan Pelatihan: Di sekolah atau training kerja, yang sering diajarkan itu model lima tahap yang lebih mudah 'dijual' dan dipraktikkan. Menambahkan tiga tahap lagi memerlukan revisi kurikulum dan cara pandang yang baru, dan itu nggak selalu mudah.Humor dalam Keseharian

Bayangin kita lagi ngobrol dengan teman dan tiba-tiba masuk ke topik kebutuhan estetika. Teman kita mungkin bakal melotot dan bilang, "Estetika apa? Maksudnya kayak filter Instagram?"

Jadi, teman-teman, model delapan tahap ini membuka mata kita pada aspek-aspek kehidupan yang lebih luas dan dalam. Ini membantu kita ngerti kenapa kita melakukan apa yang kita lakukan, dan apa yang sebenarnya kita cari dalam hidup ini. Seru, kan, menjelajahi sisi-sisi kehidupan yang lebih dalam? Yuk, kita terus menggali dan mengeksplor!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun