Pemerintah baik pusat maupun daerah juga perlu melakukan pertemuan dan dialog antara petani, pemerintah, dan perusahaan. Tujuannya agar bisa memiliki satu pemahaman mengenai penentuan harga tembakau dari petani kepada industry. Namun, sebelum memberikan kebijakan ini, Handaka dan Surokim (2014) menganjurkan pemerintah menyiapkan supra struktur yang akan mengontrol praktek kebijakan ini di tingkat lapangan. Terutama ketika petani menjual tembakau ke gudang. Bahkan jika memungkinkan pemerintah bisa meniru konsep bulog untuk menyerap tembakau hasil panen dari petani.Â
Sehingga ketika panen raya harga tembakau tidak akan jatuh dan merugikan petani. Konsep bulog bagi komoditas tembakau dirasa sudah sangat perlu karena selama ini petani terlalu dirugikan oleh pedagang. Dengan adanya konsep seperti ini diharapkan harga menjadi stabil dan terdapat patokan harga tembakau. Sudah saatnya tembakau juga mengenal konsep harga atap dan harga dasar mengingat banyaknya petani yang menggantungkan hidupnya dari komoditas ini.
Dan yang terjadi selama ini di pasar adalah petani tembakau mengalami kebingungan, terutama bagi mereka yang tidak bermitra dengan perusahaan. Selama ini tidak ada ukuran yang tetap dalam menentukan kualitas dan harga tembakau, misalnya bila tembakau dilihat kuning maka harganya mahal. Tapi bila tidak tercium aroma/bau gunung/lahan,maka harga tembakau tersebut menjadi murah. Terlebih tiap perusahaan memiliki kriterianya sendiri, Gudang Garam biasanya menyukai tembakau dengan warna kuning masak, Djarum menyukai yang hijau, dan Sampoerna lebih menyukai tembakau dengan warna biru.
 Tentu hal ini sangat membingungkan petani. Dengan keadaan yang seperti ini maka pemerintah sudah saatnya memiliki standar baku mengenai kualitas tembakau. Standardisasi perlu agar ada ukuran yang pasti mengenai kualitas tembakau. Selama ini penentuan kualitas hanya dilakukan oleh perushaan secara subjektif. Tentu hal ini sangat merugikan petani. Disini pemerintah bisa menyediakan alat ukur kualitas tembakau, sehingga ukuran tersebut menjadi lebih kuantitatif dan obyektif.
Bahkan dalam tulisan Santoso (2001) menjelaskan bahwa dalam jual beli tembakau, mekansime pasar yang umumnya terjadi adalah oligopsoni dimana jumlah penjual jauh lebih banyak dibanding pembeli. Situasi ini memberi keleluasaan bagi pembeli untuk menentukan harga tembakau. Petani, sebagai penjual tidak memiliki daya tawar yang tinggi, sehingga kerap menjadi korban dari harga jual yang rendah. Ketidakberdayaan ini nampak dalam penentuan harga, penentuan kualitas daun tembakau, serta penentuan berat tembakau.
Kebijakan Polutan Industri Tembakau
Rokok menghasilkan limbah puntung rokok yang terbukti memiliki kandungan zat polutan yang bisa mencemari lingkungan terutama air. Setiap tahunnya, limbah puntung rokok diprediksi mencapai 845.000 ton yang mencemari kandungan air tanah, aliran sungai, dan menjadi sampah yang paling banyak mencemari laut (Kementerian Kesehatan, 2015). Dari laporan yang sama, diketahui bahwa konsumsi rokok mencapai 332 miliar batang, yang artinya terdapat jumlah yang sama untuk limbah puntung rokok. Limbah tersebut akan terus bertambah setiap tahun seiring konsumsi rokok yang terus meningkat.
Novotny et. al (2009) bahkan menjelaskan bahwa puntung rokok merupakan sampah yang paling banyak ditemukan Indonesia. Puntung rokok dianggap sangat berbahaya karena mengandung asetat selulosa yang butuh hingga butuh 12 tahun untuk terurai. Terlebih masih banyaknya kandungan bahan kimia yang terkandung di dalamnya mampu mencemari air dan mengganggu kelanjutan ekosistem.
Jika dibiarkan tentu kondisi ini akan berpengaruh pada pencemaran lingkungan di Indonesia terutama kemudahan akses terhadap air bersih. Maka perlu ada kebijakan dari pemerintah dan perusahaan mengenai bagaimana cara memanfaatkan putung rokok. Perusahaan harus dibebankan untuk bisa mengolah dan mendaur ulang putung rokok agar tidak menjadi sampah dan polusi. Dengan begitu, perusahaan memiliki kewajiban tambahan dalam rangka mengolah produk-produk buangan dari industry yang dihasilkannya.
Kebijakan Pengembangan Daerah Produksi
Kedepan pemerintah lewat kementerian terkait, terutama kementerian perindustrian haruslah jelas dalam membuat Peta Jalan Produksi Industri Hasil Tembakau (IHT). Lewat kebijakan ini diharapkan pemerintah sudah mengetahui rencana sasaran, strategi dan kebijakan yang akan diambil. Sehingga pertumbuhan produksi dan usaha bisa tercapai. Termasuk didalamnya rencana jangka panjang dan dampak sosial budaya yang ditimbulkan dari adanya industri tembakau.Â