Merekalah para leluhur kita generasi pertama yang masih kokoh memegang teguh ajaran luhur agama samawi ajaran tauhid (Islam) yaitu syariatnya Nabi Sulaiman dan Ratu Bilqis sebagai warisan "adiluhung kamulyaning sejagat wasesa" para leluhur nusantara.
Setelah seribu tahun kemudian dari generasi ke generasi berikutnya. Maka generasi terakhir dari para leluhur mulai luntur keyakinannya dan mulai pelan menyimpang dari ajaran para leluhur masa generasi pertama yang lurus yang diajarkan oleh Nabi Allaah Sulaiman alaihisalam
Karena mulai hilangnya bimbingan tauhid dari leluhur sebelumnya.
Mulailah para leluhur dari generasi tengah muncul benih mencampurkan ajaran tauhid (Islam) Nabi Sulaiman dengan praktek spritual pribadi manusia masing-masing. Bukan mengikuti tuntunan kitab Zabur sesuai yang dibawa dan dituntunkan oleh Nabi Sulaiman dan apa yang pernah di imani dan diamalkankan oleh para leluhur kita generasi pertama.
Di masa era generasi kedua atau generasi tengah para leluhur kita mulai ada dari sebagian yang mulai menggunakan akal, dan perasaannya sebagai ukuran pijakan dalam mencari sendiri hakikat siapa itu "Tuhan".
Generasi kedua dari para leluhur kita awalnya berkata ini dalam rangka bertaqarub kepada Sang Hyang Allaah Subhanahu wa ta'ala mencucikan diri kepada Yang Maha Esa yaitu "Sing Kuwoso" yang tidak tampak, tapi Ada bisa dirasakan keberadaannya, kata mereka.
Mereka masih menjalankan sembahyang (sholatnya syariat Nabi Sulaiman) dan beriman kepada kitab suci Zabur firman Allaah tentang tauhid yang dibawa oleh Nabi Sulaiman. Dimasa generasi tengah ini sebenarnya masih lumayan baik dan fine saja.
Tapi generasi berikutnya setelahnya itu dari para leluhur yang semakin jauh dari ilmu dan jauh dari bimbingan amalan leluhur syariat Islamnya Nabi Allaah Sulaiman alaihi saalam.
Para leluhur kita dari generasi terakhir mulai "merenovasi" dan merekayasa ajaran  leluhur sebelumnya dalam melakukan ritual dengan cara pengalaman sendiri dan cara masing tanpa bimbingan ilmu dari contoh para leluhurnya yang berilmu generasi pertama.
Mereka mulai berani menciptakan keyakinan sendiri menyebutnya bahwa Yang Maha Kuasa sebagai Sang Hyang atau Tuhan itu suka berada ditempat yang suwung (ditempat yang kosong).
Akhirnya generasi terakhir dari para leluhur yang paling radikal dan  underdog pemikirannya tapi miskin ilmu melakukan ritual ibadah ditempat yang mereka anggap suwung.
Keyakinan mereka bahwa tempat suwung itulah tempat kosong dimana ditempat itu ada Tuhan dan Tuhan akan hadir dan bersemayam ditempat yang suwung, seperti pada pohon besar, batu besar atau alam.