Mohon tunggu...
Kris Kirana
Kris Kirana Mohon Tunggu... Pensiunan -

SMA 1KUDUS - FK UNDIP - MM UGM | PERTAMINA - PAMJAKI - LAFAI

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Menawar Sanksi dan Menagih Janji …

23 November 2015   15:13 Diperbarui: 28 Mei 2016   05:51 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

GAP 13,9 JUTA PESERTA UNTUK TARGET 2015

Jumlah peserta JKN per 13 Nopember 2015 mencapai 154.695.263 orang atau mencapai 60,33% dari proyeksi jumlah penduduk tahun 2015 sebesar 255.411.700 jiwa. Gambar pertama menampilkan proporsi kelompok peserta per 6 Nopember 2015, dan gambar kedua termasuk penduduk yang belum daftar sebagai peserta JKN.

Peserta pekerja penerima upah mencapai 37,0 juta terdiri dari PNS/TNI/Polri sebanyak 15,3 juta orang dan dari BUMN/BUMD & BU swasta sebanyak 21,7 juta orang (postkotanews.com). Penduduk yang belum mendaftar sebagai peserta sekitar 101,4 juta orang.

[caption caption="Peserta JKN 6 Nov 2015, koleksi pribadi"][/caption]

Tahun 2014, BPJS Kesehatan melampaui target kepesertaan dari 121,6 juta orang menjadi 133,4 juta orang atau mencapai 109,72%. Tahun 2015, jumlah peserta ditargetkan 168.656.638 jiwa, maka masih ada kekurangan 13,9 juta orang.

Gap sebesar 13,9 juta orang merupakan tantangan bagi BPJS Kesehatan untuk meraih target lebih dari 100% seperti prestasi tahun lalu. Maka BPJS Kesehatan harus lebih aktif melakukan pendekatan untuk mendorong para pemberi kerja yang belum mendaftarkan pekerja dan keluarganya menjadi peserta BPJS Kesehatan.

MASIH ADA PERUSAHAAN MEMBANDEL, TERMASUK 7 BUMN

Di Solo Raya terdapat 3.000-an perusahaan, tetapi ada 20% perusahaan yang membandel dengan berbagai alasan. Sanksi hukum tidak langsung diberikan meskipun sudah menggandeng kejaksaan di setiap wilayah. Demikian disampaikan Kepala BPJS Kesehatan Kantor Cabang Utama Surakarta, Bimantoro hari Selasa (13/11/2015) (solopos.com).

Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris di Kantor Pusat BPJS Kesehatan Jakarta hari Kamis (12/11/2015) menyampaikan dari 119 Badan Usaha Milik Negara (BUMN), ada 7 BUMN yang belum mendaftarkan pekerja dan keluarganya sebagai peserta BPJS Kesehatan (detik.com).

Tujuh BUMN tersebut adalah PT PLN (Persero), PT Pertamina (Persero), PT Pertani (Persero), PT Industri Sandang Nusantara (Persero), PT Merpati Nusantara Airlines (Persero), PT Djakarta Lloyd (Persero), PT Inhutani IV (anak usaha BUMN).

Diungkapkan hingga kini telah tercatat peserta dari BUMN sebanyak 1,1 juta orang, sedangkan total pekerja dan anggota keluarga BUMN mencapai 2,3 juta orang.

Untuk BUMN sekelas Pertamina dan PLN, BPJS Kesehatan terus melakukan pendekatan ke manajemen hingga Kementerian BUMN sebagai pemegang saham. Bila Pertamina dan PLN bergabung, Fachmi mengakui jumlah peserta akan bertambah signifikan. Berarti PT Pertamina dan PT PLN memiliki jumlah pekerja terbanyak.

Menteri BUMN, Rini Soemarno menyampaikan telah mendorong semua BUMN menjadi anggota BPJS Kesehatan. Diharapkan akhir tahun atau paling tidak kuartal pertama tahun depan semua BUMN menjadi anggota BPJS Kesehatan (viva.co.id).

“Kami berharap BUMN dapat menjadi motor penggerak percepatan pendaftaran peserta JKN, khususnya bagi karyawan perusahaan berskala besar dan menengah ...,” kata Fachmi di Kantor BPJS Kesehatan, Jakarta, Kamis 12 Nopember 2015 (beritasatu.com). Ungkapan ini tidak berbeda dengan tema acara penandatangan komitmen di Sukabumi, 21 Oktober 2013: "BUMN sebagai motor penggerak sektor industri dalam perluasan peserta jaminan kesehatan melalui BPJS Kesehatan" (bpjs.info).

Tiga tahun yang lalu sampai sekarang yang dicemaskan tampaknya belum pudar jua. Ketidaksiapan menghadapi percepatan dapat menimbulkan masalah-masalah baru yang lebih kompleks. Maka harus dilakukan perbaikan secara fundamental, bukan hanya berusaha menanggulangi permasalahan yang muncul di permukaan. Hal ini bukan tidak bisa dilaksanakan, meskipun sulit dan penuh dengan tantangan.

Presiden juga telah menyampaikan menemukan dan melihat sendiri banyak masalah di lapangan terkait pelaksanaan BPJS Kesehatan. Presiden juga sudah mendengar potensi masalah likuiditas dan solvabilitas BPJS Kesehatan. Presiden ingin mengetahui penyebabnya, bagaimana menyelesaikan masalah-masalah dilapangan tersebut, menyempurnakan regulasinya hingga masalah likuiditasnya (setkab.go.id).

BPJS Kesehatan seyogyanya juga mengetahui penyebabnya, tetapi juga mengetahui kesulitan yang harus dihadapi. Tak mungkn berjuang sendiri untuk memperbaiki erosi dalam sistem kesehatan di negeri ini. Program JKN harus bertumpu di landasan sistem kesehatan kuat.

BUMN tidak membandel, tetapi juga tidak ingin masalah-masalah menjadi berlarut tanpa solusi dan tidak memberi harapan masa depan yang lebih baik. Serikat pekerja sebuah BUMN saja tidak mampu mengubah lingkungan yang tidak ingin berubah. Tampaknya perlu disampaikan kepada Menteri BUMN tentang semangat dan niat bakti mendorong perubahan perbaikan sistem kesehatan nasional.

ANTARA SANKSI DAN RISIKO

Pendaftaran kepesertaan jaminan kesehatan bagi pemberi kerja pada BUMN, usaha besar, usaha menengah, dan usaha kecil paling lambat 1 Januari 2015, sudah lewat lebih dari sepuluh bulan. Sedangkan usaha mikro paling lambat 1 Januari 2016, tidak lama lagi.

Bagi pemberi kerja yang tidak mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS dikenai sanksi administratif, termasuk tidak mendapat pelayanan publik tertentu (UU No.24/2011 Pasal 17) meliputi perizinan terkait usaha; untuk mengikuti tender proyek; memperkerjakan tenaga kerja asing; izin perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; atau izin mendirikan bangunan (PP No.86/2013 Pasal 9).

Pemberi kerja yang melanggar kewajiban memungut iuran dari pekerja dan membayar dan menyetor iuran kepada BPJS, dipidana dengan pidana penjara maksimum 8 tahun atau pidana denda maksimum Rp 1 miliar (UU No.24/2011 Pasal 55).

Bila bila target kepesertaan tahun 2015 tidak tercapai apakah BPJS Kesehatan tidak mendapat raport hijau, karena kepesertaan salah dari lima indikator penting dalam proses evaluasi, di tahun 2014. Indikator berikutnya adalah Draft Revisi PP No.101/2012 selesai tepat waktu; waktu penyelesaian pembayaran klaim kepada fasilitas kesehatan; sosialisasi kepada masyarakat; dan penanganan keluhan pelanggan (bpjs-kesehatan.go.id).

Pencapaian target kepesertaan merupakan salah satu ukuran kinerja BPJS Kesehatan yang sering dinilai prestisius. Prestasi ini harus diraih tanpa mengabaikan aspek-aspek penting lainnya, yang sifatnya interdependensi. Aspek-aspek dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan meliputi (1) aspek regulasi; (2) aspek kepesertaan; (3) aspek manfaat dan iuran; (4) aspek pelayanan kesehatan; (5) aspek keuangan; dan (6) aspek kelembagaan dan organisasi (djsn.go.id).

Iuran dari peserta jaminan kesehatan termasuk penerima bantuan iuran merupakan sumber terbesar aset dana jaminan sosial kesehatan. Seyogyanya jumlah iuran cukup untuk membayar biaya pelayanan kesehatan bagi peserta dan untuk membiayai operasional penyelenggaraan program jaminan kesehatan.

Dalam PP No.87/2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan Pasal 37 diungkapkan bahwa dalam hal aset bersih dana jaminan sosial kesehatan per akhir tahun tidak mencukupi estimasi pembayaran klaim untuk setengah bulan ke depan, maka paling sedikit dapat dilakukan penyesuaian dana operasional; penyesuaian besaran iuran; dan/atau penyesuaian manfaat.

Penyesuaian dana operasional BPJS Kesehatan sudah dilakukan. Penyesuaian besaran iuran tampak didepan mata. Bila suatu saat terpaksa harus dilakukan penyesuaian manfaat tentu akan menyakitkan bagi semuanya.

BUMN MILIK RAKYAT TIDAK MENENTANG NEGARA

Tujuh BUMN yang belum mendaftarkan pekerja dan keluarganya sebagai peserta BPJS Kesehatan seyogyanya tidak menentang kepentingan negara dan rakyat. BUMN milik negara, milik rakyat.

Kenyataan bahwa tingkat pemanfaatan (utilisasi) pelayanan pada peserta jaminan kesehatan dari perusahaan, terutama badan usaha besar, termasuk BUMN umumnya lebih tinggi dari rata-rata penduduk. Bukan hanya utilisasi, tetapi biayanya juga lebih tinggi. Walau tidak semua, beberapa pemberi pelayanan mungkin “tergoda” memberi pelayanan “berkualitas” yang terbaik.

Di Semarang, 21–23 Januari 2013 diselenggarakan Workshop Peran Serta BUMN Dalam Revitalisasi Dokter Primer, oleh PT. Pertamina (Persero) bekerjasama dengan Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KPMAK) Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (kpmak-ugm.org).  Direktur SDM Pertamina saat itu, Evita Tagor mengakui tingginya biaya kesehatan itu akibat adanya pemborosan, seperti biaya obat, penanganan pelayanan dan teknologi perawatan. Maka perlu diupayakan penghematan melalui pengelolaan kesehatan ke arah yang lebih efisien (tempo.co).

Empat hari sebelum 1 Januari 2014, ketika program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) digulirkan diterbitkan Perpres No.111/2013 tentang Perubahan Atas Perpres No.12/2013 tentang Jaminan Kesehatan. Salah satu perubahan drastis adalah percepatan waktu pendaftaran. BUMN, usaha besar, usaha menengah dan usaha kecil dipercepat 4 tahun, sedangkan usaha mikro dipercepat 3 tahun.

Berita perubahan tersebut muncul di awal bulan Oktober 2013. Mengejutkan karena berbeda dari Peta Jalan Menuju JKN 2012-2019 yang diterbitkan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan diluncurkan Menko Kesra pada 29 Nopember 2012.

Pada 11 Oktober 2013 Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) menyelenggarakan diskusi interaktif antara para pekerja Pertamina dengan nara sumber, termasuk Direktur Utama PT Askes (Persero), Fachmi Idris. Diantara banyak topik lainnya juga dipertanyakan tentang kesiapan pelayanan primer dan mekanisme koordinasi manfaat (COB: coordination of benefit) yang diduga meragukan.

Di Yogyakarta, 14-15 Februari 2014 Manajemen dan Serikat Pekerja BUMN duduk bersama berdiskusi tentang kesiapan BPJS Kesehatan menghadapi tantangan faktual progam JKN, termasuk kesiapan pelayanan primer. Disepakati bagaimana BUMN bisa berkontribusi untuk penguatan pelayanan primer (kpmak-ugm.org).

Dirjen Bina Upaya Kesehatan, Prof. Dr. dr. Akmal Taher, Sp.U (K) juga mengungkapkan fasilitas kesehatan primer seperti puskesmas atau klinik masih lemah. Kementerian Kesehatan RI menilai pelayanan primer yang kuat masih jadi masalah besar di Indonesia. Meski rumah sakit merupakan pelayanan sekunder dan tersier, namun dalam satu kesatuan sistem pelayanan kesehatan sangat tergantung dengan pelaksanaan pelayanan primer (depkes.go.id).

Selanjutnya diselenggarakan acara saresehan di Tangerang, 13-14 Maret 2014. Presiden FSPB, Ugan Gandar menegaskan “Tujuan JKN untuk kepentingan rakyat, maka jangan sampai ada kepentingan lain akan merusak niat baik tersebut” (pertamina.com). Petinggi BPJS Kesehatan dan Kementerian BUMN selalu diundang dalam berbagai pertemuan.

Banyak badan usaha termasuk BUMN mungkin jengah mengangkat secara terbuka tentang isu tantangan masa depan program JKN. Kepedulian APINDO, BUMN dan Serikat Pekerja tidak terkait pada konteks kawatir kehilangan “kenyamanan” ketika menjadi peserta BPJS Kesehatan tetapi bagaimana mendukung program JKN mencapai tujuannya yaitu cakupan universal, kesehatan untuk semua. Berkontribusi nyata.

Isu tentang COB telah diungkapkan oleh Hariyadi Sukamdani dalam Dialog Eksklusif Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI) di Jakarta Media Center, Jakarta, 27 Maret 2013 (youtube).

Dalam memorandum of understanding (MOU) antara BPJS Kesehatan dengan Dewan Pengurus Nasional (DPN) Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), 22 Desember 2014, ada tiga isu utama yaitu: (1) ketidaksiapan BPJS Kesehatan dalam hal FKTP; (2) COB, dan (3) menjamin pelayanan yang berkualitas baik. Ke tiga isu ini tidak mungkin diselesaikan hanya melalui perundingan.

Pembahasan COB mengalami tarik ulur karena penundaan masa aktivasi yang telah disepakati tidak diimbangi dengan perbaikan infrastruktur, demikian dikatakan Wakil Sekretaris Umum APINDO yang juga anggota Tim Perumusan CoB BPJS Kesehatan Aditya Warman (bisnis.com). Tetapi kemudian dinyatakan skema koordinasi manfaat tidak akan lagi menjadi tema yang dibahas karena telah dicapai kata sepakat (bisnis.com).  Sampai saat ini mekanisme COB yang layak masih menjadi pertanyaan.

Ketua DPN APINDO saat itu Sofyan Wanandi pada 1 Juli 2014 juga menyampaikan ternyata banyak tantangan dan hambatan dalam pelaksanaan BPJS Kesehatan, dan APINDO bersedia membantu mengatasi masalah, … dan berharap ada solusi yang baik (hukumonline.com).

Janji APINDO dan Forum BUMN tidak perlu ditagih, karena bukan sekedar janji tetapi kewajiban dan niat bakti pada negeri. Biarlah semangat itu dikobarkan dan inisiatif dirancang bersama-sama, diperjuangkan sebisa asa. Jangan diredam tanpa solusi. 

TIGA DIMENSI MENUJU CAKUPAN UNIVERSAL

BPJS Kesehatan jangan berfokus hanya pada aspek kepesertaan tetapi aspek lainnya terabaikan sehingga berpotensi menimbulkan masalah lebih besar di kemudian hari. Pertama yang harus ditegakkan adalah tujuan program jaminan kesehatan pada SJSN mencapai cakupan universal, mewujudkan Indonesia Sehat.

Tujuan JKN adalah mencapai cakupan universal. Komitmen untuk mewujudkan cakupan universal didasari oleh Deklarasi Hak Asasi Manusia (un.org), dan Deklarasi Alma-Ata (who.int). Kemudian pada bulan Mei 2005 cakupan universal menjadi komitmen seluruh negara anggota WHO dan dituangkan dalam Resolusi WHA58.33 yang berjudul: “Sustainable Health Financing, Universal Coverage and Social Health Insurance (apps.who.int).”

Definisi cakupan universal yaitu memastikan bahwa semua orang dapat menggunakan pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan, yaitu pelayanan berkualitas baik yang efektif, dan memastikan bahwa penggunaan pelayanan tersebut tidak menimbulkan kesulitan keuangan bagi penggunanya. Cakupan universal membawa harapan kesehatan yang lebih baik dan memberi perlindungan dari kemiskinan bagi ratusan juta penduduk – terutama bagi penduduk paling rentan (who.int).

Gambar kubus ganda yang disebut tiga dimensi menuju cakupan universal ini menjadi sangat dikenal di seluruh penjuru bumi, karena dapat memberi pemahaman praktis secara mudah tentang konsep dasar mencapai cakupan universal.

Penguatan sistem kesehatan sangat penting untuk memastikan kemajuan gerakan menuju cakupan universal (who.int).  Cakupan universal bisa menjadi janji kosong bila tidak berfokus pada penyediaan pelayanan yang berkualitas, bagi semua orang. Perlu ada penguatan sistem kesehatan lokal, di tingkat kabupaten, seperti dinyatakan dalam Deklarasi Harare: “Penguatan sistem kesehatan lokal, di tingkat kabupaten berbasis pelayanan primer” (Meessem & Malanda).”

Menuju cakupan universal memerlukan perjuangan dan kerja keras. Menuju cakupan universal sifatnya kontingen, muncul dari negosiasi lebih daripada desain. Dalam kenyataannya, beberapa negara memiliki rute yang spesifik dan bervariasi, yang umumnya berhasil terutama karena ada sosok pemimpin terkemuka dan ada gerakan rakyat yang kuat, yang dibingkai oleh moral dan perhatian global (Savedoff & Smith).

Semoga bermanfaat
Salam hormat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun