Mohon tunggu...
Kris Ibu
Kris Ibu Mohon Tunggu... Penulis - Sementara bergulat

Mulailah dengan kata. Sebab, pada mulanya adalah kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aroma Tubuh Ibu

31 Januari 2020   08:30 Diperbarui: 31 Januari 2020   08:40 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: cookchildrens.org

*By: Os Hayon (Siswa Seminari Hokeng, Flores).

2000

Tak ada lagi ibu, tinggal aroma tubuhnya membentuk kenangan. Tak ada lagi hangat di bawah ketiaknya tempat pertama ia berdecak kagum akan mimpi sedangkan waktu itu aku masih berusaha belajar berdiri. Tak adalagi rumah hanya tinggal asap membumbung alang-alang. Hangat yang nyala pada dinding-dinding bambu manjadikan semuanya abu. Tubuh ibu terbujur kaku. Gosong. Hanya sedih dan tangis dari jauh saat aku berhasil berada di puncak gunung dengan si kecil yang masih menunggangi pundakku.

Sudah sejauh perjalanan kami. Namun suara raung teriakan masa masih sempat meledak dan memadati ruang pendengaranku.

"mampus kamu wanita sialan!"umpat seseorang disusuli nyaring kelewang.

"dasar wanita jahat. Dasar menaka"

"ibu tidak semestinya merahasikan sesuatu dariku " sungguh kali ini aku mencoba mambatin sejenak.

"jika kehilangnannya adalah salah satu rindu yang akan tumbuh namun sakit, izinkanlah aku mencoba merasakannya Tuhan !"

Pagi belum terlampau dewasa biar kujamah namanya dengan tangis, duka dari luka. Aku tahu belum tentu hari ini berbeda dengan hari esok, hari kematian. Tetapi sejujurnya aku mewakili harapan layu yang menunggangi pundakku. Memastikan betapa cepat semuanya akan senantiasa menjadi serupa doa sebagai ketenangan.

1995

I

Pagi kali ini sepi. Tak ada lagi gairah para pelaut yang beranjak pergi lalu pulang sehabis badai. Tak ada lagi suara dentuman teriakan anak-anak lalu terhenti setelah bentakan ayah. Tak ada lagi petani dengan beragam ilusi akan lading yang berlimpah lalu pulang setelah lelah terus terasa hingga guratansetengah  tubuh malam. Tak ada lagi kelompok kecil para wanita dengan gosip berbagai topik lalu pulang sehabis percakapan.  Hanya saja sunyi yang paling aneh.

Kali ini banyak masa yang mulai berarak ramai menuju tempat keramat itu lagi. Pohon besar-rindang dan sunyi-tempat itu sangat menyeramkan bukan karena letaknya yang persis menghadap ke arah pekuburan desa. Namun karena tempat tersebut selalu saja menjadi pusat pembunuhan yang akhir-akhir ini meningkat drastis.

Aku adalah salah satu orang yang dengan setia berada di sekitar kerumunan massa yang  memadati arena kejadian aneh tersebut. Kali ini ditemukan lagi korban yang berhasil dibunuh dengan menggunakan sebatang paku karat yang  sempat meninggalkan bekas luka pada tubuh si korban. Aku mengerti bahwa tak ada cara lain untuk menemukan si pelakunya. 

Terlalu banyak korban yang lenyap tanpa meninggalkan sedikit pun tanda-tanda mengenai sipelakunya. Hanya paku yang berhasil ditemukan pada tumpukan bebatuan yang tak jauh dari keberadaan si korban. Mungin karena inilah hal yang paling ditakuti oleh kebanyakan manusia. Mati tanpa meninggalkan sedikit pun jejak si pelakunya, kalau memang itu dengan cara yang keji yakni dibunuh.

Setelah lama kutatap tubuh si korban beberapa wanita mulai membentuk semacam kelompok kecil. Raut wajah mereka berubah total. Merah. Dengan penuh kayakinan mereka melangkah mendekati kerumunan masa seraya melontarkan kata-kata aneh seperti kerasukan roh jahat.

"mungkin wanita tua yang menempati salah satu gubuk tua di ujung kampung itu." Seorang janda menjelaskan.

"benar. Aku juga sependapat denganmu. Pernah aku melihatnya menyengir di makam tua milik seseorang. Entah makam milik siapa. Disela tangisnya sempat juga terlontar keinginan  akan seorang bayi. Sebab ia malu terus-terus dikatainmandul ."

"laluapakah si penghuni makam itu menjawab keinginanya  seolah-olah masih hidup?" seorang wanita di antara mereka berbisik heran.

