"Siapa?" aku menyahut dengan wajah penuh cemas.
"Bung Che," sontak hawa mulai tak biasa ketika ia mulai berbicara mengenai sosok yang satu ini. Akupun mendorong pantatku, sembari mendekap secara perlahan-lahan.
"Dia kenapa? kataku bisik.
"Dulu aku pernah mendengar, jika ia berulang-ulang kali menyeruput kopi bersama narapidana di dalam sel tahanan. Lebih parahnya lagi, ia memilih para tahanan yang sudah bebas untuk menjadi tameng ketika ia sedang berorasi. Ia juga memiliki kecerdasan diatas rata-rata mahasiswa di kampusnya. Saking tajamnya, ia pernah diajak debat dengan Gubernur tepat di ruang kerjanya."
"Lalu, gimana hasilnya?" aku bertanya dengan rasa penasaran membabi-buta.
"Ya. Kau pasti tahu hasilnya. Ia berhasil membuat Gubernur itu pusing tujuh keliling. Wajahnya pucat bak terkena cat putih. Ia malu setelah berduel dengan Che. Ia betul-betul melegenda setelah kejadian itu. Sampai sejauh ini, aku belum menemukan manusia seperti dia. Ia bak seekor singa, yang haus dengan darah para koruptor."
***
Pagi itu semuanya terkesan hambar. Kulihat sosok gagah berani itu seolah kehilangan dirinya. Ia diam tanpa sepata kata. Raut wajahnya begitu dingin. Hanya matanya yang berkeluh kesah. Menandakan ia memang betul-betul dilanda masalah yang cukup akut. Pikirku, bahaya jadinya jika seorang aktivis yang tersohor itu ditumbangkan oleh pikirannya sendiri.
Kendatipun semua yang terjadi pagi itu. Pasukan monyet masih asik menerima nasihat dari para sesepuh organisasi. Mereka, tak kenal ampun. Semua yang sudah terdengar sempurna, tetap akan menjadi keliru bagi mereka. Cercaan pun senang melayang-layang. Kata mereka, sebagai pelajaran hidup. Biar bisa sama-sama merasakan apa yang dirasakan kaum Muhstad`afin.
"Din," Bung che seketika menyapa disaat diri ini sedang asik-asiknya melamun.
"Siap senior. Ada yang perlu dibantu?"