Singkatnya saudara/saudari yang saya hormati.
Selamat malam.
Salvete.Â
Ketika terjadi pembacaan pembagian tempat TOP dan saya ditempatkan untuk berpraktek di Sesado, saya langsung cemas. Mengapa? Alasan pertama adalah keteladanan. Saya merasa bahwa saya tidak cocok berpraktik di lembaga, apalagi lembaga Seminari. Apa yang mau diteladani dari saya. Hidup baik juga tidak terlalu menonjol, bakat juga tidak terlalu menonjol. Apa yang mau diharapkan? Itu pertama.
Alasan kedua (sebagai alasan turunan dari alasan pertama), menjadi guru dan mengajar. Saya sangat yakin ketika ditempatkan di lembaga mau tidak mau saya mesti menjadi guru dan mengajar. Harus siap untuk itu. Naasnya, seorang guru professional adalah dia yang siap untuk digugu (apa yang disampaikan adalah kebenaran) dan ditiru (dia harus menjadi teladan/panutan). Selain itu, untuk mengajar dibutuhkan persiapan yang matang. Dengan ini menjadi jelas, panggilan untuk menjadi guru tidak ada dalam diri saya.
Tetapi, mau tidak mau; suka atau tidak suka, saya mesti menjalani dua hal ini. Sebab, datang berpraktik pastoral itu sama seperti "dibuang" ke samudera luas. Saya dituntut untuk berjuang untuk survive. Kalau tidak, hanya satu pilihan terakhir: tenggelam, lalu mati.
Selama kurang lebih 1 setengah tahun saya menjalani praktik pastoral di Sesado, saya selalu bergelut dengan dua hal itu. Saya berusaha dari hari ke hari untuk mengarung laut dan menjelajah cakrawala tantangan untuk berjumpa dengan ideal misi perutusan saya di tempat ini. Saya berusaha menjadi orang yang mencintai dan dicintai di tempat ini. Itu misi ideal saya. Dan dalam proses untuk mencapi misi yang ideal, saya belajar banyak hal dari komunitas Sesado ini.
Pertama, Romo Rektor. Beberapa hari setelah pembagian tempat TOP, tepatnya pada siang hari, saya mengontak Romo Rektor lewat SMS. Saya perkenalkan diri saya, lalu bertanya kira-kira kapan saya bisa masuk ke komunitas Sesado. Kira-kira jawaban Romo Rektor berbunyi demikian: Kalau ada nafsu, bisa datang lebih cepat.Â
Setelah mendapat balasan ini saya langsung mengandai-andai: Pembesar ini antara dua, atau beliau terlalu baik atau beliau terlalu jahat. Itu kesan awal saya. Dan, ketika saya mulai menginjakkan kaki di tempat ini, saya akhirnya mengenal beliau sebagai orang yang paling baik. Dalam keseharian, para Pembina dan formator biasanya menyapa beliau dengan panggilan "bapa". Meski semenjak panggilan ini disematkan kepada beliau sampai hari ini, saya tidak menemukan rupa "ibu".
Dalam kebersamaan di komunitas, saya justru belajar menjadi seorang biarawan SVD sejati yang mengikrarkan 3 kaul (kemurnian, kemiskinan, dan ketaatan) dari beliau yang adalah seorang imam Projo. Beliau pernah bergurau dengan saya di kamar makan saat jam makan malam, "kamu yang ikrar kaul, kami yang jalani". Saya belajar dari beliau bagaimana sepatutnya menjadi seorang imam nantinya. Bahwasanya dalam pelayanan pastoral spirit melayani dan bukan dilayani mesti dijunjung tinggi.Â
Beliau rela menjadi miskin demi kami (misalnya kalau di kamar makan tidak ada buah-buahan, pasti beliau pergi cari di kebun atau di kamarnya; atau  kalau saya mau keluar jauh (ke Larantuka, Solor, Maumere, dll) biasanya beliau beri saya uang jalan meski itu harus dilaluinya lewat meminjam uang di koperasi Sekolah). Saya juga belajar satu sistem yang beliau bangun dan hidupi, "kalu mau sukses, mesti tanam pantat!". Kalau mau sukses/mau menjadi orang yang berhasil, mesti tekun. Terima kasih atas materi pelajaran hidup yang "bapa" ajarkan kepada saya.