Mohon tunggu...
Edy Sukrisno
Edy Sukrisno Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

I've always wondered if there was a god. And now I know there is -- and it's me. ~Homer Simpson

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Satu Tahun Jokowi-Ma'ruf Disibukkan oleh Pandemi

20 Oktober 2020   16:53 Diperbarui: 21 Oktober 2020   06:23 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama satu tahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf ini, tampaknya pemerintah lebih banyak disibukkan oleh urusan pandemi yang mulai muncul di awal Maret 2020 dibandingkan oleh urusan lainnya.

Ada beberapa kebijakan yang dirancang pemerintah untuk merespon pandemi dalam bentuk program jaring pengaman sosial, yaitu Program Keluarga Harapan (PKH), Padat Karya Tunai (PKT), Kartu Sembako, Kartu Prakerja, Subsidi listrik, Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bansos Khusus Wilayah Jabodetabek (kompas.com 08/04/20)

Selain itu, pemerintah juga menggelontorkan bantuan subsidi untuk pekerja yang berpenghasilan di bawah lima juta dan juga gaji ke-13 untuk ASN.

Akan dipilih tiga kebijakan pemerintah dalam merespon pandemi untuk diulas di sini, yaitu program Prakerja, bantuan untuk pekerja swasta dengan penghasilan di bawah 5 juta per bulan, dan gaji ke-13 untuk ASN.

Ketiga kebijakan tersebut mempunyai sasaran yang berbeda.  Prakerja diperuntukkan bagi mereka yang belum mempunyai pekerjaan, insentif pekerja dengan penghasilan di bawah 5 juta untuk peserta aktif program BPJS Ketenagakerjaan, sedang gaji ke-13 untuk ASN sudah jelas untuk Aparat Sipil Negara atau Pegawai Negeri Sipil.

Sasaran Kebijakan, Realisasi, dan Kendala

Dari ketiga kelompok penerima program kebijakan, tentunya penerima bantuan prakerja yang paling membutuhkan. Karena tidak mempunyai pekerjaan, mereka tidak memiliki penghasilan.  Program ini tentunya sangat menarik bagi kelompok ini.

Sementara itu, pekerja swasta dengan penghasilan di bawah Rp. 5 juta secara keuangan lebih baik ketimbang kelompok prakerja.  Setidaknya mereka mempunyai pekerjaan dan menerima penghasilan bulanan.

Untuk kelompok ASN, barangkali kehidupan berjalan seperti biasanya, karena mereka sudah mempunyai pekerjaan yang relatif lebih aman dalam melewati gejolak ekonomi. 

Ketika memasuki pandemi, sebagian pekerja perusahaan swasta dirumahkan atau mengalami PHK, sementara itu, bagi ASN semuanya kelihatannya berjalan seperti biasanya.

Sebaik apapun kebijakan pemerintah dalam merespon dampak ekonomi karena pandemi, selalu ada kelemahannya.  Berbagai kendala kebanyakan muncul di tataran teknis pelaksanaan.

Beberapa kritik atas program Kartu Prakerja antara lain adalah mengapa harus mendaftar secara daring, di mana yang mempunyai akses masuk ke program ini adalah mereka yang mempunyai akses ke internet saja. 

Pertanyaannya apakah pemerintah tidak mempunyai data kependudukan tentang penduduk usia produktif yang belum mempunyai pekerjaan?

Demikian juga, setelah lolos seleksi, pelatihan yang diikutipun juga berbasis daring. Dengan demikian, mengabaikan mereka yang membutuhkan namun tidak mempunyai akses internet.

Kritik lainnya adalah bahwa materi pelatihan sejenis yang ditawarkan mudah didapat secara gratis di platform daring lainnya.  

Penyedia pelatihan daring tersebut adalah salah satu staff milenial kepresidenan, dan ditengarai ada konflik kepentingan di sana, yaitu pemanfaatan jabatan untuk kepentingan pribadi.  

Walaupun pada akhirnya staff tersebut mengundurkan diri, namun proyek penyedia layanan pelatihan berjalan terus.

Kita tidak tahu bagaimana nasib para pemegang kartu Prakerja setelah bantuan finansial dari pemerintah tersebut berhenti.  

Belum ada data tentang bagaimana kebijakan pemberian bantuan filantropis tersebut telah mengubah kehidupan penerimanya menjadi lebih baik secara permanen.

Dalam dua pekan setelah diumumkan, program subsidi pekerja direalisasikan untuk gelombang pertama penerima bantuan.  Penyaluran dilakukan dalam dua kali transfer, yaitu bulan September-Oktober dan November-Desember. 

Ada pun pro-kontra program ini antara lain adalah bahwa syarat penerima yang harus terdaftar sebagai peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan membuat banyak pekerja yang tidak bisa menerima bantuan ini lantaran mereka tidak didaftarkan ke BPJS tenaga kerja oleh pemberi kerja, seperti misalnya pekerja honorer ataupun buruh lepas.  

Seperti juga nasib pemegang Kartu Prakerja, penerima bantuan gaji ini hanya menerima bantuan selama empat bulan. Bila efek pandemi masih berlanjut, tentunya akan ada penurunan daya beli.  Namun kabar baiknya, ada wacana bahwa program bantuan untuk pekerja swasta ini akan diperpanjang hingga tahun 2021.

Sementara itu, gaji ke-13 ASN mendapat kritikan parsial.  Tidak ada masalah dengan ASN tingkat rendah untuk menerima gaji ke-13, namun ada sebagian masyarakat yang tidak rela melihat eselon I menerima gaji ke-13.  

Keberatan tersebut didasarkan argumen bahwa saat ini, di mana banyak pekerja swasta terdampak pandemi dan mengalami kondisi yang menyedihkan seperti dipotong gajinya, dirumahkan, atau diPHK, pemberian gaji ke-13 untuk ASN tingkat tinggi dirasa kurang memperlihatkan empati (Kompas, 14/09/20).

Metafora Memberi Ikan, Memberi Kail, dan Menyiapkan Kolam

Secara umum, jurus-jurus yang sudah dikeluarkan untuk mengatasi pandemi ini lebih banyak bersifat filantropis atau kedermawanan. 

Dalam arti kebijakan tersebut lebih mirip tindakan pemadam kebakaran yang mencoba memadamkan api alih-alih melihat persoalan mendasar yang sudah ada sebelum kebakaran terjadi.

Walau tampaknya klise, metafora memberi ikan, kail, dan menyiapkan kolam ini bisa membantu memahami apa yang diupayakan pemerintah dalam merespons pandemi.  

Dengan memberi ikan pada orang yang kesusahan berarti membantu hidup dia untuk sehari, namun dengan memberi kail, orang tersebut bisa mencari ikan sendiri.  

Dengan demikian, si pemberi kail membantu orang tersebut seumur hidup.  Tetapi, apa gunanya mempunyai kail dan ketrampilan memancing bila tidak ada kolam atau empang yang ada ikannya untuk dipancing?

Kemudian, metafora menyiapkan kolam pun juga perlu dikritisi.  Semestinya metafora membuat atau menyiapkan kolam dimaknai sebagai pendekatan pada permasalahan yang holistik, bukan sekedar memberikan kolam sebagai pengganti ikan, di mana pendekatan pada permasalahan hanya melibatkan segelintir elit.

Progam subsidi gaji untuk karyawan swasta peserta BPJS Ketenagakerjaan dan pemberian gaji ke-13 untuk ASN bisa dilihat sebagai kebijakan memberikan ikan. Di mana penerima ikan sekadar menerima saja, tanpa ada upaya apa pun untuk mengubah kondisinya.

Penggelontoran dana untuk program Kartu Prakerja barangkali bisa dikategorikan dalam upaya memberi kail dan ikan dalam jangka waktu tertentu, yaitu dengan membekali peserta program tersebut dengan pelatihan, serta memberi tunjangan selama empat bulan.  

Namun perlu digali dengan beberapa pertanyaan lebih lanjut, seperti misalnya apakah ketrampilan yang diperoleh lewat pelatihan daring memang benar-benar sesuai dengan yang dibutuhkan oleh industri dan bisa menjamin peserta untuk mendapat pekerjaan dalam waktu empat bulan?

Agar bisa keluar dari lingkaran setan politik kebijakan filantropis diperlukan tidak sekadar political goodwill, namun juga keberanian serta kepemimpinan yang kuat serta visioner untuk mengubah tatanan sosial yang ada.

Setelah itu, barangkali hal paling penting dalam perencanaan pembuatan kebijakan adalah adanya data kependudukan yang akurat dan valid.  

Tidak hanya pada saat pandemi, data kependudukan yang akurat dan valid akan membantu banyak hal, dari memetakan masalah sampai dengan eksekusi kebijakan.

Dari dulu hingga sekarang kita tidak mempunyai data akurat yang selalu dimutakhirkan tentang seberapa banyak jumlah orang miskin dan berapa banyak orang tidak mempunyai pekerjaan, dan di mana saja mereka berada.

Dengan demikian, ketika kebijakan filantropis berupa bantuan sosial harus disalurkan selalu terjadi permasalahan yang kurang lebih sama dari waktu ke waktu, antara lain data yang keliru dan tidak tepat sasaran.  

Data kependudukan yang kurang akurat dan tidak mutakhir rawan akan penyimpangan untuk berbagai kepentingan politik, terutama saat pemilu.

Faktanya bahwa program-program filantropis tersebut membantu sebagian masyarakat terdampak secara jangka pendek tak bisa diingkar.  Namun demikian, kebijakan semacam itu tidak membawa perubahan tatanan sosial yang signifikan.

Dengan demikian, mereka yang sebelum pandemi tidak punya akses atas informasi tentang program bantuan sosial pemerintah, tentu saja tetap tidak tersentuh.  

Sebelum pandemi mereka sudah termarginalisasi.  Terdampaknya mereka saat pandemi melanda negeri tetap tidak diketahui, karena sejak dari awal keberadaan mereka tidak terdeteksi.

Tentu saja ini menjadi tantangan bagi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf untuk memikirkan dan mengimplementasikan kebijakan yang bisa menjangkau mereka yang termarginalisi di sisa masa jabatan hingga 2024, dan juga tanggung jawab pemerintah-pemerintah di masa mendatang untuk menjalankan salah satu amanat dalam Pembukaan UUD 45, yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun