Mohon tunggu...
Kris Hadiwiardjo
Kris Hadiwiardjo Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Eks Penulis Artikel Bisnis, Ekonomi, Teknologi Harian Pelita

Penulis adalah peminat bidang teknologi, Komputer, Artificial Intelligence, Psikologi dan masalah masalah sosial politik yang menjadi perbincangan umum serta melakukan berbagai training yang bekenaan dengan self improvement, human development dan pendidikan umum berkelanjutan bagi lanjut usia.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Anjing & Babi: Makna Sosial & Psikologis di Balik Kata yang Menyakitkan

18 Oktober 2024   15:22 Diperbarui: 18 Oktober 2024   15:23 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anjing dan Babi: Makna Sosial dan Psikologis di Balik Kata yang Menyakitkan

Dalam berbagai budaya di dunia, beberapa hewan memiliki konotasi yang dianggap negatif ketika digunakan untuk menggambarkan manusia.

Dua hewan yang sering dijadikan sebagai perumpamaan yang merendahkan adalah anjing dan babi. Di luar konteks kamus atau pengertian literal dari kedua kata ini, penggunaan istilah "anjing" dan "babi" untuk menggambarkan seseorang sering kali dianggap sebagai penghinaan berat. Ini memicu respons emosional yang kuat, mulai dari rasa malu hingga kemarahan. Tapi mengapa sebutan ini begitu efektif dalam menyakiti perasaan seseorang? Jawabannya terletak pada pemahaman kita tentang makna sosial, psikologis, dan simbolik yang melekat pada kata-kata ini, yang terbentuk dari konstruksi budaya dan sosial.

Makna Sosial Kata "Anjing" dan "Babi"

Secara literal, anjing dan babi adalah hewan yang memiliki tempatnya sendiri dalam kehidupan manusia. Anjing sering dipuji sebagai sahabat setia manusia, sementara babi diakui karena peran pentingnya dalam perekonomian pangan di banyak negara. Namun, ketika kedua hewan ini diubah menjadi istilah untuk menggambarkan manusia, artinya berubah drastis.

Dalam berbagai budaya, sebutan "anjing" sering kali diasosiasikan dengan sifat-sifat yang dianggap rendah, seperti ketundukan buta, ketidaksetiaan, atau kelakuan buruk. Sebutan "anjing" kepada seseorang dianggap merendahkan karena secara simbolis mengaitkan orang tersebut dengan sesuatu yang dianggap hina. Sebaliknya, "babi" sering kali dikaitkan dengan kotoran, ketidakberadaban, dan sifat serakah. Konotasi-konotasi ini bukanlah hal yang universal dan mutlak, tetapi merupakan hasil dari konstruksi sosial yang telah melekat pada bahasa dan budaya tertentu.

Menurut teori simbolisme sosial, seperti yang dikemukakan oleh Clifford Geertz, makna dari suatu simbol, dalam hal ini kata "anjing" atau "babi," tidak ditentukan oleh makna literalnya, tetapi oleh bagaimana simbol tersebut dipahami dan diinterpretasikan dalam konteks budaya tertentu. Dalam masyarakat di mana anjing dianggap sebagai hewan yang tidak bersih atau hina, kata ini menjadi alat yang ampuh untuk merendahkan. Begitu pula dengan "babi," yang di beberapa budaya diidentikkan dengan ketidakmurnian dan pelanggaran moral.

Teori Konstruksi Sosial dalam Bahasa Penghinaan

Teori konstruksi sosial bahasa menyatakan bahwa makna tidak hanya terletak pada kata itu sendiri, tetapi pada hubungan sosial yang diciptakan melalui penggunaan kata tersebut. Pierre Bourdieu, seorang sosiolog terkemuka, menekankan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga alat kekuasaan. Ketika seseorang menyebut orang lain sebagai "anjing" atau "babi," mereka tidak hanya menggunakan kata itu dalam pengertian literal, melainkan mereka juga menegaskan posisi dominan mereka dalam hubungan sosial tersebut. Penggunaan istilah-istilah ini menciptakan hierarki, di mana pihak yang menggunakan penghinaan menempatkan diri mereka di posisi moral yang lebih tinggi.

Dalam konteks ini, kata-kata penghinaan menjadi "performa sosial" di mana identitas, status sosial, dan kekuasaan dipertaruhkan. Bourdieu menggambarkan proses ini sebagai "kekerasan simbolik," di mana penghinaan verbal digunakan untuk memperkuat ketimpangan sosial yang ada. Dengan demikian, ketika seseorang dipanggil dengan istilah seperti "anjing" atau "babi," mereka tidak hanya merasa dihina secara personal, tetapi juga merasa terdegradasi dalam konteks sosial yang lebih luas.

Respons Psikologis terhadap Penghinaan

Dari sudut pandang psikologis, kata-kata yang merendahkan dapat memicu reaksi emosional yang kuat karena melibatkan proses identifikasi diri dan harga diri. Menurut teori identitas sosial dari Henri Tajfel, orang cenderung mengidentifikasi diri mereka dengan kelompok sosial tertentu, dan penghinaan terhadap seseorang sering kali dilihat sebagai ancaman terhadap identitas sosial mereka. Ketika seseorang disebut "anjing" atau "babi," ini bukan hanya serangan terhadap individu tersebut, tetapi juga terhadap kelompok atau status sosial yang mereka wakili.

Penghinaan semacam ini sering kali memicu respons emosional seperti marah, malu, atau bahkan rasa tidak berdaya. Penelitian psikologis menunjukkan bahwa penghinaan verbal dapat mempengaruhi kesejahteraan mental seseorang, terutama jika penghinaan tersebut diterima secara berulang-ulang atau dalam konteks di mana orang tersebut tidak memiliki kekuasaan untuk melawan. Penggunaan istilah-istilah seperti "anjing" dan "babi" untuk merendahkan seseorang juga dapat menciptakan efek jangka panjang, seperti menurunkan harga diri dan meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental.

Budaya dan Konteks dalam Penghinaan

Makna sosial dan simbolik dari istilah "anjing" dan "babi" sangat bervariasi tergantung pada budaya dan konteks di mana istilah-istilah tersebut digunakan. Di beberapa negara, misalnya, anjing dipandang sebagai hewan yang mulia dan setia, sehingga penggunaan istilah "anjing" sebagai penghinaan mungkin tidak memiliki efek yang sama. Di negara lain, seperti beberapa negara Asia dan Timur Tengah, anjing sering kali diasosiasikan dengan kotoran dan kenajisan, sehingga menyebut seseorang sebagai "anjing" memiliki dampak yang jauh lebih negatif.

Begitu pula dengan kata "babi." Di negara-negara dengan mayoritas Muslim, di mana babi dianggap sebagai hewan najis, menyebut seseorang sebagai "babi" adalah salah satu bentuk penghinaan terberat. Sementara di beberapa budaya lain, babi mungkin tidak memiliki konotasi negatif yang sama, tetapi tetap diasosiasikan dengan sifat-sifat yang tidak diinginkan seperti kerakusan atau kekotoran.

 Penghinaan dan Kekuasaan dalam Hubungan Sosial

Penggunaan istilah seperti "anjing" dan "babi" untuk menghina seseorang juga berkaitan erat dengan dinamika kekuasaan dalam hubungan sosial. Dalam banyak kasus, penghinaan semacam ini digunakan oleh individu atau kelompok yang memiliki kekuasaan untuk mempermalukan atau mendominasi pihak yang dianggap lebih lemah. Teori dominasi sosial dari Jim Sidanius dan Felicia Pratto menjelaskan bahwa masyarakat cenderung membangun hierarki berdasarkan kekuasaan dan status, dan bahasa penghinaan adalah salah satu alat yang digunakan untuk memperkuat hierarki tersebut.

Dalam konteks ini, penggunaan istilah-istilah penghinaan seperti "anjing" dan "babi" berfungsi untuk menempatkan orang yang dihina dalam posisi yang lebih rendah secara sosial, memperkuat ketimpangan yang ada. Hal ini sering kali terlihat dalam situasi di mana terdapat perbedaan status sosial yang signifikan antara pihak yang menghina dan pihak yang dihina, seperti dalam hubungan majikan-pekerja, hubungan gender, atau interaksi antar kelompok etnis.

Simbolisme yang Kompleks di Balik Penghinaan

Namun, penting untuk diingat bahwa simbolisme di balik penghinaan semacam ini sangat kompleks dan sering kali berubah seiring waktu dan tempat. Misalnya, di beberapa konteks budaya modern, istilah-istilah yang dulu dianggap sangat merendahkan kini diambil alih dan diubah maknanya oleh kelompok-kelompok yang dihina. Proses ini disebut sebagai "reklamasi bahasa," di mana kelompok yang sebelumnya menjadi korban penghinaan mengambil alih istilah tersebut dan memberinya makna baru yang positif atau netral.

Contoh terkenal dari fenomena ini dapat dilihat dalam komunitas LGBTQ+, di mana istilah-istilah yang dulu digunakan untuk merendahkan kini diadopsi sebagai simbol kebanggaan dan solidaritas. Meski demikian, dalam kasus istilah seperti "anjing" dan "babi," perubahan makna semacam ini mungkin lebih sulit terjadi, mengingat konotasi negatif yang sudah sangat dalam tertanam dalam budaya tertentu.

Pelajaran yang bisa dipetik

Penggunaan istilah "anjing" dan "babi" sebagai penghinaan mencerminkan bagaimana bahasa tidak hanya merupakan alat komunikasi, tetapi juga merupakan alat kekuasaan dan dominasi sosial. Makna sosial dan simbolik dari istilah-istilah ini sangat bergantung pada konteks budaya, sejarah, dan dinamika kekuasaan di mana istilah-istilah tersebut digunakan. Dari sudut pandang psikologis, penghinaan semacam ini dapat memiliki dampak emosional yang mendalam, merusak harga diri dan kesejahteraan mental seseorang.

Pada akhirnya, memahami makna di balik istilah-istilah ini membantu kita menyadari betapa kuatnya bahasa dalam membentuk hubungan sosial dan mempengaruhi psikologi individu. Lebih dari sekadar kata-kata, penghinaan seperti "anjing" dan "babi" membawa beban simbolik yang dapat memperkuat ketimpangan sosial dan memicu respons emosional yang mendalam.

Beberapa Contob Kasus

Penggunaan kata-kata sebagai alat penghinaan bukan sekadar permasalahan kecil dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang telah kita lihat dalam beberapa peristiwa besar yang mengguncang dunia, kata-kata dapat membawa dampak yang sangat luas dan serius. Kasus Salman Rushdie yang difatwa mati oleh Ayatollah Khomeini (1989), pemenggalan Samuel Paty (2020) di Prancis, hingga kontroversi atas pernyataan "bajingan tolol" oleh Rocky Gerung (2023) menunjukkan bagaimana kata-kata dan simbol-simbol tertentu bisa memicu konflik, pembunuhan, dan eskalasi kekerasan.

Pada tingkat yang lebih dalam, peristiwa-peristiwa ini berkaitan dengan bagaimana kata-kata membawa makna simbolis yang melekat pada konstruksi sosial dan psikologis tertentu, yang dapat merendahkan dan memicu kemarahan besar dari pihak-pihak yang merasa terhina.

Salman Rushdie dan Fatwa Khomeini: Penghinaan terhadap Simbol Keagamaan

Kasus Salman Rushdie menjadi salah satu contoh paling terkenal tentang bagaimana sebuah karya sastra dapat memicu reaksi yang ekstrem karena dianggap menghina simbol-simbol keagamaan. Setelah menerbitkan novel "The Satanic Verses"  pada tahun 1988, Rushdie dituduh menghina Islam, Nabi Muhammad, dan Al-Qur'an. Buku tersebut dinilai sangat ofensif oleh banyak umat Muslim, terutama karena menggambarkan tokoh yang dianggap menyerupai Nabi Muhammad dengan cara yang kontroversial. Pada tahun 1989, Ayatollah Khomeini, pemimpin tertinggi Iran, mengeluarkan fatwa yang memerintahkan pembunuhan Rushdie, memicu ketegangan internasional dan debat tentang batas kebebasan berpendapat.

Mengapa reaksi terhadap buku Rushdie begitu keras? Dari perspektif psikologis dan sosial, novel Rushdie tidak hanya dipandang sebagai kritik literer, tetapi sebagai serangan terhadap identitas keagamaan dan moral yang sangat dihormati. Dalam teori simbolisme sosial yang dikemukakan oleh Geertz, agama adalah salah satu bentuk simbolisme yang paling kuat dan sarat makna dalam kehidupan sosial. Ketika suatu karya dianggap menghina simbol-simbol keagamaan ini, respons yang ditimbulkan sering kali jauh melampaui kritik literer, menjadi konflik identitas dan moralitas.

Bagi banyak Muslim,  "The Satanic Verses" (Ayat-Ayat Setan) melambangkan pengkhianatan terhadap agama, dan fatwa Khomeini adalah respons yang ekstrem, namun sangat simbolis.

Sebutan "penghujat" yang disematkan kepada Rushdie bukan hanya sekadar penghinaan personal, tetapi merupakan alat untuk menempatkan dirinya di luar komunitas, menjadi simbol dari musuh agama. Dalam konteks ini, kata-kata Rushdie ditafsirkan sebagai "kekerasan simbolik" yang berusaha merendahkan agama, sehingga menuntut respons yang dianggap sebanding dengan penghinaan tersebut.

Samuel Paty: Simbolisme Kartun dan Harga Nyawa

Kasus Samuel Paty di Prancis pada tahun 2020 menggambarkan bagaimana simbol-simbol tertentu, dalam hal ini kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad, dapat menimbulkan kekerasan ekstrem. Paty, seorang guru sejarah, dipenggal oleh seorang ekstremis Muslim, Abdullah Anzorov (18)  setelah menunjukkan kartun Nabi Muhammad yang diterbitkan oleh majalah  "Charlie Hebdo"  dalam kelas kebebasan berpendapatnya. Bagi pelaku, tindakan Paty dianggap sebagai penghinaan berat terhadap Islam, yang merusak simbol agama yang suci.

Dalam konteks ini, kartun tersebut dipandang sebagai bentuk penghinaan simbolik yang sangat mendalam bagi umat Muslim, terutama karena dalam tradisi Islam, penggambaran Nabi Muhammad sangat dilarang. Paty tidak hanya dianggap menghina Nabi, tetapi juga mempermalukan seluruh umat Muslim dengan memanfaatkan simbol agama dalam kelas tentang kebebasan berbicara.

Namun, dari sudut pandang lain, kasus ini juga menunjukkan ketegangan antara dua nilai penting: kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap simbol-simbol agama. Teori konflik sosial dari Karl Marx dapat diterapkan di sini, di mana simbol-simbol agama berperan dalam menjaga struktur sosial dan identitas, sementara kebebasan berekspresi sering kali menjadi alat bagi pihak yang lebih berkuasa untuk mengekspresikan pandangan mereka, bahkan jika hal itu menghina kelompok lain.

Rocky Gerung dan "Bajingan Tolol": Simbolik Penghinaan di Ranah Politik

Di Indonesia, kontroversi seputar pernyataan Rocky Gerung yang menyebut "bajingan tolol" dalam konteks kritik terhadap pemerintahan juga menggambarkan bagaimana bahasa dapat memicu respons emosional dan kemarahan publik. Rocky, seorang akademisi dan pengamat politik, terkenal karena gaya kritiknya yang tajam dan sering kali menggunakan bahasa yang keras dalam menyampaikan pendapat. Namun, pernyataannya ini menimbulkan polemik karena dianggap menyerang pribadi-pribadi dalam lingkup kekuasaan.

Ungkapan "bajingan tolol" tidak hanya dianggap sebagai penghinaan personal, tetapi juga simbolik dari perlawanan terhadap otoritas yang dianggap gagal menjalankan tanggung jawabnya. Dalam konteks politik, kata-kata ini memiliki makna yang lebih dalam, karena mencerminkan ketidakpuasan sosial yang luas terhadap pemerintah. Pierre Bourdieu dalam teorinya tentang kekuasaan simbolik menjelaskan bahwa bahasa merupakan alat untuk menciptakan dan mempertahankan kekuasaan. Ketika Rocky menggunakan istilah ini, ia bukan sekadar menghina seseorang, tetapi menyentuh isu-isu yang lebih luas, seperti kegagalan kepemimpinan dan ketidakmampuan pemerintah.

Namun, yang menarik adalah bagaimana istilah-istilah ini diterima oleh publik. Sebagian orang mungkin merasa bahwa pernyataan tersebut adalah bentuk kebebasan berbicara yang sah dan diperlukan dalam kritik politik. Sementara yang lain, terutama mereka yang mendukung pemerintahan, merasa bahwa penggunaan kata-kata seperti itu adalah penghinaan yang tidak dapat diterima. Ini menunjukkan bahwa makna simbolis dari kata-kata sangat bergantung pada posisi sosial dan perspektif politik individu.

Makna Simbolik dan Respons Emosional

Dari ketiga kasus ini---Salman Rushdie, Samuel Paty, dan Rocky Gerung---kita bisa melihat bagaimana kata-kata dan simbol memiliki makna yang jauh melampaui arti literalnya.

Penggunaan simbol-simbol yang dianggap menghina bisa memicu reaksi yang sangat ekstrem karena menyerang identitas, keyakinan, dan harga diri seseorang atau kelompok.

Dalam teori identitas sosial, seperti yang dikemukakan oleh Henri Tajfel, manusia sangat terikat pada identitas kelompok mereka, baik itu agama, budaya, atau politik. Ketika simbol-simbol yang mereka anggap penting dihina atau dipermalukan, respons emosional yang dihasilkan bisa sangat kuat, mulai dari marah, hingga tindakan kekerasan.

Di sisi lain, teori konstruksi sosial bahasa mengingatkan kita bahwa makna dari kata-kata dan simbol-simbol ini tidak tetap, melainkan terus berkembang berdasarkan konteks sosial di mana mereka digunakan. Ketika seorang pemimpin agama seperti Khomeini mengeluarkan fatwa, atau ketika seorang ekstremis membunuh seorang guru seperti Samuel Paty, mereka sebenarnya sedang menggunakan simbol-simbol tersebut untuk memperkuat posisi mereka dalam konteks sosial yang lebih luas.

Akhir kata

Penggunaan kata-kata dan simbol sebagai alat penghinaan melampaui batasan bahasa. Kasus-kasus seperti fatwa Salman Rushdie, pembunuhan Samuel Paty, dan pernyataan Rocky Gerung menunjukkan bahwa penghinaan simbolik dapat memiliki dampak sosial, politik, dan emosional yang sangat serius. Dalam konteks ini, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai alat kekuasaan yang dapat membentuk hubungan sosial dan memperkuat dinamika kekuasaan.

Pada akhirnya, penting bagi kita untuk memahami bahwa makna simbolis di balik kata-kata dan tindakan sangat kompleks, dan bahwa respon kita terhadap penghinaan tersebut sering kali sangat dipengaruhi oleh identitas sosial kita. Kasus-kasus ini mengingatkan kita akan pentingnya berkomunikasi dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab tentang dampak simbolis dari kata-kata yang kita gunakan, dan bagaimana kata-kata tersebut dapat memperkuat atau meruntuhkan hubungan sosial yang ada. Ajing, Babi, dan Bajingan  adalah kata-kata yang sebenarnya netral tapi dalam konteks budaya tertentu ia menjadi simbol-simbol penghinaan yang sangat keras dan menyakitkan. Ini seperti campuran dua zat kimia. Dalam dua wadah yang terisolasi zat tersebut tidak berbahaya. Tapi ketika dicampur dalam kadar tertentu bisa menimbulkan ledakan dahsyat yang mengakibatkan malapetaka. (KH )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun