Kata-katanya begitu bergemuruh dengan wajah serius nan meyakinkan. Hebatnya, Bung Che membuat pasukan monyet termangu-mangu dengan apa yang diceritakan tentang tokoh-tokoh pergerakan pada masa itu.
Sontak mengagetkan ketika ia berdiri dan berteriak dengan sekencang-kencangnya, "Kita harus seperti mereka, yang tetap menafikan cara kerja Kapitalisme, Oligarki dan Korporasi tanpa takut untuk mati. Sumpah Rakyat Indonesia!"
Che mulai memimpin pasukan monyet. Mengintruksi mereka untuk berdiri tegak sembari tangan kiri menjulang ke atas sebagai bentuk perlawanan. Sekaligus diiringi dengan ritus, ciri khas anak pergerakan.
"Sumpah Rakyat Indonesia," ia menggebu-gebu dengan wajah yang khas.
"Kami Rakyat Indonesia Bersumpah."
"Bertanah Air Satu, Tanah Air Tanpa Penindasan," yang lain serempak mengikuti dengan badan yang menggigil.
Pagi itu semuanya terpesona dan berapi-api. Seolah-olah larut bersama dalam ketertindasan itu sendiri. Kulihat doktrin murahan mulai berhamburan tepat di balik ubun-ubun pasukan monyet. Ibarat Hitler dengan keberhasilannya, yang mampu menyihir pasukan untuk berjiwa Nasionalisme Extrem (Fasis). Semuanya begitu tuntas, dan tak ada secuil pun yang benar-benar silang pendapat! Akupun begitu kagum dengan idealisnya. Mungkin akan aku jadikan sosok panutan kedua, setelah Haji Merah.
***
Namanya Kasman. Memang terkesan kolot, tetapi entah kenapa ia bisa disapa dengan Bung Che. Aku juga begitu bingung. Tetapi setelah ditilik dari beberapa cerita kerabatnya, ternyata ia fanatik berat sama tokoh revolusi Kuba, Che Guevara. Mungkin sosok itulah yang membuatnya begitu terinspirasi. Konon katanya, ia memiliki kamar rahasia yang tak bisa disinggahi oleh sembarang orang. Di sana terdapat beberapa buku illegal dan dokumen khusus, yang didapatkanya dari kerabat Belanda, berhaluan Marxis. Dan ada juga foto-foto tokoh kenamaan pergerakan yang terpampang jelas pada bilik kamarnya, seperti: Soekarno, Che Guevara, Imam Ali khomanei, Lenin dan beberapa tokoh lainya.
Bung Che juga pernah terlibat dalam beberapa peristiwa besar. Yang membuat namanya begitu kesohor sampai ke telinga masyarakat awam. Seorang temanku pernah berkata lirih sewaktu kami bersua di pelataran rumahnya.
"Din, kau tau tidak? Perihal senior kita itu."
"Siapa?" aku menyahut dengan wajah penuh cemas.
"Bung Che," sontak hawa mulai tak biasa ketika ia mulai berbicara mengenai sosok yang satu ini. Akupun mendorong pantatku, sembari mendekap secara perlahan-lahan.
"Dia kenapa? kataku bisik.
"Dulu aku pernah mendengar, jika ia berulang-ulang kali menyeruput kopi bersama narapidana di dalam sel tahanan. Lebih parahnya lagi, ia memilih para tahanan yang sudah bebas untuk menjadi tameng ketika ia sedang berorasi. Ia juga memiliki kecerdasan diatas rata-rata mahasiswa di kampusnya. Saking tajamnya, ia pernah diajak debat dengan Gubernur tepat di ruang kerjanya."
"Lalu, gimana hasilnya?" aku bertanya dengan rasa penasaran membabi-buta.
"Ya. Kau pasti tahu hasilnya. Ia berhasil membuat Gubernur itu pusing tujuh keliling. Wajahnya pucat bak terkena cat putih. Ia malu setelah berduel dengan Che. Ia betul-betul melegenda setelah kejadian itu. Sampai sejauh ini, aku belum menemukan manusia seperti dia. Ia bak seekor singa, yang haus dengan darah para koruptor."
***
Pagi itu semuanya terkesan hambar. Kulihat sosok gagah berani itu seolah kehilangan dirinya. Ia diam tanpa sepata kata. Raut wajahnya begitu dingin. Hanya matanya yang berkeluh kesah. Menandakan ia memang betul-betul dilanda masalah yang cukup akut. Pikirku, bahaya jadinya jika seorang aktivis yang tersohor itu ditumbangkan oleh pikirannya sendiri.
Kendatipun semua yang terjadi pagi itu. Pasukan monyet masih asik menerima nasihat dari para sesepuh organisasi. Mereka, tak kenal ampun. Semua yang sudah terdengar sempurna, tetap akan menjadi keliru bagi mereka. Cercaan pun senang melayang-layang. Kata mereka, sebagai pelajaran hidup. Biar bisa sama-sama merasakan apa yang dirasakan kaum Muhstad`afin.
"Din," Bung che seketika menyapa disaat diri ini sedang asik-asiknya melamun.
"Siap senior. Ada yang perlu dibantu?"
"Buatkan kopi untuk kita berdua," sontak rasa gundahku mulai menjadi-jadi. Seluruh syarafku mulai tak karuan, hampir putus rasanya.
"Tamatlah riwayatku. Kesalahan apalagi yang kuperbuat," sembari berjalan penuh bisik, menuju perkemahan. Kulihat-lihat kopi sudah diujung pantat. Gula pun sudah ludes, untuk sesepuh tadi.
"Tak ada gula?" katanya dari kejauhan.
"Iya bang," akupun mengangguk.
"Yaudah. Sini kopinya," ia berkata lirih sambil mempersilahkan diriku untuk duduk.
***
Keadaan begitu sunyi. Hanya suara nyanyian dari mulut para pasukan monyet di persimpangan kiri jalan. Kini lagu Buruh Tani mulai menggema penuh langit-langit siang itu. Spirit perjuangan mulai tergugah dalam benak mereka. Aku begitu yakin, jikalau mereka seolah-olah begitu menghayati lagu ciptaan V.A Safii itu.
"Hidup memang begitu. Ada hal yang mesti dibicarakan baik-baik. Ada hal lain yang mesti dikasarin. Ibarat besi, yang mesti dibengkokan oleh api," Che membuka pembicaraannya dengan kata-kata mutiara, bak Mario Teguh.
"Tak ada yang gampang dalam memahami realitas. Buku-buku beserta teorinya boleh menujukan kepada kita untuk bisa hidup biasa-biasa saja, tanpa beban dan air mata. Tetapi semuanya belum tentu dipakai untuk semua keadaan. Bahkan, keadaan juga mampu membuat kita menjadi pembunuh, jikalau hati kita benar-benar sudah tak berpihak kepada kemanusiaan," ia melanjutkan dengan penuh kepercayaan.
Akupun hanya mengangguk seperti biasanya. Ia benar-benar idealis dan penuh percaya diri. Adakah seseorang yang terkenal dimana-mana ini, pernah merasakan cinta? Mungkin aku akan menjadi orang pertama yang menikmati alur kisah cintanya.
"Che, apakah seorang pergerakan berhak mencintai dan dicintai?" aku bertanya dengan spontan tanpa berpaling pandanya. Dirinya pun nyinyir dengan pertanyaanku. Apakah ada yang salah dengan pertanyan ini? Apakah cinta begitu tabu dalam kepalamu?
Kini terlihat dari kejauhan mulai menghampiri kita. Nafasnya terengah-engah bak dikejar-kejar setan. Mungkin ada sesuatu yang begitu penting yang mau ia katakan. Dan benar. Ia betul-betul datang dengan membawa kabar duka.
"Hormat Che. Melisa sudah meninggal. Kini ia sedang dilarikan ke rumah sakit Siloam," ujar sahabatnya tampak begitu sayu.
Che hendak terbangun dan bergegas menuju kesana. Tak ada ucapan salam yang mesti dilontarkan kepadaku, yang menemaninya beberapa menit yang lalu. Ia begitu khawatir, setelah kulihat dari raut wajahnya. Kini, baru aku sadar. Jika melisa adalah sosok perempuan yang membuat Che terlunta-lunta.
Meski begitu Che bukanlah sosok yang kuat dalam menghadapi setiap masalah yang berbeda-beda. Ia juga pecinta. Ia sama sepertiku, manusia. Dia memiliki jiwa. Kapan saja ia bisa merasakan lelah dan terluka. Yang membedakan kita, hanyalah nilai. Selebih dari itu, semuanya sama saja. Aku harap, semoga Melisa baik-baik saja. Dan Che, bisa seperti Che Guevara dalam perjuangannya memanusiakan manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H