Mohon tunggu...
Kris Hadiwiardjo
Kris Hadiwiardjo Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Eks Penulis Artikel Bisnis, Ekonomi, Teknologi Harian Pelita

Penulis adalah peminat bidang teknologi, Komputer, Artificial Intelligence, Psikologi dan masalah masalah sosial politik yang menjadi perbincangan umum serta melakukan berbagai training yang bekenaan dengan self improvement, human development dan pendidikan umum berkelanjutan bagi lanjut usia.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Anjing & Babi: Makna Sosial & Psikologis di Balik Kata yang Menyakitkan

18 Oktober 2024   15:22 Diperbarui: 18 Oktober 2024   15:23 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, dari sudut pandang lain, kasus ini juga menunjukkan ketegangan antara dua nilai penting: kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap simbol-simbol agama. Teori konflik sosial dari Karl Marx dapat diterapkan di sini, di mana simbol-simbol agama berperan dalam menjaga struktur sosial dan identitas, sementara kebebasan berekspresi sering kali menjadi alat bagi pihak yang lebih berkuasa untuk mengekspresikan pandangan mereka, bahkan jika hal itu menghina kelompok lain.

Rocky Gerung dan "Bajingan Tolol": Simbolik Penghinaan di Ranah Politik

Di Indonesia, kontroversi seputar pernyataan Rocky Gerung yang menyebut "bajingan tolol" dalam konteks kritik terhadap pemerintahan juga menggambarkan bagaimana bahasa dapat memicu respons emosional dan kemarahan publik. Rocky, seorang akademisi dan pengamat politik, terkenal karena gaya kritiknya yang tajam dan sering kali menggunakan bahasa yang keras dalam menyampaikan pendapat. Namun, pernyataannya ini menimbulkan polemik karena dianggap menyerang pribadi-pribadi dalam lingkup kekuasaan.

Ungkapan "bajingan tolol" tidak hanya dianggap sebagai penghinaan personal, tetapi juga simbolik dari perlawanan terhadap otoritas yang dianggap gagal menjalankan tanggung jawabnya. Dalam konteks politik, kata-kata ini memiliki makna yang lebih dalam, karena mencerminkan ketidakpuasan sosial yang luas terhadap pemerintah. Pierre Bourdieu dalam teorinya tentang kekuasaan simbolik menjelaskan bahwa bahasa merupakan alat untuk menciptakan dan mempertahankan kekuasaan. Ketika Rocky menggunakan istilah ini, ia bukan sekadar menghina seseorang, tetapi menyentuh isu-isu yang lebih luas, seperti kegagalan kepemimpinan dan ketidakmampuan pemerintah.

Namun, yang menarik adalah bagaimana istilah-istilah ini diterima oleh publik. Sebagian orang mungkin merasa bahwa pernyataan tersebut adalah bentuk kebebasan berbicara yang sah dan diperlukan dalam kritik politik. Sementara yang lain, terutama mereka yang mendukung pemerintahan, merasa bahwa penggunaan kata-kata seperti itu adalah penghinaan yang tidak dapat diterima. Ini menunjukkan bahwa makna simbolis dari kata-kata sangat bergantung pada posisi sosial dan perspektif politik individu.

Makna Simbolik dan Respons Emosional

Dari ketiga kasus ini---Salman Rushdie, Samuel Paty, dan Rocky Gerung---kita bisa melihat bagaimana kata-kata dan simbol memiliki makna yang jauh melampaui arti literalnya.

Penggunaan simbol-simbol yang dianggap menghina bisa memicu reaksi yang sangat ekstrem karena menyerang identitas, keyakinan, dan harga diri seseorang atau kelompok.

Dalam teori identitas sosial, seperti yang dikemukakan oleh Henri Tajfel, manusia sangat terikat pada identitas kelompok mereka, baik itu agama, budaya, atau politik. Ketika simbol-simbol yang mereka anggap penting dihina atau dipermalukan, respons emosional yang dihasilkan bisa sangat kuat, mulai dari marah, hingga tindakan kekerasan.

Di sisi lain, teori konstruksi sosial bahasa mengingatkan kita bahwa makna dari kata-kata dan simbol-simbol ini tidak tetap, melainkan terus berkembang berdasarkan konteks sosial di mana mereka digunakan. Ketika seorang pemimpin agama seperti Khomeini mengeluarkan fatwa, atau ketika seorang ekstremis membunuh seorang guru seperti Samuel Paty, mereka sebenarnya sedang menggunakan simbol-simbol tersebut untuk memperkuat posisi mereka dalam konteks sosial yang lebih luas.

Akhir kata

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun