"Buatkan kopi untuk kita berdua," sontak rasa gundahku mulai menjadi-jadi. Seluruh syarafku mulai tak karuan, hampir putus rasanya.
"Tamatlah riwayatku. Kesalahan apalagi yang kuperbuat," sembari berjalan penuh bisik, menuju perkemahan. Kulihat-lihat kopi sudah diujung pantat. Gula pun sudah ludes, untuk sesepuh tadi.
"Tak ada gula?" katanya dari kejauhan.
"Iya bang," akupun mengangguk.
"Yaudah. Sini kopinya," ia berkata lirih sambil mempersilahkan diriku untuk duduk.
***
Keadaan begitu sunyi. Hanya suara nyanyian dari mulut para pasukan monyet di persimpangan kiri jalan. Kini lagu Buruh Tani mulai menggema penuh langit-langit siang itu. Spirit perjuangan mulai tergugah dalam benak mereka. Aku begitu yakin, jikalau mereka seolah-olah begitu menghayati lagu ciptaan V.A Safii itu.
"Hidup memang begitu. Ada hal yang mesti dibicarakan baik-baik. Ada hal lain yang mesti dikasarin. Ibarat besi, yang mesti dibengkokan oleh api," Che membuka pembicaraannya dengan kata-kata mutiara, bak Mario Teguh.
"Tak ada yang gampang dalam memahami realitas. Buku-buku beserta teorinya boleh menujukan kepada kita untuk bisa hidup biasa-biasa saja, tanpa beban dan air mata. Tetapi semuanya belum tentu dipakai untuk semua keadaan. Bahkan, keadaan juga mampu membuat kita menjadi pembunuh, jikalau hati kita benar-benar sudah tak berpihak kepada kemanusiaan," ia melanjutkan dengan penuh kepercayaan.
Akupun hanya mengangguk seperti biasanya. Ia benar-benar idealis dan penuh percaya diri. Adakah seseorang yang terkenal dimana-mana ini, pernah merasakan cinta? Mungkin aku akan menjadi orang pertama yang menikmati alur kisah cintanya.
"Che, apakah seorang pergerakan berhak mencintai dan dicintai?" aku bertanya dengan spontan tanpa berpaling pandanya. Dirinya pun nyinyir dengan pertanyaanku. Apakah ada yang salah dengan pertanyan ini? Apakah cinta begitu tabu dalam kepalamu?