Mohon tunggu...
Kadhung Prayoga
Kadhung Prayoga Mohon Tunggu... Dosen - Akademisi

Dosen Program Studi Agribisnis, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Revitalisasi Kebijakan Hulu Hingga Hilir Pada Industri Tembakau

19 Maret 2017   13:19 Diperbarui: 19 Maret 2017   13:28 1071
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Latar Belakang

Komoditas tembakau merupakan salah satu komoditas yang memiliki peranan penting dalam sistem perekonomian Indonesia khususnya dalam pendapatan negara berupa cukai dan devisa serta penyerapan tenaga kerja. Mengacu pada peneitian Yuska (2014), tahun 2011 total penerimaan negara dari cukai rokok sudah mencapai Rp. 65,4 Triliun. Kemudian pada 2010 industri rokok mampu menyerap tenaga kerja tidak langsung sebanyak 6,1 juta jiwa. Tentu saja dampak positif dari usaha budi daya tembakau tidak bisa dinafikkan begitu saja. Tembakau memiliki sumbangsih yang nyata dalam kegiatan perekonomian Indonesia. Namun di satu sisi banyak pula elemen masyarakat yang menolak usaha-usaha berbasis tembakau, industri pengolahan rokok misalnya.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Suprapti (2010) komoditas tembakau dirasa masih menjadi komoditas pertanian yang menguntungkan baik secara sosial maupun ekonomi. Dilihat dari segi ekonomi tembakau mampu menjadi sumber devisa dan cukai bagi negara. Bahkan cukai non pajak Indonesia yang paling besar diperoleh dari industry tembakau. Sedangkan secara sosial industry tembakau mulai dari on farm hingga off farm masih memberikan dampak yang besar karena mampu menyerap tenaga kerja dengan jumlah besar. Tak heran tembakau menjadi primadona bagi petani yang berada di beberapa kawasan terutama mereka yang tinggal di Jawa Timur seperti Madura.

Kondisi yang pro daan kontra ini menimbulkan banyak dilemma bagi para stakeholder, terlebih pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Bahkan dalam perkembangannya kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia masih menimbulkan perdebatan yang panjang, mulai dari hak asasi seorang perokok, fatwa haram merokok, hingga penyakit yang bisa ditimbulkan dari kegiatan merokok. Namun di satu sisi, industri tembakau juga memberikan banyak dampak positif sehingga perlu pula adanya kebijakan yang memihak usaha ini. Tarik ulur kebijakan kemudian terjadi dan titik temu menjadi semakin kabur. Maka essay ini berusaha berada di tengah kondisi pemerintah, swasta, dan masyarakat terutama petani tembakau agar tiap pihak bisa mendapatkan manfaat dari komoditas yang telah banyak menjadi buah bibir masyarakat ini.

Kebijakan Produksi Tembakau

Disitasi dari penelitian Murdiyati et. al (2006) terdapat beberapa masalah budi daya tembakau yang mengakibatkan ditolaknya tembakau tersebut oleh perusahaan. Sehingga yang terjadi harga rendah dan tembakau tidak laku karena tidak masuk kualifikasi peusahaan. Masalah yang pertama adalah ketidakmurnian varietas tembakau yang ditanam. Di daerah sentra produksi tembakau, mayoritas petani membuat benihnya sendiri karena memang mudah untuk dibuat. 

Benih tembakau buatan petani pada umumnya juga tidak murni karena seringkali petani mengambil benih dari daerah lain sehingga meningkatkan ketidakmurnian varietas yang ditanam. Sehingga, pemerintah harus tegas dalam usaha meningkatkan mutu tembakau rakyat. Caranya adalah dengan mengupayakan agar varietas yang ditanam petani adalah sesuai dan murni dengan apa yang diinginkan perusahaan. Disini Balittas harus selalu menyertakan petani dalam memilih morfologi tanaman yang sesuai dengan jenisnya, dan meminta bantuan perusahaan untuk menetapkan varietas yang sesuai mutunya.

Masalah kedua yang muncul adalah budi daya yang tidak sesuai dengan standar. Missal saja, di daerah Bojonegoro seringkali tanaman tembakau virginia rajangan tidak dipangkas, dan dosis pupuk yang diberikan juga rendah, sehingga hasilnya rendah dan mutu tidak sesuai dengan kebutuhan pabrik rokok. Sebaliknya pada petani Madura, untuk meningkatkan hasil tembakau petani seringkali memberikan pupuk dan jumlah air yang berlebihan, sehingga tanaman menjadi sangat besar, tetapi mutu daunnya menurun dan tidak sesuai dengan kebutuhan pabrik rokok. Sehingga yang harus dilakukan adalah meningkatkan sistem kemitraan antara petani dengan perusahaan. Dengan sistem ini diharapkan dapat meningkatkan pelaksanaan budi daya petani yang tepat karena ada jaminan harga dan pasar dari perusahaan.

Beralih ke masalah pencampuran tembakau. Banyak terjadi praktek pemalsuan tembakau di masyarakat. Missal saja yang selama ini menjadi kiblat adalah tembakau Madura dan Temanggung. Karena harga dua varietas ini mahal maka terkadang tembakau dari daerah lain dimasukkan ke daerah ini dan diakui sebagai varietas dari Madura dan Temanggung.

 Efeknya perusahaan juga akan kesulitan mengidentifikasi tembakau tersebut dan menilai bahwa kualitasnya rendah. Jadi, untuk meminimalisir hal ini pemerintah daerah harus membuat peraturan daerah yang berguna dalam mencegah masuknya tembakau dari daerah lain ke daerahnya. Hal ini untuk menjaga keaslian dari varietas tembakau yang dihasilkan daerah tersebut.

Yang tidak kalah penting adalah masalah perlakuan yang kurang tepat dalam pengolahan tembakau. Ditemui di masyarakat bahwa masih banyak petani yang merajang gagang tembakau, padahal hal ini tidak diinginkan oleh perusahaan. Hal ini menyebabkan efektif jumlah tembakau yang dapat digunakan berkurang dan kualitas rokok yang dihasilkan juga jelek. Selain itu dalam prosesing seringkali petani menambahkan gula atau bahan lain yang sangat menurunkan mutu dan aroma tembakau. 

Bahkan sering pula bahan lain ikut tercampur dalam rajangan seperti serpihan tikar yang ikut terajang, pelepah pisang, bambu/kayu, plastic, dan material lainnya. Tentu perlu ada kebijakan agar petani menghilangkan gagang sebelum merajang tembakaunya dan mencegah petani mencampurkan gula atau bahan lain pada saat mengolah tembakau. Peusahaan juga memiliki kewajiban untuk membimbing petani dan mengedukasi mereka terkait hal ini, terutama dalam proses prosesing harus dilakukan secara bersih dan steril agar kualitas tembakau dari petani bisa sesuai dengan kebutuhan industri.

Kebijakan Tenaga Kerja

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Prabaningrum dan Suci (2008) dapat diketahui peranan industri pengolahan tembakau masih sangat besar dalam merekrut tenaga kerja. Industri rokok menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 10 juta angkatan kerja, atau jika dilihat dari jumlah angkatan kerja yang mencapai 100 juta tiap tahunnya, maka jumlah tersebut mengurangi 10% pengangguran. Jadi, banyak orang tertopang hidupnya dari industri ini. Namun, sayangnya kesejahteraan mereka masih belum bisa dibilang bagus karena upah yang terkadang tidak sesuai dengan UMR. Perusahaan haruslah memberikan tunjangan, reward, dan punishment bagi pekerjanya.

Terlebih perusahaan juga harus memberikan batasan mengenai umur tenaga kerja minimal yang diperbolehkan untuk bekerja. Perusahaan baik yang bergerak di skala multinasional maupun industry rumah tangga harus memahami mengenai umur minimal yang diperbolehkan untuk bekerja. Human Rights Watch (HRW) pada tahun 2016 mengeluarkan sebuah laporan mengenai pekerja anak di pertanian tembakau di Indonesia, dari 132 anak yang diwawancara menyatakan bahwa bekerja di pertanian tembakau mengganggu sekolah. Bahkan mereka dibayar dengan upah yang sangat rendah.

Termasuk didalamnya perusahaan juga harus mengatur mengenai tenaga kerja perempuan, seluruh stakeholder harus memperhatikan benar hal ini agar tidak terjadi eksploitasi tenaga kerja. Perempuan tidak hanya diposisikan sebagai pekerja kasar yang bisanya melinting rokok atau merajang tembakau. Perempuan juga ahrus diberikan kesempatan untuk bisa menempati posisi strategis dalam perusahaan. Tiap tenaga kerja hendaknya juga memperoleh kesempatan untuk mengikuti pelatihan agar skillnya bisa meningkat sehingga tercipta efisiensi kerja.

Di lain sisi, pemerintah harus memberikan kesempatan kepada semua orang untuk bisa terlibat pada industry tembakau terutama roko. Karena menurut beberapa survey, industri rokok di Indonesia saat ini berjumlah 1.664 pabrik rokok, namun 71% pangsa pasar hanya di kuasai oleh tiga pabrik besar dan 88% pendapatan total industri rokok hanya di sumbang oleh enam industri besar. 

Sebenarnya dari kondisi ini dapat dilihat bahwa petani masih memiliki kesempatan untuk bisa membuat sendiri usahanya. Para petani bisa bekerja sama dan swadaya dalam membangun industry tembakau yang terintegrasi dari hulu hingga hilir. Namun, tentu saja dibutuhkan komitmen pemerintah untuk membantu petani. Sehingga pasar tembakau, terutama rook tidak hanya dikuasai oleh beberapa perusahaan saja.

Masalah hak asasi pekerja di industry tembakau juga harus menjadi perhatian perusahaan. Seperti yang diungkapkan Ruggie (2011) dalam Mulyana (2014) terkait penghormatan hak pekerja, prusahaan harus melakukan hal-hal berikut:

  • Perusahaan harus mengeluarkan kebijakan dan proses yang layak sesuai keadaan yang    memungkinkan mereka mengidentifikasi, mencegah, mengurangi, dan memulihkan dampak negatif terhadap HAM dimana mereka menjadi faktor penyebab atau berkontribusi atas dampak negatif tersebut melalui aktivitas yang mereka lakukan. Hal ini penting untuk mengukur komitmen dan performance mereka terhadap HAM.
  • Perusahaan harus mengidentifikasi dan menilai dampak aktual dan potensial negatif dengan melibatkan ahli HAM internal dan eksternal serta membangun keterlibatan yang berarti dari pemangku kepentingan atau kelompok masyarakat dimana mereka beroperasi.
  • Perusahaan harus mengintegrasikan temuan dari penilaian dampak ke dalam proses dan fungsi internal, termasuk adanya alokasi anggaran yang dibutuhkan untuk merespon dampak negatif secara efektif.
  • Perusahaan harus mengukur kinerja HAM mereka berdasarkan pengukuran kualitatif dan kuantitatif, membuka diri terhadap umpan balik dari pemangku kepentingan eksternal dan internal, serta mempublikasikan uji performance demi perbaikan berkelanjutan di masa depan. Perusahaan dengan resiko HAM yang besar juga harus melaporkan kinerja HAM secara regular kepada publik.

Kebijakan Pemasaran Tembakau

Selama ini tidak ada standar baku mengenai grading dari kualitas tembakau. Sehingga petani tidak memiliki pegangan ketika menjual produknya. Terlebih ketika rantai pemasaran tembakau dikuasai oleh satu pihak (pengepul) saja. Handaka dan Surokim (2014) dalam penelitiannya bahkan menyebutkan jika dalam kegiatan pemasaran tembakau telah di dominasi pedagang Cina. Mereka dengan leluasa bisa menentukan kualitas dan harga tembakau.

 Mengingat kondisi yang seperti ini maka bisa dibuat suatu kebijakan agar pemerintah membangun gudang tembakau beserta teknologi pengolahannya bagi daerah-daerah sentra penghasil tembakau. Keberadaan gudang ini bisa menampung tembakau dari petani. Ketika tembakau tidak ada stoknya, gudang akan menaikkan harga. Pada saat itulah tembakau di gudang dijual, maka petani bisa mendapatkan untung dari penjualan itu. Hal ini dirasa perlu agar harga tembakau di pasar tidak dimainkan oleh pengepul. Pemerintah juga bisa mendorong lahirnya industry rumah tangga yang bergerak dalam pengolahan tembakau menjadi rokok atau tembakau kering. Dengan begitu petani akan memiliki pilihan dan penentuan harga tidak dimonopoli oleh satu pihak.

Pemerintah baik pusat maupun daerah juga perlu melakukan pertemuan dan dialog antara petani, pemerintah, dan perusahaan. Tujuannya agar bisa memiliki satu pemahaman mengenai penentuan harga tembakau dari petani kepada industry. Namun, sebelum memberikan kebijakan ini, Handaka dan Surokim (2014) menganjurkan pemerintah menyiapkan supra struktur yang akan mengontrol praktek kebijakan ini di tingkat lapangan. Terutama ketika petani menjual tembakau ke gudang. Bahkan jika memungkinkan pemerintah bisa meniru konsep bulog untuk menyerap tembakau hasil panen dari petani. 

Sehingga ketika panen raya harga tembakau tidak akan jatuh dan merugikan petani. Konsep bulog bagi komoditas tembakau dirasa sudah sangat perlu karena selama ini petani terlalu dirugikan oleh pedagang. Dengan adanya konsep seperti ini diharapkan harga menjadi stabil dan terdapat patokan harga tembakau. Sudah saatnya tembakau juga mengenal konsep harga atap dan harga dasar mengingat banyaknya petani yang menggantungkan hidupnya dari komoditas ini.

Dan yang terjadi selama ini di pasar adalah petani tembakau mengalami kebingungan, terutama bagi mereka yang tidak bermitra dengan perusahaan. Selama ini tidak ada ukuran yang tetap dalam menentukan kualitas dan harga tembakau, misalnya bila tembakau dilihat kuning maka harganya mahal. Tapi bila tidak tercium aroma/bau gunung/lahan,maka harga tembakau tersebut menjadi murah. Terlebih tiap perusahaan memiliki kriterianya sendiri, Gudang Garam biasanya menyukai tembakau dengan warna kuning masak, Djarum menyukai yang hijau, dan Sampoerna lebih menyukai tembakau dengan warna biru.

 Tentu hal ini sangat membingungkan petani. Dengan keadaan yang seperti ini maka pemerintah sudah saatnya memiliki standar baku mengenai kualitas tembakau. Standardisasi perlu agar ada ukuran yang pasti mengenai kualitas tembakau. Selama ini penentuan kualitas hanya dilakukan oleh perushaan secara subjektif. Tentu hal ini sangat merugikan petani. Disini pemerintah bisa menyediakan alat ukur kualitas tembakau, sehingga ukuran tersebut menjadi lebih kuantitatif dan obyektif.

Bahkan dalam tulisan Santoso (2001) menjelaskan bahwa dalam jual beli tembakau, mekansime pasar yang umumnya terjadi adalah oligopsoni dimana jumlah penjual jauh lebih banyak dibanding pembeli. Situasi ini memberi keleluasaan bagi pembeli untuk menentukan harga tembakau. Petani, sebagai penjual tidak memiliki daya tawar yang tinggi, sehingga kerap menjadi korban dari harga jual yang rendah. Ketidakberdayaan ini nampak dalam penentuan harga, penentuan kualitas daun tembakau, serta penentuan berat tembakau.

Kebijakan Polutan Industri Tembakau

Rokok menghasilkan limbah puntung rokok yang terbukti memiliki kandungan zat polutan yang bisa mencemari lingkungan terutama air. Setiap tahunnya, limbah puntung rokok diprediksi mencapai 845.000 ton yang mencemari kandungan air tanah, aliran sungai, dan menjadi sampah yang paling banyak mencemari laut (Kementerian Kesehatan, 2015). Dari laporan yang sama, diketahui bahwa konsumsi rokok mencapai 332 miliar batang, yang artinya terdapat jumlah yang sama untuk limbah puntung rokok. Limbah tersebut akan terus bertambah setiap tahun seiring konsumsi rokok yang terus meningkat.

Novotny et. al (2009) bahkan menjelaskan bahwa puntung rokok merupakan sampah yang paling banyak ditemukan Indonesia. Puntung rokok dianggap sangat berbahaya karena mengandung asetat selulosa yang butuh hingga butuh 12 tahun untuk terurai. Terlebih masih banyaknya kandungan bahan kimia yang terkandung di dalamnya mampu mencemari air dan mengganggu kelanjutan ekosistem.

Jika dibiarkan tentu kondisi ini akan berpengaruh pada pencemaran lingkungan di Indonesia terutama kemudahan akses terhadap air bersih. Maka perlu ada kebijakan dari pemerintah dan perusahaan mengenai bagaimana cara memanfaatkan putung rokok. Perusahaan harus dibebankan untuk bisa mengolah dan mendaur ulang putung rokok agar tidak menjadi sampah dan polusi. Dengan begitu, perusahaan memiliki kewajiban tambahan dalam rangka mengolah produk-produk buangan dari industry yang dihasilkannya.

Kebijakan Pengembangan Daerah Produksi

Kedepan pemerintah lewat kementerian terkait, terutama kementerian perindustrian haruslah jelas dalam membuat Peta Jalan Produksi Industri Hasil Tembakau (IHT). Lewat kebijakan ini diharapkan pemerintah sudah mengetahui rencana sasaran, strategi dan kebijakan yang akan diambil. Sehingga pertumbuhan produksi dan usaha bisa tercapai. Termasuk didalamnya rencana jangka panjang dan dampak sosial budaya yang ditimbulkan dari adanya industri tembakau. 

Menurut Suprapti (2010), pemerintah harus sudah memiliki master plan menegenai daerah mana yang akan dijadikan daerah basis baru. Daerah basis tidak bisa diharapkan secara terus menerus karena suatu saat bisa merusak kandungan hara tanahnya. Sehingga daerah non basis harus dilirik untuk bisa dikembangkan menjadi daerah basis baru. Pemerintah harus menentukan spesifikasi lokasi baru yang cocok untuk tanaman tembakau dengan harapan kualitas dan produktivitas yang dihasilkan tinggi. Dengan begitu diharapkan daerah basis bisa beristirahat agar kandungan haranya bisa teregenerasi.

Kebijakan Diversifikasi Hasil Tanaman Tembakau

Selama ini ketika berbicara mengenai tembakau maka akan selalu dianalogikan dengan rokok. Padahal tembakau bisa saja diolah menjadi beragam produk selain rokok. Untuk meminimalisir bahaya rokok maka pemerintah sudah harus mengarahkan tembakau sebagai bahan baku produk non rokok. Disitasai dari Santoso dan Kusumastuti (2008) dalam penelitiannya, ternyata tembakau bisa dijadikan sebagai pewarna kain. Pemerintah harus memiliki pandangan baru bahwa tidak selamanya rokok menjadi hasil olahan tembakau. Temuan ini bisa dijadikan acuan pemerintah dalam mengembangkan industry tembakau. Terlebih tembakau juga bisa digunakan sebagai bahan baku protein anti kanker (Growth Colony Stimulating Factor) dan menstimulasi antibodi terhadap Human Papiloma Virus (HPV), yang menjadi penyebab kanker mulut Rahim.

Lebih lanjut, berdasarkan pengujian menggunakan Kromatografi Gas (GC) oleh Stojanovic et al. (2000) dalam Hasan dan Dwidjono (2013), minyak atsiri yang diekstrak dari tembakau tersusun oleh beragam komponen kimia. Minyak atsiri tersebut secara umum tidak lagi mengandung zat-zat kimia yang berbahaya, seperti nikotin. Keunggulan minyak atsiri tembakau sebagai senyawa yang bersifat antimikroba, antioksidan, dan beraroma merupakan potensi yang dapat dikembangkan.

 Minyak atsiri tembakau memungkinkan pengolahan produk turunan tembakau menjadi beragam produk industri meliputi, farmasi, kosmetik, pembersih rumah tangga, dan lainnya. Pemerintah harus menginisiasi riset-riset yang bertujuan untuk menemukan produk-produk turunan dari tembakau, sehingga tembakau tidak hanay diproses menjadi rokok saja. Jalan lainnya Kemenkes dapat bersinergi dengan Kementan dan Kemenperin untuk melakukan diversifikasi produk tembakau yang tidak selalu berbentuk rokok, tetapi dalam bentuk-bentuk lain.

Daftar Pustaka

Fuad Hasan, Fuad., dan Dwidjono Hadi Darwanto. 2013. Prospek dan Tantangan Usahatani Tembakau Madura. Jurnal SEPA 10(1): 63-70.

Handaka, Tatag dan Surokim. 2014. Pola Komunikasi Kelompok Petani Tembakau Madura Sebagai Basis Penyusunan Kebijakan Pemberdayaan Ekonomi Politik. Jurnal Karsa 23(2): 223-239.

Human Rights Watch. 2016. Panen dengan Darah Kami : Bahaya Pekerja Anak dalam Perkebunan Tembakau di Indonesia. ISBN : 978-1-6231-33528

Kementerian Kesehatan. 2015. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI: Stop Kanker. http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-kanker.pdf. Diakses pada tanggal 17 Maret 2017.

Prabaningrum, Veranita dan Suci Wulansari. 2008. Upaya Pengendalian Tembakau dalam Pembangunan Kesehatan. Majalah Kedokteran Indonesia 58(1): 20-25.

Mulyana, Asep. 2014. Kerangka HAM Bagi Kebijakan Pengendalian Tembakau. Jurnal Wacana Kinerja 17(2).

Murdiyati, A.S., Djajadi, dan Anik Herwati. Upaya Pembenahan Mutu Tembakau Rakyat. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat Malang: 148-155.

Novotny, T. E., Lum, K., Smith, E., Wang, V., dan Barnes, R. 2009. Cigarettes Butts and the Case for an Environmental Policy on Hazardous Cigarette Waste. International Journal of Environmental Research and Public Health, 6(5), 1691–1705.

Santoso, E., dan Kusumastuti, A. 2008. Pemanfaatan Daun Tembakau untuk Pewarnaan Kain Sutera dengan Mordan Jeruk Nipis. Jurnal Teknobuga 1(1): 15-24.

Santoso, Thomas. 2001. Tata Niaga Tembakau di Madura. Jurnal Management dan Kewirausahaan 3(2): 96-105.

Semba RD, Kalm LM, de Pee S, Ricks MO, Sari M, dan Bloem MW. Paternal Smoking is Associated Increased Risk of Child Malnutrition among Poor Urban Families in Indonesia. Public Health Nutrition Journal 10: 7-15.

Suprapti, Isdiana. 2010. Analisis Ekonomi Regional Komoditas Tembakau di Kabupaten Pamekasan. Jurnal Embryo 7(1): 8-14.

Yuska, Nofri. 2014. Kepentingan Indonesia Tidak Meratifikasi Framework Convention On Tobaco Control (FCTC). Jurnal Universitas Riau 2(1).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun