"ah, sulit."ucap seseorang datar.
"tidak. Menurutku beliau adalah salah satu kepala desa diantara banyaknya kepala desa yang pernah ada di kampung  ini yang bermata duit."
"maksudmu ?"
"kita beri saja ia uang. Bukankah uang dapat membeli segalanya. Bisa beli suara, bisa  beli tenaga rakyat,bisa beli jabatan ,bisa beli kekasih sampingan  atau bisa juga beli nyawa......................"
"ini berbahaya semuanya semakin sepekat kopi. " Aku membatin
"bukankah menfitnah itu lebih kejam dari membunuh?" aku berujar pelan mendekati mereka.Serentak tatapan heran seakan tertuju ke arahku.,
"tetapi membunuh adalah salah satu perbuatan yang salah.Tidakah engkau tahu  Agama melarangnya." bantah seorang wanita sementara matanya membeliak.
"bagaimana jika agama belum tumbuh dan tinggal seperti saat ini." Aku membantah
"tapi setidaknya adat istiadat pun melarangnya." Balasnya seketika  lalu beranjak pergi.
Sore di kampung ini nampak sepi. Kapakan sayap elang  di atas makam tua sempat membuyarkan lamunan panjangku. Hari semakin tua saat aku benar-benar kehilangan matahari kutatap tajam para masa yang nampaknya begitu tergesa-gesa. Ada yang bergerak merenggut tubuh si korban lalu membawanya pergi. Ada yang tergesa-gesa membersihkan loasi kejadian tersebut. Ada pula tak henti menyernah kehidupan kelak  si pelaku.
II