“Pantas bila di klakson pengendara lain, berarti aku yang salah,” begitu ucapnya sambil tertawa tersipu-sipu. Ditarik nafasnya perlahan, lalu dihembus. Cukup membuat pikiran rileks dan rasa dongkol itu pergi.
Nampak di depan ada stopan. Ditambah kecepatan kilometer laju motornya, dari 40 km menjadi 60 km. Namun lampu hijau segera berganti kuning, “sangat berisiko,” pikirnya, sehingga kedua tangannya segera menekan rem. Tepat sebelum zebra cross, matic pink itu berhenti.
“Waducchh pasti lama ini, apalagi perempatan,” ucapnya dalam hati.
Sambil menunggu lampu hijau, terdengar suara, “koran … koran … koran.”
Kepalanya mencari arah suara itu, terlihat perempuan muda yang berambut pendek, bertubuh gemuk namun mengalami difabel. Nampak perempuan itu, duduk, de kedua kaki sepaha, seperti cacat bawaan dari lahir. Berpakaian kemeja kotak-kotak dengan rompi oranye.
Kedua tangannya utuh dan sehat, terlihat tangan kanan mengayunkan sebuah koran. Di depannya ada setumpuk koran dengan kaleng rokok. Hati Franda tiba-tiba iba atas perjuangan perempuan muda itu.
Suara klakson dari belakang bergemuruh, sepeda motor yang disebalah kanan dan kiri Franda mulai melaju kencang. Hatinya gelisah, lalu Franda menyalakan sein kiri untuk menepikan motor. Perjuangannya tak mudah, mendapat klakson kendaraan di belakang, juga banyak kendaraan yang tak memberinya jalan. Hari pertama merupakan perlombaan waktu bagi pengguna jalan.
Namun tekad dan semangat Franda membuahkan hasil, diparkirnya motor itu di bawah pohon.
Kemudian segera menghampiri perempuan muda itu, dibungkukkan postur tingginya seraya berkata, “mbak saya mau satu koran.”
Nampak wajah sumringah dengan mata berbinar, seraya berkata, “ini mbak korannya.”