"Baik bu, makasih banyak ya." Ucapku dengan tulus. Ibu itu hanya membalas dengan senyuman yang ikhlas.
Tanpa berlama-lama lagi, segeralah aku menyelinap keluar sekolah itu. Sekolah  yang mewah, namun penuh dengan misteri perginya Jessica. Aku sudah tak terpikirkan lagi tentang baju, koper, dan semua barang-barangku yang tertinggal di kamar. Yang ada padaku hanyalah HP, dan dompet berisi uang dua puluh ribuan lima lembar. Aku memesan taksi online.Â
"Pak, cepet ya pak. Ke alamat ini!" Aku berpesan dengan nada yang panik, yang tak terkontrol olehku.
"Duh, maaf, Pak. Saya nggak bermaksud nyentak." Bapak itu hanya tersenyum maklum.
Di tengah jalan, aku membaca kembali alamat itu. Setelah kupikirkan, alamat itu tidaklah asing. Muncul berbagai spekulasi di benakku. Apakah mungkin pikiranku itu benar? Ah sudahlah, aku tak ingin memperparah kepanikanku.
Mobil taksi terhenti pada sebuah rumah berlantai dua, bergerbang merah bata. Rumah itu indah dan megah, penuh dengan pohon dan bunga-bunga yang warna-warni dan harum. Aku segera turun, membayar taksi itu, dan melangkah ragu menuju rumah itu.
"Permisi! Spada.." Sapaku, mengikuti khas sapaan orang Semarang.
Keluarlah seorang bapak-bapak berkumis putih, berkacamata, dan rambutnya beruban disisir klimis.
"Nggih, Nang. Iku sopo yo?" Dari gaya bicaranya nampak ia sudah agak renta, tapi masih bersuara dengan lantang. Ia menanyakan, siapakah aku ini.
"A..anu Pak, saya mau bertemu dengan Jessica. Apakah orangnya ada di sini?"
"Oalah, ponakanku. Sebentar ya mas! Mari duduk dulu di teras. Masuk saja, gerbangnya tidak dikunci kok." Aku pun masuk dengan langkah heran. Rumah ini nampak tidak asing. Suasana perumahan ini juga masih menempel di otakku. Mungkin ini de javu. Aku pun tak tahu.