Beberapa Contob Kasus
Penggunaan kata-kata sebagai alat penghinaan bukan sekadar permasalahan kecil dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang telah kita lihat dalam beberapa peristiwa besar yang mengguncang dunia, kata-kata dapat membawa dampak yang sangat luas dan serius. Kasus Salman Rushdie yang difatwa mati oleh Ayatollah Khomeini (1989), pemenggalan Samuel Paty (2020) di Prancis, hingga kontroversi atas pernyataan "bajingan tolol" oleh Rocky Gerung (2023) menunjukkan bagaimana kata-kata dan simbol-simbol tertentu bisa memicu konflik, pembunuhan, dan eskalasi kekerasan.
Pada tingkat yang lebih dalam, peristiwa-peristiwa ini berkaitan dengan bagaimana kata-kata membawa makna simbolis yang melekat pada konstruksi sosial dan psikologis tertentu, yang dapat merendahkan dan memicu kemarahan besar dari pihak-pihak yang merasa terhina.
Salman Rushdie dan Fatwa Khomeini: Penghinaan terhadap Simbol Keagamaan
Kasus Salman Rushdie menjadi salah satu contoh paling terkenal tentang bagaimana sebuah karya sastra dapat memicu reaksi yang ekstrem karena dianggap menghina simbol-simbol keagamaan. Setelah menerbitkan novel "The Satanic Verses" Â pada tahun 1988, Rushdie dituduh menghina Islam, Nabi Muhammad, dan Al-Qur'an. Buku tersebut dinilai sangat ofensif oleh banyak umat Muslim, terutama karena menggambarkan tokoh yang dianggap menyerupai Nabi Muhammad dengan cara yang kontroversial. Pada tahun 1989, Ayatollah Khomeini, pemimpin tertinggi Iran, mengeluarkan fatwa yang memerintahkan pembunuhan Rushdie, memicu ketegangan internasional dan debat tentang batas kebebasan berpendapat.
Mengapa reaksi terhadap buku Rushdie begitu keras? Dari perspektif psikologis dan sosial, novel Rushdie tidak hanya dipandang sebagai kritik literer, tetapi sebagai serangan terhadap identitas keagamaan dan moral yang sangat dihormati. Dalam teori simbolisme sosial yang dikemukakan oleh Geertz, agama adalah salah satu bentuk simbolisme yang paling kuat dan sarat makna dalam kehidupan sosial. Ketika suatu karya dianggap menghina simbol-simbol keagamaan ini, respons yang ditimbulkan sering kali jauh melampaui kritik literer, menjadi konflik identitas dan moralitas.
Bagi banyak Muslim, Â "The Satanic Verses" (Ayat-Ayat Setan) melambangkan pengkhianatan terhadap agama, dan fatwa Khomeini adalah respons yang ekstrem, namun sangat simbolis.
Sebutan "penghujat" yang disematkan kepada Rushdie bukan hanya sekadar penghinaan personal, tetapi merupakan alat untuk menempatkan dirinya di luar komunitas, menjadi simbol dari musuh agama. Dalam konteks ini, kata-kata Rushdie ditafsirkan sebagai "kekerasan simbolik" yang berusaha merendahkan agama, sehingga menuntut respons yang dianggap sebanding dengan penghinaan tersebut.
Samuel Paty: Simbolisme Kartun dan Harga Nyawa
Kasus Samuel Paty di Prancis pada tahun 2020 menggambarkan bagaimana simbol-simbol tertentu, dalam hal ini kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad, dapat menimbulkan kekerasan ekstrem. Paty, seorang guru sejarah, dipenggal oleh seorang ekstremis Muslim, Abdullah Anzorov (18)  setelah menunjukkan kartun Nabi Muhammad yang diterbitkan oleh majalah  "Charlie Hebdo"  dalam kelas kebebasan berpendapatnya. Bagi pelaku, tindakan Paty dianggap sebagai penghinaan berat terhadap Islam, yang merusak simbol agama yang suci.
Dalam konteks ini, kartun tersebut dipandang sebagai bentuk penghinaan simbolik yang sangat mendalam bagi umat Muslim, terutama karena dalam tradisi Islam, penggambaran Nabi Muhammad sangat dilarang. Paty tidak hanya dianggap menghina Nabi, tetapi juga mempermalukan seluruh umat Muslim dengan memanfaatkan simbol agama dalam kelas tentang kebebasan berbicara.