Malam saat ini nampak sepi terlalu takut untuk sendirian di rumah.Aneka pikiran mengeriaki otakku yang ingin hendak didahulukan. Tanpa berpikir panjang lagi aku beranjak kembali ke lokasi kejadian tersebut.Â
Mungkin tempat saat itu amatlah ramai. Ada banyak warga, pihak kepolisian, dan bahkan orang yang terpaksa berhenti sejenak untuk memastikan  kejadian tersebut sebelum beranjak pergi. Seperti itulah yang kurindukan. Dengan ayunan langkah kaki yang pasti aku pun tiba di dekat perkuburan tua tersebtu. Sunyi, suram, takut, dan cemas. Hal-hal semacam itulah yang kurasakan.
Kutatap secara perlahan-lahan kesegala arah seraya memastikan bahwa aku tidak merasa sendirian. Memang benar seorang wannita tua meriung  tepat di salah satu maka tua yang tak jauh dari keberadaanku. Makam kunno yang sudah ada  sebelum aku di tempatkan jauh dari ketenangan rahim ibu.  Ah, jantungku seakan begitu cepat berdetak.
"wanita itu ibu kan?"aku membatin berbeban gigil
2005
Setelah lima tahun menjalankan hidup tanpa ayah dan ibu aku pada akhirnya memutuskan bahwa semua itu adalah suatu rencana Tuhan. Ayah meninggal saat Dalima masih dalam impian ibu, sedangkan ibu sendiri meninggal dengan cara dibakar dalam rumah-tempat kenangan kami.
Sudah seperti biasa untuk sekedar meluputkan bayangan ibu, kurebahkan tubuh di atas sebuah kursi malas seraya menatap kosong kelorong-lorong yang namapak sepi sejak sore tadi. Dingin perlahan mulai mengalir di seluruh permukaan kulitku sedangkan secangkir kopi suam buatan Dalima masih setia terjaga walapun sejujurnya ingin segera kuhabiskan hingga tersisa hanyalah ampas hitamnya.Â
Bukankah sama juga dalam hidup, tak dapat dielakan bahwa manusia pada akhirnya juga mati dengan meninggalkan suatu. Ah mungkin harta cinta, kasih saying, rindu, Â cemburu, dendam, utang, atau mungkin meniggalkan dosa.
"ah............ mengapa aroma tubuh ibu senantiasa hadir dan memadati ruang hidungku?" aku berujar lalu melanjutkan,
"mengapa akhir-akhir ini dengan mencium aroma tubuhnya kampung ini senantiasa diliputi duka kematian."gerutuku seraya menghirup aroma kopi. Mungkin hanya sekedar menghilangkan aroma tubuh ibu sebelum suara seorang pria seakan  menghentikan
"Delima adalah adikmu yang berhasil diperoleh ibumu lewat ritual-ritual aneh." Seoranng berujar tepat di depanku. Suaranya serak, kasar, dan memberat. Perlahan-lahan kutatap raut wajahnya; aku mengenalnya."ata molan" seperti itulah ia biasa disapa dan biasa hadir di upacara adat. Perlahan-lahan ia melabuhkan telapak tangannya tepat di pundak kiriku lalu berujar pelan.