" tidak usah banyak bicara kita singkirkan saja dia!"interupsi seorang janda seketika

"kalau bagitu kita cari cara untuk melenyapkan si wanita tua tersebut ." seorang menyarankan.

"kita hasut saja kepala desanya !" sesorang berdecak kagum akan tawarannya.Mungkin ia merasa itulah jalan terakhir nenyelesaikan suatu masalah .

"ah, sulit."ucap seseorang datar.

"tidak. Menurutku beliau adalah salah satu kepala desa diantara banyaknya kepala desa yang pernah ada di kampung  ini yang bermata duit."

"maksudmu ?"

"kita beri saja ia uang. Bukankah uang dapat membeli segalanya. Bisa beli suara, bisa  beli tenaga rakyat,bisa beli jabatan ,bisa beli kekasih sampingan  atau bisa juga beli nyawa......................"

"ini berbahaya semuanya semakin sepekat kopi. " Aku membatin

"bukankah menfitnah itu lebih kejam dari membunuh?" aku berujar pelan mendekati mereka.Serentak tatapan heran seakan tertuju ke arahku.,

"tetapi membunuh adalah salah satu perbuatan yang salah.Tidakah engkau tahu  Agama melarangnya." bantah seorang wanita sementara matanya membeliak.

"bagaimana jika agama belum tumbuh dan tinggal seperti saat ini." Aku membantah

"tapi setidaknya adat istiadat pun melarangnya." Balasnya seketika  lalu beranjak pergi.

Sore di kampung ini nampak sepi. Kapakan sayap elang  di atas makam tua sempat membuyarkan lamunan panjangku. Hari semakin tua saat aku benar-benar kehilangan matahari kutatap tajam para masa yang nampaknya begitu tergesa-gesa. Ada yang bergerak merenggut tubuh si korban lalu membawanya pergi. Ada yang tergesa-gesa membersihkan loasi kejadian tersebut. Ada pula tak henti menyernah kehidupan kelak  si pelaku.

II

Malam saat ini nampak sepi terlalu takut untuk sendirian di rumah.Aneka pikiran mengeriaki otakku yang ingin hendak didahulukan. Tanpa berpikir panjang lagi aku beranjak kembali ke lokasi kejadian tersebut. 

Mungkin tempat saat itu amatlah ramai. Ada banyak warga, pihak kepolisian, dan bahkan orang yang terpaksa berhenti sejenak untuk memastikan  kejadian tersebut sebelum beranjak pergi. Seperti itulah yang kurindukan. Dengan ayunan langkah kaki yang pasti aku pun tiba di dekat perkuburan tua tersebtu. Sunyi, suram, takut, dan cemas. Hal-hal semacam itulah yang kurasakan.

Kutatap secara perlahan-lahan kesegala arah seraya memastikan bahwa aku tidak merasa sendirian. Memang benar seorang wannita tua meriung  tepat di salah satu maka tua yang tak jauh dari keberadaanku. Makam kunno yang sudah ada  sebelum aku di tempatkan jauh dari ketenangan rahim ibu.  Ah, jantungku seakan begitu cepat berdetak.

"wanita itu ibu kan?"aku membatin berbeban gigil

2005

Setelah lima tahun menjalankan hidup tanpa ayah dan ibu aku pada akhirnya memutuskan bahwa semua itu adalah suatu rencana Tuhan. Ayah meninggal saat Dalima masih dalam impian ibu, sedangkan ibu sendiri meninggal dengan cara dibakar dalam rumah-tempat kenangan kami.

Sudah seperti biasa untuk sekedar meluputkan bayangan ibu, kurebahkan tubuh di atas sebuah kursi malas seraya menatap kosong kelorong-lorong yang namapak sepi sejak sore tadi. Dingin perlahan mulai mengalir di seluruh permukaan kulitku sedangkan secangkir kopi suam buatan Dalima masih setia terjaga walapun sejujurnya ingin segera kuhabiskan hingga tersisa hanyalah ampas hitamnya. 

Bukankah sama juga dalam hidup, tak dapat dielakan bahwa manusia pada akhirnya juga mati dengan meninggalkan suatu. Ah mungkin harta cinta, kasih saying, rindu,  cemburu, dendam, utang, atau mungkin meniggalkan dosa.

"ah............ mengapa aroma tubuh ibu senantiasa hadir dan memadati ruang hidungku?" aku berujar lalu melanjutkan,

"mengapa akhir-akhir ini dengan mencium aroma tubuhnya kampung ini senantiasa diliputi duka kematian."gerutuku seraya menghirup aroma kopi. Mungkin hanya sekedar menghilangkan aroma tubuh ibu sebelum suara seorang pria seakan  menghentikan

"Delima adalah adikmu yang berhasil diperoleh ibumu lewat ritual-ritual aneh." Seoranng berujar tepat di depanku. Suaranya serak, kasar, dan memberat. Perlahan-lahan kutatap raut wajahnya; aku mengenalnya."ata molan" seperti itulah ia biasa disapa dan biasa hadir di upacara adat. Perlahan-lahan ia melabuhkan telapak tangannya tepat di pundak kiriku lalu berujar pelan.

"itu milik orang lain mereka akan mengambilnya."

"siapa? " potongku singkat.

"entahlah. Ibu mu terlanjur mengambil keputusan sendir tanpa mempertimbangkannya dahulu." Ata molan itu bergumam sekali lagi dengan nada sedikt pelan.  Mungkin ia mencoba menjaga perasaanku. Entah kali ini aku tidak dapat dituntut untuk merasakan satu perasaan. Sedih, gembira, cemas, bingung dan........ ah perasaan-perasaan semua itulah yang tidak dapat kucerna dengan baik.

"tidak. Ia adalah milikku." Aku membantah.

"tapi ia sesungguhnya akan menjadi milik orang lain." Aku heran, bingung, cemas atau lebih tepat lagi aku gelisah. Tatapan kosong kujatuhkan tepat di tumpukan semak di halaman rumah tetangga. Kesunyian semakin tercipta di antara kami namun selang beberapa waktu yang  diamkami sempat terperangah oleh   bunyi pecahan gelas yang jatuh membentur lantai. Aku meyakini bahwa sumber bunyi itu tudak lain berasal dari ruang belakang, tepatnya di dapur. Mungkin Dalima mendengar semua isi pembicaraan kami.

"tidak......tidak mungkin." teriak Delima disusuli jeritan panjang. Tanpa dikomando aku berlari menuju ruang belakang tempat keberadaan Delima. Semuanya terasa kaku-membatu. Rinai air mata perlahan mengalir membentuk sepasang sungai kecil di pipiku. 

Ku dapati Dellima terlungsar di Lantai dengan sebatang paku karat yang mengujam tepat di batang lehernya. Darah perlahan merembih kesekujur tubuhnya. Tanpa berpikir panjang lagi kularikan Delima kerumah sakit terdekat setelah cibiran sejenak bersarang tepat di kupingku.

"mungkin butuh sedikit lagi waktu untuk selesai ." suara serak ata molan.

III

Malam ini suasana RSUD begitu sepi tak banyak yang dapat kulakukan selain menguraikan doa sebagai ketenagnan seperti lima tahun silam. Di kesunyian itu aroma tubuh ibu mula menusuk ruang hidungku. Semakin tajam aromanya hingga pada akhirnya hilang bersamaan dengan teriakan panjang perawat dari ruang  di mana Delima Berada.

"dok, jantungnya berhenti berdetak."

Tak ada lagi ayah, ibu dan Delima, tinggal sunyi paling sengit dengan penuh rahasia. Raut wajah, aroma tubuh dan darah membekas di suatu tempat yakni kenangan. Tak ada lagi mereka tinggal doa serupa puisi yang terus nyaring dalam sunyi. 

Sajaknya kubagi dalam tiga waktu. Biarlah ada yang mekar pada basah subuh dengan dingin yang teramat membekukan. Pada siang  panas terik matahari, serta pada sepi malam hari yang tak pernah henti manghadirkan mimpi dan rindu yang tentunya selalu utuh.

"kapan lagi aku harus menyeguk  aroma tubuh ibu?" aku membatin.

2014

Pagi ini berita menyangkut kehilangan   Dalima kecilku tersebar hingga ke kampung tetangga.Gadis yang sebulan lalu menginjak usia 8 thn ini lenyap sewaktu diajak pergi oleh temannya  mencari kayu bakar di hutan.Menurut dugan  warga ia diculik oleh penunggu hutan atau mungkin penghuni makam tua yang ada di gunung  .Dan kemungkinan Dalima  tak akan kembali lagi.

"penghuni makam di gunung menculiknya "celetuk ata molan menghampiriku

"untuk apa? Dan mengapa harus Dalima ?" bantahku seraya mendilak.

"Entah."

"lalu di mana keberadan makam tersebut ?'

"Di gunung tepatnya di kebunmu "

"makam siapa?

"Entalah .Makam itu sudah ada 14 tahun yang lalu."

"Mungkin itu makam ibuku"

"entalah."

*Hokeng , November  2019

Catatan:

Ata molan: dukun

Menaka: suanggi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun