Mohon tunggu...
Kris Ibu
Kris Ibu Mohon Tunggu... Penulis - Sementara bergulat

Mulailah dengan kata. Sebab, pada mulanya adalah kata.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Terima Kasih, Sesado

16 Desember 2020   16:34 Diperbarui: 17 Desember 2020   06:27 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya teringat tahun lalu (saya bersama Fr. Vian dan Romo Ino) mesti membuat rekapan identitas siswa yang membutuhkan tenaga ekstra untuk itu. Kami mesti mete/begadang sampai tengah malam untuk mengerjakan tugas itu. Ada pula kegiatan-kegiatan kreatif bagi siswa yang membutuhkan pastoral kehadiran kami. Mesti ini menguras tenaga, ada semacam roh prestise tersendiri yang mau menegaskan bahwa kelas XI lebih unggul dari kelas lain. Terima kasih kepada Romo dan Pater yang telah mengajarkan saya bahwa hidup seringkali keras, tetapi mesti dinikmati sebab itulah dinamika yang pantas dilalui.

Kesembilan, ibu/bapak guru. Dari ibu/bapak guru saya belajar mentransfer apa yang pernah saya peroleh kepada orang-orang yang saya ajari. Saya belajar bagaimana ilmu tidak hanya dikurung dalam kelas, tetapi juga dalam keseharian. Bahwasanya menjadi guru berarti siap menjadi penghancur kegelapan dalam diri peserta didik (gu: kegelapan, dan ru: penghancur). Dan saya belajar hikmah yang paling luhur dari para guru yakni orang hebat adalah dia yang berani mengabdikan diri menjadi simbol "tanpa tanda jasa." Terima kasih untuk semuanya itu; terpujilah engkau, wahai ibu/bapak guru. Juga kepada rekan-rekan frater saya belajar bagaimana sepatutnya kita saling menguatkan satu sama lain dalam panggilan.

Kesepuluh, pegawai dan karayawan/ti. Di tengah situasi dunia saat ini yang semakin mendewakan "pamer diri", "ketika engkau berderma/berbuat baik, harus ada foto dan video agar diupload di media sosial", saya belajar dari karyawan/ti untuk memberi diri secara total dan tulus mesti acapkali pemberian diri itu tidak dilihat orang. Saya belajar bagaimana bekerja dalam diam tanpa embel-embel kepentingan diri. Terima kasih untuk pelajaran istimewa ini.

Kesebelas, siswa calon imam. Minggu-minggu awal ketika saya tiba di sini, para siswa yang bertemu dengan saya selalu menyapa dengan sapaan yang paling tulus dan kudus. "selamat siang, Frater" diikuti irama tubuh yang menunduk atau sesekali membungkuk. 3 bulan terakhir, bukan lagi sapaan tetapi bentakan, "Frater" (sambil angkat tangan dari jauh) atau hanya "Ka'e" sambil lari begitu saja. Itu baru sapaan. Hal lain lagi, ketika saya sementara tidur siang, lalu ada siswa yang perlu, mereka ketuk pintu kamar dengan sangat sopan dan sesuai tata krama yang diagungkan di negara manapun (ketuk tiga kali, dengan sopan). 3 bulan terakhir, ketika mereka mau perlu (bahkan ada keperluan yang tidak penting) mereka ketuk dengan bar-bar, sambil teriak "bangun dulu". Dari sini saya belajar membuka "gap", meruntuhkan "tembok" pemisah yang saya buat sendiri yang terkadang menghalangi saya untuk menjumpai orang lain dan menyapa mereka sebagai saudara. 

Dunia saat ini memiliki tantangannya tersendiri. Tantangan sebagai calon imam sungguh berat. Kita berada dalam siklus zaman di mana pengetahuan diperoleh, tetapi kearifan hilang; bahkan, naasnya lagi, informasi diperoleh tetapi pengetahuan tersisih. Dari calon imam (seminaris) saya melihat optimisme untuk menawarkan kebajikan sebagai opsi solutif demi perbaikan dunia yang lebih baik. Terima kasih untuk semuanya itu, teman-teman seperjuangan.

Singkatnya, terima kasih selimpahnya saya haturkan kepada komunitas Sesado yang rela menerima saya dengan segala kekurangan untuk menimba nilai-nilai keutamaan dan kebijaksanaan di lembah Hokeng ini. Saya bersyukur juga diperkenankan untuk membaharui kaul-kaul kebiaraan saya di tempat ini, tanggal 15 Agustus 2020 yang lalu. Terima kasih untuk semuanya itu. Terima kasih karena sudah hadir dan memberi bekas dalam menapaki perjalanan panggilan selanjutnya.

Saya pun menyadari, seringkali dalam perjumpaan kita ada salah kata dan tindakan yang saya buat. Terkadang ada jarak antara kata dan tindakan, seringkali ada kata yang menyakitkan, ada perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak bersama, kadangkala saya membela diri dengan menggunakan kata yang menyakiti perasaan, kadangkala saya gunakan kayu untuk menertibkan siswa, pada kesempatan ini saya minta maaf yang sebesar-besarnya untuk kelalaian saya sebagai manusia rapuh dan masih butuh belajar ini. Memang, memaafkan orang itu sulit. Saya sering umpamakan itu dengan paku yang ditancapkan pada sebuah pohon yang masih hidup. Meski paku itu sudah dicabut, masih ada bekas luka yang terpampang di sana. Untuk menyembuhkan itu, butuh waktu lama. Meski sudah ada permohonan maaf, masih ada bekas "luka" yang terpampang di sana. Tetapi saya yakin, sebagai orang Kristen, kita mengikuti ajaran Yesus yang meminta kita memaafkan orang lain 70 kali 7 kali; memaafkan tanpa batas.

Harapan saya, kita semua yang hadir di tempat ini bisa mendoakan saya agar saya menjadi orang baik di masa yang akan datang; menjadi orang yang mampu menjelajah cakrawala dan mengarung laut zaman ini untuk menjumpai dan mencintai setiap orang dalam panggilan hidup selanjutnya.

Sebelum menutup ini, saya mengucapkan limpah terima kasih kepada panitia yang sudah menyiapkan acara ini dengan sungguh-sungguh dan penuh perjuangan. Terima kasih Fr. Noven dan teman-teman kelas XII: mulai dari perjuangan kalian di dapur, kapelam lingkungan sekitar hingga aula. Perjuangan kalian selalu mengabadi dalam diri saya. Dan, semoga amal baik kalian dibalas oleh Dia yang Empunya Segala Sesuatu.

Akhirnya, terima kasih "Rumah Rahim Kehidupan dan Taman Kegembiraan", Sesado.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun