Aku sangat tak sabar untuk segera kumpul di kelompok kerja itu nanti malam. Seratus delapan puluh menit kuhabiskan hanya untuk istrihat di kamar. Tentunya dengan membayangkan wajah samarnya di langit-langit kamarku.Â
***
TANPA kusadari, ada yang mengetuk pintu kamarku.
"Permisi, Rudy! Bisa berbicara sebentar?" Suara misterius itu sangat mengejutkanku. Tanpa sepatah kata jawaban dariku, aku langsung bangkit berlari membuka pintu kamar berwarna coklat tua dari pohon jati itu, lengkap dengan kode sandi pembuka pintu yang mungkin harganya jutaan.
"Silahkan ma... HAH! Je..Jess" Aku kaget bukan main melihat wajah perempuan itu yang ternyata mirip dengan petugas kasir di kantin tadi siang.
"Halo, Rud! Dengar-dengar kamu ada hal yang mau diomongin ya?"
"Lah, kamu tahu dari siapa?" Tanyaku balik kepadanya, sebab aku heran mengapa ia bisa tahu keinginanku untuk mengobrol dengannya.
"Ah, nggak usah dipikirin. Yuk, turun ke taman bawah, Rud."
Maka sampailah kami di taman sekolah yang hijau, asri, dan cantik. Cocok untuk mengobrol berduaan, seperti kami.
"Jess, kulihat akun Instagrammu, ternyata pengikutmu banyak juga ya? Enak deh punya pengikut sampai ribuan gitu. Aku yang cuma gopek, rasanya nggak cocok deh. Nggak setara kita ngobrol berdua gini."
"Halah, lha itu tuh cuma angka tok lho!" Tukasnya memakai logat khas Semarang.