Mohon tunggu...
Kompasianer Lombok
Kompasianer Lombok Mohon Tunggu... Penulis - Komunitas Kompasianer Lombok

Komunitas dari Kompasianer Lombok - KOLOM | Reaktivasi 30 Maret 2022, sekaligus sebagai tanggal ulang tahun | Join WAG KOLOM; bit.ly/LiveIGKOLOM | IG KOLOM; https://instagram.com/kolom_kompasianerlombok

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jangan Tinggalkan Matahari dan Senja saat Belajar di Chili House

4 Oktober 2022   13:56 Diperbarui: 4 Oktober 2022   14:01 1038
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Admin KOLOM - Muslifa dan Ain Hussin, menyampaikan tiga buku yang dikirimkan penerbit Leutika Pro Jogja, hadiah acara Vlo-May. Dokpri

"Adik namanya siapa?"

"Ayiiii....," lirih namun terdengar jelas, anak perempuan yang belum genap tiga tahun menjawab.

"Namanya Matahari, mbak!" Seorang ibu muda, menimpali dan menegaskan nama lengkap putrinya.

Di kejauhan, seorang ibu muda lain bertukar cakap. Mereka sedang ingin mendaftarkan dua putrinya, masuk, menambah panjang hampir seratusan anak-anak yang belajar di Chili House CH), Gili Trawangan.

Gili Trawangan, Lombok. Senin kemarin, jelang pukul 9 pagi, deretan sepeda yang parkir di halaman Villa Kayla bertambah banyak. Sebidang tanah tak lebih dari 6 are atau 600 meter persegi. Benar-benar persegi dengan pintu masuk utama di sisi timur. Dua bangunan permanen berada di sisi kanan gerbang dan sisi barat daya. Dua ruangan terbuka berada di arah bersebelahan.

Tak lama, tampak seorang ayah. Bule. Ia menggendong seorang anak perempuan. Baju bertali corak garis biru terang, membuat Senja tampak semakin menggemaskan. Senja satu dari sekitar 10 anak berumur sebaya. Siswa dari kelas T2. Saya yang sedang duduk di salah satu bangku di bawah 'Pohon Curhat', mendadak dihampiri seorang anak lelaki.

Rain, riang diajak wefie. Rain bilang, ia mau berikan es krim pada saya. Dokpri
Rain, riang diajak wefie. Rain bilang, ia mau berikan es krim pada saya. Dokpri

"Hai halo...Bla bla bla...."

Saya hanya mampu memahami salam singkatnya. Deretan kata setelahnya tak jelas. Tak urung, dua tangan kecilnya tetap merangkul leher saya. Segera saya peluk dan ia tak keberatan saya angkat, sembari beranjak mendekati ibunya. 

"Namanya Rain. Ia memang mudah dan cepat ramah pada orang asing," pembuka sederhana dengan Mely, ibu Rain, yang juga bersegera mengantarkan anaknya mulai 'sekolah'.

Chili House. Nama yang dipilih Ain Hussin, juga disematkan pada nama Yayasan yang ia urus belakangan. Saya pribadi dan beberapa teman, turut menghadiri launching pertamanya di Juni 2021 dulu. Waktu itu, belum terpikir untuk mengaktifkan kegiatan KOLOM. 

Chili House Menghadirkan Pendidikan Alternatif di Gili Trawangan Lombok

Di Juni 2021, aktivitas utama CH masih sederhana. Meski saat itu 'peserta didik'nya justru beragam. Selain anak-anak usia sekolah, ada pula satu ruang khusus bernama Mari House, dimana ibu-ibu mengolah beraneka bahan-bahan yang bisa dikreasikan dan digunakan ulang, sehingga bisa mengurangi penggunaan bahan tertentu di kehidupan keseharian. Recycle, Reuse and Reduce.

Di tahun ini, Senin sampai Jumat, pembelajar CH meramaikan Villa Kayla dari pukul 9 pagi sampai 5 sore. Yang saya ikuti langsung, 4 kelas utama untuk anak-anak pra sekolah dasar. Mulai dari 2 tahun seperti Senja, Matahari, Rain dan teman-temannya. Usia lebih besar, ada Kayla, Dila dan Samuel, peranakan pernikahan antar negara, dari ibunya yang Austria dan ayahnya yang warga Gili Trawangan.

Yayasan Chili House Community kini eksis di empat tempat berbeda. Ain Hussin dan timnya saat ini menetap di Gili Trawangan. CH lainnya berada di Gili Air, kota Mataram dan Tabanan, Bali. Aktivitas rutin bisa ditemui di dua akun sosmed utama, yakni di platform Instagram dan Facebok.

Senin keberuntungan saya. Di sela aktivitas belajar di empat ruang utama, bertemu langsung dengan dua ibu muda yang mengantarkan anak perempuannya masing-masing untuk belajar di CH.

Matahari (dengan tas selempang kesayangannya), Alea (bertopi), tampak punggung -- putra saya. Dokpri
Matahari (dengan tas selempang kesayangannya), Alea (bertopi), tampak punggung -- putra saya. Dokpri

"Saya dianjurkan banyak orang, mereka bilang belajar di sini itu menyenangkan buat anak-anak," jelas salah seorangnya, ketika saya tanyakan mengapa mendaftarkan anak-anak mereka di CH.

Pernyataan senada dari Mely, ibu Rain.Mely dan suaminya sama-sama bekerja. Mely yang saat ini sedang bekerja di Santorini Beach Resort, jadi punya waktu ekstra sekitar tiga jam, Senin sampai Jumat, selama Rain berada di CH.

"Dalam tiga jam lebih tersebut, saya bisa menyelesaikan pekerjaan rumah. Rain pun tetap bisa bermain, bahkan sembari belajar. Sebelumnya, saya pikir saya harus membayar untuk pendidikan sebagus ini. Tapi bu Ain juga berulang kali menegaskan, tak perlu membayar apapun. Padahal, empat kelas yang ada di CH, memerlukan banyak bantuan bahan ajar," urai panjang Mely.

Tolong kabari saya, jika ibu sudah menayangkan artikelnya. Mely, ibunya Rain. Dokpri
Tolong kabari saya, jika ibu sudah menayangkan artikelnya. Mely, ibunya Rain. Dokpri

Ibu berikutnya, Sani, warga Austria yang menikah dengan warga Gili Trawangan. Samuel, putra sulungnya, akan merayakan ulang tahun ke-7nya di CH. Samuel juga siswa, juga dua adiknya yang lain. 

"Apa yang bu Ain lakukan adalah fakta. Ia dan tim volunteernya, bersungguh-sungguh mengembangkan konsep pembelajaran yang menyenangkan untuk anak-anak. Saya adalah saksi hidup, bagaimana Villa Kayla yang tadinya seadanya, sekarang telah memiliki semakin banyak ruang belajar, juga program-program yang diutamakan untuk siswa-siswanya sendiri," jelas Sany. 

Sany sedang belajar bahasa Indonesia dan bahkan Sasak a la Gili Trawangan. Saat kami berbincang, ia mengisahkan dua tahun pengalamannya bersama CH dalam bahasa Inggris. Sesekali, saya melihat langsung ia mempraktekkan beberapa kata atau kalimat pendek bahasa Sasak atau Indonesia, ketika berinteraksi dengan keluarga kecilnya.

Kembali ngobrol di Pohon Curhat, kali ini bersama Sany. Dokpri
Kembali ngobrol di Pohon Curhat, kali ini bersama Sany. Dokpri

"Saya hanya ibu rumah tangga biasa. Tapi, saya mempercayai apa yang ingin dicapai bu Ain melalui Chili House. Pasti juga menyetujui, bahwa pendidikan adalah bekal terbaik anak-anak, juga masa-masa bermain yang menyenangkan," tambah Sany bersemangat.

Kebanggaan Sany rajin ia bagikan di sosmed miliknya. Sembari mengabarkan ke kerabatnya di Austria juga jejaring pertemanan lainnya, ada sekolah bernama Chili House, di Gili Trawangan, di Lombok.

Pengajar Yang Tegas, Suasana Kelas Yang Menyenangkan

Selama tiga jam lebih, sejak 9 pagi sampai sekitar pukul 1 siang, total ada 4 orang anak yang tantrum di sela aktivitas belajar. Mereka berempat di'takluk'kan Ain dan segera setelah tangis mereka reda, keempatnya pun langsung turut belajar dan bermain. 

Sekolah negeri di Gili Trawangan. Sebagian siswanya, adalah juga siswa di Chili House. Ain Hussin, bersedia saya foto di depan sekolah. Dokpri
Sekolah negeri di Gili Trawangan. Sebagian siswanya, adalah juga siswa di Chili House. Ain Hussin, bersedia saya foto di depan sekolah. Dokpri

Tak hanya Chili House, kami juga berkomitmen mendukung proses pendidikan bagi anak-anak sekolah di Gili Trawangan. Sebelumnya, para guru baru hadir di sekolah pukul 10 pagi. Kini, boat dari tim Chili House, mengantar jemput mereka dan memastikan mereka sudah bisa hadir di sekolah di jam 7 pagi. Ain Hussin

Dila, gadis kecil tiga tahun, menjerit ketika lepas dari pelukan ayahnya. Namun tak lama, ia sudah turut duduk manis di kelasnya. Adapula Nino, cowok kecil dua tahun. Ia sempat harus berdiri sekitar 10 menit, melakukan pernafasan in dan out, sebelum kemudian isaknya reda dan duduk belajar bareng. Ia sekelas bersama Senja. Alea, yang baru saja didaftarkan bersama karibnya, Matahari, sampai tertidur di sofa. Rasa pedenya saat baru datang dan masih bersama ibu, tampaknya belum berhasil ia kuasai ketika harus terpisah bersama ibunya.

"Sejak CH berdiri, memang hanya bu Ain yang mampu meredakan tantrum anak-anak, mbak. Tak ada anak yang tak segera diam. Memang terlihat keras, namun ketegasan itu memang dibutuhkan anak-anak. Segera mereka akan lebih sibuk bermain sambil belajar, dibandingkan melanjutkan tangisan mereka," ibu Kayla, siswa yang lebih tua, menjelaskan sembari menggendong Bian. Putranya yang masih berusia beberapa bulan. 

Sesal Meninggalkan Matahari dan Senja di Chili House

Sayang, saya harus segera kembali ke Lombok Timur. Trip tiga hari dua malam di Gili Trawangan untuk satu kontrak menulis, saya sempatkan mengajak putra saya yang baru saja selesai PTS - Penilaian Tengah Semester. Tak ada libur. Saya terpaksa harus pulang, karena Selasa ini ia harus masuk sekolah kembali.

Ain Hussin, founder CH menyayangkan kepulangan saya. "Lepas tengah hari, giliran siswa-siswa yang juga bersekolah negeri belajar di CH. Seharusnya Bu Mus juga melihat mereka dulu.."

One by one tutor, di ruang Private Home Schooling. Yang ini, Kelas Baca. Dokpri
One by one tutor, di ruang Private Home Schooling. Yang ini, Kelas Baca. Dokpri

Duh, benar Ain. Sungguh sayang sekali. Masih banyak anak-anak CH yang belum saya hapal namanya. Masih di jelang tengah hari pula, Isabelle, gadis tanggung berumur 10 tahun tapi sudah setinggi saya yang 160an cm, sedang mulai ikut aktif sebagai relawan pengajar. Isabelle akan membantu tujuh relawan permanen yang aktif mengampu rutinitas belajar harian di CH.

Rutinitas belajar di CH saat ini, secara umum dibedakan sesuai ruang belajarnya, yakni;

Pertama, Ruang Montessory. Jeje dan Tania, dari Jawa Tengah, dua dari 7  volunteer permanen. Khusus Jeje, ia menandatangani kontrak dari September sampai November nanti. Jeje juga yang mengajak beberapa teman lainnya. Seperti Aufa yang dari Salatiga, dan beberapa gadis lain, yang sebenarnya sudah diperkenalkan tapi saya lupa mencatat baik nama mereka.

Kedua, Ruangan les Matematika dan Bahasa Inggris. Di kelas pagi dan siang, ruangan ini dipergunakan bergiliran. Pengaturan jam belajar dijaga tepat waktu oleh Ain. Tak ada yang boleh terlambat. 

Ketiga, Ruangan Playgroup. Persis seperti namanya, ruangan ini membebaskan anak-anak bermain dengan barang-barang yang mereka sukai, namun tetap belajar untuk mengembalikan barang jika sudah selesai digunakan. Senja, misalnya. Ia sangat suka mengambil dan memasukkan kembali kumpulan buku bacaan bergambar. Sesekali ia memanjat, ingin meraih buku lain di rak yang lebih tinggi.

Anak-anak berbaris rapi, bersiap mengikuti kelas selanjutnya. Tampak juga beberapa volunteer pengajar. Dokpri
Anak-anak berbaris rapi, bersiap mengikuti kelas selanjutnya. Tampak juga beberapa volunteer pengajar. Dokpri

Keempat, Ruangan Private Lesson Home Schooling. Di Senin kemarin, beberapa anak saya lihat langsung mendapatkan kelas membaca, one by one tutor. 

Kelima, Kantin. Kantin menjadi area khusus untuk makan bersama, belajar berwirausaha melalui perdagangan sederhana dan juga pembelajaran untuk memasak bersama.

Keenam, Play Area. Halaman persegi, dengan Pohon Curhat persis di tengah. Juga sebidang tanah di antara bangunan fisik di sisi kanan Villa Kayla. Ulang tahun Samuel, diadakan di petak ini. Lain waktu, lagi-lagi Rain, meraih dua tangan saya. Berdua kami memasukkan bola merah, ke basket kecil yang terpasang di sisi tembok di petak bermain ini.

Screen time. Dibatasi maksimal 30 menit saja. Persis di samping ruangan ini, petak halaman untuk Play Group. Dokpri
Screen time. Dibatasi maksimal 30 menit saja. Persis di samping ruangan ini, petak halaman untuk Play Group. Dokpri

Sebenarnya, bertepatan dengan kunjungan saya kemarin, ada pula Yayasan Sahabat Hebat Indonesia. Perwakilan yayasan ini, Baba, sedang mengerjakan proyek tanaman hidroponik di lantai atas bangunan fisik CH di sisi barat daya. Namun, Baba sungguh sedang sibuk. Jadi tak banyak yang bisa saya diskusikan bersamanya.

CH sendiri, di setengah tahun terakhir ini, mulai kerap menerima kunjungan media nasional. Di minggu ini saja, akan menerima tim Metro TV. Tentu untuk mewartakan, pendidikan alternatif di destinasi wisata internasional seperti Gili Trawangan, berhak eksis. Utamanya, karena pendidikan yang mereka dapatkan sekarang, adalah bekal bagi generasi selanjutnya dari Gili Trawangan sendiri.

Sepeda, alat transportasi utama di Gili Trawangan Lombok. Dokpri
Sepeda, alat transportasi utama di Gili Trawangan Lombok. Dokpri

Cidomo - Cikar, Dokar, Montor. Alat transportasi utama lainnya. Di tiga gili, tak ada kendaraan bermotor. Dokpri
Cidomo - Cikar, Dokar, Montor. Alat transportasi utama lainnya. Di tiga gili, tak ada kendaraan bermotor. Dokpri

Jadi, jika sekali waktu Anda-lah yang sedang berkunjung ke CH, pastikan mengikuti pembelajaran seminggu penuh. Atau setidaknya sehari saja. Agar Anda pun melihat sendiri, Matahari dan Senja, sebagian dari anak-anak yang beruntung. Bisa dan diantarkan langsung oleh orang tua mereka, memburu ilmu, semoga nanti membantu mereka menjadi pribadi-pribadi terbaik versi mereka masing-masing.

Jangan seperti saya. Meninggalkan Matahari dan Senja, tak sempat mengucapkan salam berpisah. Di sela waktu mereka, bermain dan belajar di Chili House, Gili Trawangan.

*Selong, 4 Oktober 2022 - Peliput dan Penulis, Admin Muslifa Aseani

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun