Mohon tunggu...
Kris Ibu
Kris Ibu Mohon Tunggu... Penulis - Sementara bergulat

Mulailah dengan kata. Sebab, pada mulanya adalah kata.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Terima Kasih, Sesado

16 Desember 2020   16:34 Diperbarui: 17 Desember 2020   06:27 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Dan andainya untuk jumpa dan mencintai mereka. 

engkau harus mengarung laut, menjelajah cakrawala, 

maka misi itu berarti 

pergi sampai ke ujung bumi"

- P. Leo Kleden, SVD -

Yang terhormat Romo Rektor/Praeses Seminari San Dominggo Hokeng;

Yang saya hormati Romo Wakil Rektor Seminari San Dominggo Hokeng;

Yang saya hormati P. Paulus Boli Lamak, SVD (sesepuh Seminari Hokeng);

Yang saya hormati Romo Kepala Sekolah SMAS Seminari San Dominggo Hokeng;

Yang saya hormati Romo Pamong Koordinator, Pater Direktur Spiritual, Romo Ekonom,;

Yang saya hormati Para Romo dan Pamong Kelas;

Yang saya hormati ibu/bapak guru dan para pegawai;

Yang saya hormati rekan-rekan frater;

Yang saya hormati karyawan/ti;

dan yang saya banggakan teman-teman seminaris (calon imam).

Singkatnya saudara/saudari yang saya hormati.

Selamat malam.

Salvete. 

Ketika terjadi pembacaan pembagian tempat TOP dan saya ditempatkan untuk berpraktek di Sesado, saya langsung cemas. Mengapa? Alasan pertama adalah keteladanan. Saya merasa bahwa saya tidak cocok berpraktik di lembaga, apalagi lembaga Seminari. Apa yang mau diteladani dari saya. Hidup baik juga tidak terlalu menonjol, bakat juga tidak terlalu menonjol. Apa yang mau diharapkan? Itu pertama.

Alasan kedua (sebagai alasan turunan dari alasan pertama), menjadi guru dan mengajar. Saya sangat yakin ketika ditempatkan di lembaga mau tidak mau saya mesti menjadi guru dan mengajar. Harus siap untuk itu. Naasnya, seorang guru professional adalah dia yang siap untuk digugu (apa yang disampaikan adalah kebenaran) dan ditiru (dia harus menjadi teladan/panutan). Selain itu, untuk mengajar dibutuhkan persiapan yang matang. Dengan ini menjadi jelas, panggilan untuk menjadi guru tidak ada dalam diri saya.

Tetapi, mau tidak mau; suka atau tidak suka, saya mesti menjalani dua hal ini. Sebab, datang berpraktik pastoral itu sama seperti "dibuang" ke samudera luas. Saya dituntut untuk berjuang untuk survive. Kalau tidak, hanya satu pilihan terakhir: tenggelam, lalu mati.

Selama kurang lebih 1 setengah tahun saya menjalani praktik pastoral di Sesado, saya selalu bergelut dengan dua hal itu. Saya berusaha dari hari ke hari untuk mengarung laut dan menjelajah cakrawala tantangan untuk berjumpa dengan ideal misi perutusan saya di tempat ini. Saya berusaha menjadi orang yang mencintai dan dicintai di tempat ini. Itu misi ideal saya. Dan dalam proses untuk mencapi misi yang ideal, saya belajar banyak hal dari komunitas Sesado ini.

Pertama, Romo Rektor. Beberapa hari setelah pembagian tempat TOP, tepatnya pada siang hari, saya mengontak Romo Rektor lewat SMS. Saya perkenalkan diri saya, lalu bertanya kira-kira kapan saya bisa masuk ke komunitas Sesado. Kira-kira jawaban Romo Rektor berbunyi demikian: Kalau ada nafsu, bisa datang lebih cepat. 

Setelah mendapat balasan ini saya langsung mengandai-andai: Pembesar ini antara dua, atau beliau terlalu baik atau beliau terlalu jahat. Itu kesan awal saya. Dan, ketika saya mulai menginjakkan kaki di tempat ini, saya akhirnya mengenal beliau sebagai orang yang paling baik. Dalam keseharian, para Pembina dan formator biasanya menyapa beliau dengan panggilan "bapa". Meski semenjak panggilan ini disematkan kepada beliau sampai hari ini, saya tidak menemukan rupa "ibu".

Dalam kebersamaan di komunitas, saya justru belajar menjadi seorang biarawan SVD sejati yang mengikrarkan 3 kaul (kemurnian, kemiskinan, dan ketaatan) dari beliau yang adalah seorang imam Projo. Beliau pernah bergurau dengan saya di kamar makan saat jam makan malam, "kamu yang ikrar kaul, kami yang jalani". Saya belajar dari beliau bagaimana sepatutnya menjadi seorang imam nantinya. Bahwasanya dalam pelayanan pastoral spirit melayani dan bukan dilayani mesti dijunjung tinggi. 

Beliau rela menjadi miskin demi kami (misalnya kalau di kamar makan tidak ada buah-buahan, pasti beliau pergi cari di kebun atau di kamarnya; atau  kalau saya mau keluar jauh (ke Larantuka, Solor, Maumere, dll) biasanya beliau beri saya uang jalan meski itu harus dilaluinya lewat meminjam uang di koperasi Sekolah). Saya juga belajar satu sistem yang beliau bangun dan hidupi, "kalu mau sukses, mesti tanam pantat!". Kalau mau sukses/mau menjadi orang yang berhasil, mesti tekun. Terima kasih atas materi pelajaran hidup yang "bapa" ajarkan kepada saya.

Kedua, P. Paulus Boli Lamak, SVD. Dari Pater Paulus saya belajar bagaimana menjadi seorang SVD yang baik; saya belajar bagaimana kehidupan doa mesti menjadi makanan sehari-hari bagi seorang SVD; saya juga belajar bagaimana nilai-nilai luhur dari bapa pendiri tidak boleh dilupakan mesti dalam situasi sulit sekalipun.

Misalnya, cerita terakhir, ketika beliau dirawat di RS Kewapante (dan tidak ada di antara kami yang menjaga karena kesibukan ujian akhir semester) dan ditanya oleh beberapa orang, "siapa yang menjaga Tuan di Kewa?" beliau jawab, "Tuhan yang jaga saya." Saya belajar bahwa dalam situasi yang paling pahit, Allah selalu hadir dalam hidup kita. Selain itu, saya belajar dari beliau satu kebajikan ini: umur itu bagai lilin yang dinyalakan. Pakai atau tidak, lilin itu akan habis. Pada waktunya engkau akan menua, maka isilah masa muda dengan kegiatan yang efektif dan kreatif. Terima kasih atas segala wejangan dan teladan hidup yang Tuan ajarkan kepada saya.

Ketiga, Romo Yosdo. Dari Romo ini saya belajar disiplin hidup. Untuk sukses, program hidup mesti jells dan teratur. Banyak orang mencap beliau sebagai "penjaga waktu". Kalau dalam sidang atau pertemuan, beliau yang selalu siap siaga untuk memberitahu forum bahwa waktu pertemuan hamper selesai. Selain itu, saya belajar sebuah keutamaan dari beliau dalam menjalani panggilan, yakni jangan lupa bahagia. Bahwasanya tak ada syukur paling paripurna selain bahagia.

Keempat, Romo Kepala Sekolah. "Frater minggu depan siap diri untuk ikut pertemuan di Kupang". "Baik, Romo". Itu salah satu cuplikan pernyataan dari Romo Kepsek dan jawaban saya ketika saya dipilih untuk mengikuti pertemuan guru Seni Budaya di Kupang bulan Oktober 2019. Dari Romo Kasek saya belajar bagaimana mengelola sebuah lembaga menjadi lembaga yang unggul. Salah satu poin untuk mencapai itu: pengembangan kapasitas guru sebagai pengajar mesti ditingkatkan. 

Saya bersyukur pernah mengikuti kegiatan dimaksud. Dari beliau, saya juga belajar bagaimana menjadi seorang pemimpin: bahwasanya seorang pemimpin sepatuntnya memiliki komitmen, bahwa menjadi pemimpin butuh terobosan baru, meski itu harus dilalui dengan menabrak arus umum, arus pemikiran lama. Saya belajar bagaimana menanamkan spirit optimisme dalam diri guru bahwa peserta didik zaman ini adalah mereka yang berkompeten dan kreatif. Oleh karenanya, guru mesti kreatif dan kompeten dalam memberikan bahan ajar. 

Saya juga belajar bagaimana mengelola sebuah lembaga dengan menetapkan standar ideal demi terwujudnya lembaga yang ber-SDM unggul dan berdaya saing global. Saya bersyukur, berkat dorongan dan motivasi dari beliau tulisan saya pernah dimuat di media nasional, kompas.id. Untuk semuanya itu, saya ucapkan terima kasih, Romo.

Kelima, Romo Pamong Koordinator. Dalam sebuah komunitas sekecil apapun itu, pasti memiliki aturan yang mesti ditaati. Dari Romo Pamong Koordinator saya belajar bagaimana menegakan aturan sebagai kunci terciptanya bonum commune. Seperti analogi sebuah tomat yang busuk akan memengaruhi tomat yang lain, demikian pula orang yang tidak taat (apalagi sudah sampai pada taraf bebal pada aturan), tidak pantas hidup di antara sesama saudara dalam komunitas itu. 

Saya juga belajar bagaimana sebuah keputusan yang dibuat mesti melewati pertimbangan rasional. Selain itu, saya belajar bagaimana kerja otak mesti diselaraskan dengan kerja fisik. Tanpa keseimbangan ini, perwujudan diri sulit terwujud, sebab kerja merupakan bentuk perwujudan diri. Terima kasih atas kesediaan hati untuk berbagi pengalaman hidup ini, Romo.    

Keenam, Pater Direktur Spiritual. Pada dasarnya, pekerjaan yang paling uzur dan sulit di dunia adalah masuk ke dalam relung hati untuk mengenal diri sendiri. Dari Pater saya belajar bagaimana sepatutnya seseorang, khususnya saya sebagai biarawan SVD, mesti masuk ke dalam diri dan mengenal diri secara mendalam. Dengan itu, saya dimampukan untuk mengolah diri dan mengenal orang lain secara utuh. Terima kasih atas wasiat rohani ini, Pater.

Ketujuh, Romo Ekonom. Dari Romo saya belajar bagaimana mengelola kehidupan rumah tangga sebuah lembaga dengan memperhitungkan investasi masa depan. Bahwasanya hidup tidak hanya hari ini, hidup membutuhkan perhitungan matang, hidup membutuhkan semacam sense of crisis hari ini untuk mengantisipasi pengeluaran tak terduga di masa depan. Terima kasih untuk pembelajaran ini.  

Kedelapan, para Pamong kelas. Dari Pamong Kelas, khususnya Romo Ino (saat bersama di kelas XI tahun lalu) dan Pater Meinolfus, saya belajar bagaimana menempatkan tugas dan tanggung jawab bersama di atas keinginan pribadi. Saya belajar bagaimana pemberian diri mesti total demi perkembangan sebuah lembaga. 

Saya teringat tahun lalu (saya bersama Fr. Vian dan Romo Ino) mesti membuat rekapan identitas siswa yang membutuhkan tenaga ekstra untuk itu. Kami mesti mete/begadang sampai tengah malam untuk mengerjakan tugas itu. Ada pula kegiatan-kegiatan kreatif bagi siswa yang membutuhkan pastoral kehadiran kami. Mesti ini menguras tenaga, ada semacam roh prestise tersendiri yang mau menegaskan bahwa kelas XI lebih unggul dari kelas lain. Terima kasih kepada Romo dan Pater yang telah mengajarkan saya bahwa hidup seringkali keras, tetapi mesti dinikmati sebab itulah dinamika yang pantas dilalui.

Kesembilan, ibu/bapak guru. Dari ibu/bapak guru saya belajar mentransfer apa yang pernah saya peroleh kepada orang-orang yang saya ajari. Saya belajar bagaimana ilmu tidak hanya dikurung dalam kelas, tetapi juga dalam keseharian. Bahwasanya menjadi guru berarti siap menjadi penghancur kegelapan dalam diri peserta didik (gu: kegelapan, dan ru: penghancur). Dan saya belajar hikmah yang paling luhur dari para guru yakni orang hebat adalah dia yang berani mengabdikan diri menjadi simbol "tanpa tanda jasa." Terima kasih untuk semuanya itu; terpujilah engkau, wahai ibu/bapak guru. Juga kepada rekan-rekan frater saya belajar bagaimana sepatutnya kita saling menguatkan satu sama lain dalam panggilan.

Kesepuluh, pegawai dan karayawan/ti. Di tengah situasi dunia saat ini yang semakin mendewakan "pamer diri", "ketika engkau berderma/berbuat baik, harus ada foto dan video agar diupload di media sosial", saya belajar dari karyawan/ti untuk memberi diri secara total dan tulus mesti acapkali pemberian diri itu tidak dilihat orang. Saya belajar bagaimana bekerja dalam diam tanpa embel-embel kepentingan diri. Terima kasih untuk pelajaran istimewa ini.

Kesebelas, siswa calon imam. Minggu-minggu awal ketika saya tiba di sini, para siswa yang bertemu dengan saya selalu menyapa dengan sapaan yang paling tulus dan kudus. "selamat siang, Frater" diikuti irama tubuh yang menunduk atau sesekali membungkuk. 3 bulan terakhir, bukan lagi sapaan tetapi bentakan, "Frater" (sambil angkat tangan dari jauh) atau hanya "Ka'e" sambil lari begitu saja. Itu baru sapaan. Hal lain lagi, ketika saya sementara tidur siang, lalu ada siswa yang perlu, mereka ketuk pintu kamar dengan sangat sopan dan sesuai tata krama yang diagungkan di negara manapun (ketuk tiga kali, dengan sopan). 3 bulan terakhir, ketika mereka mau perlu (bahkan ada keperluan yang tidak penting) mereka ketuk dengan bar-bar, sambil teriak "bangun dulu". Dari sini saya belajar membuka "gap", meruntuhkan "tembok" pemisah yang saya buat sendiri yang terkadang menghalangi saya untuk menjumpai orang lain dan menyapa mereka sebagai saudara. 

Dunia saat ini memiliki tantangannya tersendiri. Tantangan sebagai calon imam sungguh berat. Kita berada dalam siklus zaman di mana pengetahuan diperoleh, tetapi kearifan hilang; bahkan, naasnya lagi, informasi diperoleh tetapi pengetahuan tersisih. Dari calon imam (seminaris) saya melihat optimisme untuk menawarkan kebajikan sebagai opsi solutif demi perbaikan dunia yang lebih baik. Terima kasih untuk semuanya itu, teman-teman seperjuangan.

Singkatnya, terima kasih selimpahnya saya haturkan kepada komunitas Sesado yang rela menerima saya dengan segala kekurangan untuk menimba nilai-nilai keutamaan dan kebijaksanaan di lembah Hokeng ini. Saya bersyukur juga diperkenankan untuk membaharui kaul-kaul kebiaraan saya di tempat ini, tanggal 15 Agustus 2020 yang lalu. Terima kasih untuk semuanya itu. Terima kasih karena sudah hadir dan memberi bekas dalam menapaki perjalanan panggilan selanjutnya.

Saya pun menyadari, seringkali dalam perjumpaan kita ada salah kata dan tindakan yang saya buat. Terkadang ada jarak antara kata dan tindakan, seringkali ada kata yang menyakitkan, ada perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak bersama, kadangkala saya membela diri dengan menggunakan kata yang menyakiti perasaan, kadangkala saya gunakan kayu untuk menertibkan siswa, pada kesempatan ini saya minta maaf yang sebesar-besarnya untuk kelalaian saya sebagai manusia rapuh dan masih butuh belajar ini. Memang, memaafkan orang itu sulit. Saya sering umpamakan itu dengan paku yang ditancapkan pada sebuah pohon yang masih hidup. Meski paku itu sudah dicabut, masih ada bekas luka yang terpampang di sana. Untuk menyembuhkan itu, butuh waktu lama. Meski sudah ada permohonan maaf, masih ada bekas "luka" yang terpampang di sana. Tetapi saya yakin, sebagai orang Kristen, kita mengikuti ajaran Yesus yang meminta kita memaafkan orang lain 70 kali 7 kali; memaafkan tanpa batas.

Harapan saya, kita semua yang hadir di tempat ini bisa mendoakan saya agar saya menjadi orang baik di masa yang akan datang; menjadi orang yang mampu menjelajah cakrawala dan mengarung laut zaman ini untuk menjumpai dan mencintai setiap orang dalam panggilan hidup selanjutnya.

Sebelum menutup ini, saya mengucapkan limpah terima kasih kepada panitia yang sudah menyiapkan acara ini dengan sungguh-sungguh dan penuh perjuangan. Terima kasih Fr. Noven dan teman-teman kelas XII: mulai dari perjuangan kalian di dapur, kapelam lingkungan sekitar hingga aula. Perjuangan kalian selalu mengabadi dalam diri saya. Dan, semoga amal baik kalian dibalas oleh Dia yang Empunya Segala Sesuatu.

Akhirnya, terima kasih "Rumah Rahim Kehidupan dan Taman Kegembiraan", Sesado.

 

Salvete. 

Fr. Kris Ibu, SVD

Nb: Ini kata sambutan yang saya bawakan dalam acara pengutusan saya sendiri di Seminari San Dominggo Hokeng, Flores Timur. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun