Mohon tunggu...
Gracideo Deus
Gracideo Deus Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - R3

hanya mas mas pelajar biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hilang

5 April 2022   10:14 Diperbarui: 5 April 2022   10:27 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

AKU adalah seorang pelajar asal Bandung. Kini aku menempuh SMA di Surabaya. Nekat melancong menjadi turis antar provinsi, demi sekolah impian tujuanku.

Sekolah kebanggaanku sedang mengadakan program tukar pelajar dengan salah satu SMA di Semarang. Aku terpilih masuk untuk mengikuti program itu. 4 jam perjalanan kutempuh untuk mendatangi kota yang terkenal dengan Simpang Limanya itu. Sebenarnya ada maksud lain di balik besarnya semangatku untuk mendatangi sekolah itu. Tak lain tak bukan karena aku sudah mengidap penyakit kesengsaraan stadium 3: Jomblo akut, tanpa pasangan selama 18 tahun. Mengenaskan.

Jam 2 siang, aku tiba di lapangan sepak bola SMA yang mewah itu. Rombonganku langsung dijamu di sebuah foodcourt, yang katanya kantin di sekolah itu. Di depan meja pemesanan makanan aku berdiri.

"Selamat datang, Rudy! Peserta program tukar pelajar Surabaya." Sapa seorang perempuan yang kulihat matanya tertuju fokus pada kartu nama yang tergantung di leherku.

"Oh... I.. Iya, Mbak. Eh, Kak..." jawabku kaget, sekaligus gugup. Karena aku telah tersihir pada bola matanya yang berwarna coklat muda, semuda parasnya.

"Mau makan apa? Ada rendang, ada ikan, ada ay-"

"RENDANG! Rendang satu, Kak."

"Sambel ijo atau sam-"

"YA, BOLEH! Boleh kok, terserah aja." Ucapku sambil tersipu malu, deg-degan, panik bak sedang diterpa angin ribut dan banjir bandang dalam satu waktu. Aku pun ditertawakan oleh gigi gingsulnya yang manis. Jessica, begitulah tulisan yang terpajang di saku kanannya.

Selesai makan, terdengar suatu pengumuman, "SILAHKAN SEMUA PESERTA SEGERA BERKUMPUL DI BANGSAL PERTEMUAN!". Sambil tersentak, sebab aku baru saja selesai makan, aku pun pergi ke Bangsal St. Paulus. Saat aku masuk di bangsal sepuluh AC itu, mataku terpaku pada seorang wanita yang memakai kuncir warna merah, yang sedang berdiri di depan. Tampaknya ia sedang berdiskusi dengan rekan panitianya yang lain. Entah berapa ribu detik mataku terpaku pada parasnya. Pengumuman yang ia berikan pun, kuhiraukan semata. 

Ketika keluar bangsal, betapa terkejutnya aku ketika melihat daftar nama anggota kelompok di papan pengumuman. Aku dan dia, ternyata sekolmpok! JESSICA ALEKSANDRA, tepat di bawah namaku, NIKOLAUS RUDY SANTOSO.

Aku sangat tak sabar untuk segera kumpul di kelompok kerja itu nanti malam. Seratus delapan puluh menit kuhabiskan hanya untuk istrihat di kamar. Tentunya dengan membayangkan wajah samarnya di langit-langit kamarku. 

***

TANPA kusadari, ada yang mengetuk pintu kamarku.

"Permisi, Rudy! Bisa berbicara sebentar?" Suara misterius itu sangat mengejutkanku. Tanpa sepatah kata jawaban dariku, aku langsung bangkit berlari membuka pintu kamar berwarna coklat tua dari pohon jati itu, lengkap dengan kode sandi pembuka pintu yang mungkin harganya jutaan.

"Silahkan ma... HAH! Je..Jess" Aku kaget bukan main melihat wajah perempuan itu yang ternyata mirip dengan petugas kasir di kantin tadi siang.

"Halo, Rud! Dengar-dengar kamu ada hal yang mau diomongin ya?"

"Lah, kamu tahu dari siapa?" Tanyaku balik kepadanya, sebab aku heran mengapa ia bisa tahu keinginanku untuk mengobrol dengannya.

"Ah, nggak usah dipikirin. Yuk, turun ke taman bawah, Rud."

Maka sampailah kami di taman sekolah yang hijau, asri, dan cantik. Cocok untuk mengobrol berduaan, seperti kami.

"Jess, kulihat akun Instagrammu, ternyata pengikutmu banyak juga ya? Enak deh punya pengikut sampai ribuan gitu. Aku yang cuma gopek, rasanya nggak cocok deh. Nggak setara kita ngobrol berdua gini."

"Halah, lha itu tuh cuma angka tok lho!" Tukasnya memakai logat khas Semarang.

"Hmm... Rud, gini deh. Sebenarnya ada yang ingin kuobrolin tentang kamu, mungkin ini masalah privasimu sih ya. Jadi kalau misalnya gak mau juga gapapa kok." Aku terdiam mendengarnya berbicara demikian. Dengan begini. Aku tahu siapa sosok di balik penerima pendaftaran siswa kemarin. Ia dengan mudah mengetahui masa laluku cukup dengan membaca formulir pendaftaran yang kukirim.

"Katanya, kamu ada peristiwa kelam? Boleh nggak aku ndengerin ceritamu? Sekaligus siapa tahu bisa kujadiin bahan tugas menulis cerpenku."

"Oke deh, Jess. Aku sekarang juga tahu ternyata kamu itu admin penerima pendaftaran." Ia hanya tersenyum.

"Kita belum ada sehari penuh bertemu. Bahkan berkenalan pun baru saja. Tetapi entah mengapa, aku ada rasa percaya ke kamu. Ya, semoga aja, kamu nggak mengkhianati kepercayaanku, Jess." Ia mendengarkanku, sambil mengangguk-angguk.

"Aku dulunya dua bersaudara. Aku adalah ragil. Kakakku perempuan, dua tahun lebih tua dariku. Ada dukaku yang mendalam tentangnya." Aku menghela napas. Ia pun juga demikian.

"Dulu, ia pernah pergi ikut omku ke Kediri. Ia berpamitan denganku. Tapi tak sampai 2 jam setelah ia berpamitan, tiba-tiba saja aku melihat notifikasi cuitan berita di HP. Ada mobil berpenumpang 2 orang yang kecelakaan. Satu laki-laki dewasa, dan satunya lagi seorang perempuan." Mataku berkaca-kaca menceritakan hal ini. Sebab, ini adalah kali pertamaku menceritakan peristiwa ini kepada orang lain, yang bukan bagian dari keluargaku.

"Banyak pengalaman yang menggembirakan bersamanya. Kami pernah bermain di taman bermain. Bahkan waktu itu kami hanya berdua saja. Kedekatan kami, kakak dan adik, sangat terasa. Di rumah, dia juga sering menjahiliku, membangunkanku di tengah malah hanya untuk menemaninya ke WC, menjenguknya saat sedang sakit DBD di rumah sakit, mengambilkan makan untuknya, dan masih banyak lagi cerita-ceritaku bersamanya. Atau lebih tepatnya, kenangan manis." Aku tak sanggup melanjutkan ceritaku kepada Jessica. Aku tertunduk, menyembunyikan tangisanku, yang pada akhirnya juga menetes ke beton taman. 

Tiba-tiba, ada suatu gerakan mistik yang tak terduga. Gerakan ini pernah kutemui terakhir kali saat aku berumur 8 tahun. Malaikat itu, Jessica, memelukku erat, erat sekali. Seperti pelukan seorang ibu yang sedang menenangkan anaknya yang baru saja jatuh dari sepeda. Seperti tak mau kehilangan orang yang disayangnya.

Aku menangis, ia pun terharu. Kami menangis dalam diam, di pundak lawan main. Tak lama, ada suara laknat yang memecah suasana. "TIGA PULUH MENIT LAGI, KUMPUL DI BANGSAL PERTEMUAN!" Suaranya bulat, keras, namun agak pecah, lebih tepatnya memekakkan telingaku. Sumber suara itu tersebar dimana-mana, termasuk di taman, di belakang kami.

"Rud, aku nggak nyangka kamu bisa terbuka kayak gini ke aku. My respect to you, my dear. Don't be sad. Semangat ya, sampai bertemu nanti." Aku terperangah. Aku terdiam. Aku tidak tahu mau merespon apa, mendengar perkataannya, "My boy". Apa artinya? Seperti sebuah novel 400 halaman yang memakai huruf sandi rumput. TIDAK MUNGKIN!

***

PUKUL 6 sore, kami berkumpul di Bangsal St. Paulus. Aku dengan sabar menunggu seseorang yang bernama Jessica Aleksandra itu. Kemungkinan, wanita kasir tadi, yang juga bisa dibilang psikiater pribadiku, atau mungkin pengagum rahasiaku, adalah pemilik nama sederhana itu. Sederhana namanya, tapi spesial orangnya.

Sampai acara dimulai, aku tak menemukan siapa Jessica Aleksandra. Barulah saat perkenalan nama per anggota kelompok, ada seorang wanita yang memperkenalkan diri.

"Halo, selamat malam semuanya! Namaku Jessica Aleksandra. Panggil aja Sandra. Oh ya, aku adalah salah satu panitia acara tukar pelajar tahun ini. Lebih tepatnya, aku ada di bagian sie perlengkapan." Kalimat itu bersumber dari seorang perempuan yang berbadan besar, bersuara kecil dan melengking. Menurut pendengaranku, pastilah ia seorang Sopran, golongan suara wanita tertinggi dalam suatu paduan suara.

Tapi lebih dari itu, hatiku hancur. Aku kecewa karena ternyata dokter psikologku tidak termasuk dalam kelompok kerja ini. Aku menjadi tidak fokus mengerjakan proyek kelompok. Mataku berputar sana-sini, mencari seorang kembaran Santa Sesilia yang mungkin sedang terpenjara di kelompok kerja yang lain. Aku ingin menjadi pahlawan yang bisa melepaskannya dari belenggu bahaya maut dalam kelompok buas itu. Tapi, ia tidak ada. Jessica, tidak ada di dalam Bangsal St. Paulus. Tak muncul dalam radar di kepalaku, seseorang pegawai kantin, bernama Jessica yang berada di ruangan 6 pintu ini.

"Kak Sandra, permisi. Aku ijin ke WC sebentar ya."

"Oh, Ya! Baik, silahkan... Emm... Rudy." Jawabnya, sambil melihat kalung identitasku.

***

AKU pergi ke sana ke sini mencari Jessica. Seperti pasien penyakit gila yang sedang hilang ingatan, liar ingin menerkam warga. Sudah kucari di berbagai sudut pekarangan sekolah, namun tidak kutemukan dia. Lalu teringat olehku bahwa ia adalah pegawai kantin. Maka, segera kudatangi kantin besar SMA itu.

"Misi mbak, ada yang namanya Jessica? Kalau tidak salah, tadi siang dia bertugas di kantin ini, menyambut tamu yang baru datang."

"Ohh... Dia barusan pulang mas. Baru aja. Kayaknya pas kalian lagi kumpul di bangka, dia pamit ke saya." Kata seorang ibu, yang sepertinya adalah salah satu pegawai di kantin itu.

"Kalau boleh tahu, rumahnya dimana ya, Bu? Saya ada keperluan penting sama beliau." Aku berkata demikian, karena aku tak tahu lagi harus mencari informasi dari mana lagi tentang keberadaan Jessica. Syukurlah, ibu itu langsung menuliskan sebuah alamat di karton minyak goreng yang disobeknya.

"Baik bu, makasih banyak ya." Ucapku dengan tulus. Ibu itu hanya membalas dengan senyuman yang ikhlas.

Tanpa berlama-lama lagi, segeralah aku menyelinap keluar sekolah itu. Sekolah  yang mewah, namun penuh dengan misteri perginya Jessica. Aku sudah tak terpikirkan lagi tentang baju, koper, dan semua barang-barangku yang tertinggal di kamar. Yang ada padaku hanyalah HP, dan dompet berisi uang dua puluh ribuan lima lembar. Aku memesan taksi online. 

"Pak, cepet ya pak. Ke alamat ini!" Aku berpesan dengan nada yang panik, yang tak terkontrol olehku.

"Duh, maaf, Pak. Saya nggak bermaksud nyentak." Bapak itu hanya tersenyum maklum.

Di tengah jalan, aku membaca kembali alamat itu. Setelah kupikirkan, alamat itu tidaklah asing. Muncul berbagai spekulasi di benakku. Apakah mungkin pikiranku itu benar? Ah sudahlah, aku tak ingin memperparah kepanikanku.

Mobil taksi terhenti pada sebuah rumah berlantai dua, bergerbang merah bata. Rumah itu indah dan megah, penuh dengan pohon dan bunga-bunga yang warna-warni dan harum. Aku segera turun, membayar taksi itu, dan melangkah ragu menuju rumah itu.

"Permisi! Spada.." Sapaku, mengikuti khas sapaan orang Semarang.

Keluarlah seorang bapak-bapak berkumis putih, berkacamata, dan rambutnya beruban disisir klimis.

"Nggih, Nang. Iku sopo yo?" Dari gaya bicaranya nampak ia sudah agak renta, tapi masih bersuara dengan lantang. Ia menanyakan, siapakah aku ini.

"A..anu Pak, saya mau bertemu dengan Jessica. Apakah orangnya ada di sini?"

"Oalah, ponakanku. Sebentar ya mas! Mari duduk dulu di teras. Masuk saja, gerbangnya tidak dikunci kok." Aku pun masuk dengan langkah heran. Rumah ini nampak tidak asing. Suasana perumahan ini juga masih menempel di otakku. Mungkin ini de javu. Aku pun tak tahu.

Lalu keluarlah seorang gadis memakai daster polkadot coklat-putih, seperti sapi perah. Ia menyapaku kaget.

"Lho, Rud! Sampai sini kamu nyariin aku?" Tanyanya kebingungan.

"Iya, Jess. Aku khawatir sama kamu. Habisan, kamu hilang begitu aja."

"Rud, aku nggak hilang kok. Justru selama ini, kamulah yang hilang."

Belum sempat kujawab, keluarlah seorang bapak bergestur tua, bertubuh renta, namun masih segar bugar. Ia juga menyapaku dengan akrab dan tulus.

"Halo, Rud. Sudah sampaikah kamu di sini? Aku dan kakakmu, telah kehilanganmu selama 10 tahun. Syukurlah, akhrinya kamu datang juga. Mari masuk ke dalam, tuan besar sudah menunggumu. Ia akan menyambutmu layaknya seorang sahabat."

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun