Bagaimana rasanya ketika kita bisa menyuarakan keresahan dengan memaksimalkan platform yang kita punya, lalu bisa menginspirasi orang lain? Apakah kamu pernah melakukan aksi [yang terlihat] kecil tapi berdampak besar?Â
Itulah yang sedang dilakukan Kompasianer Tutut Setyorinie. Lewat mengompos di rumah dan membagikan kisahnya di Kompasiana, Tutut mengingatkan kita semua akan pentingnya menjaga bumi tetap lestari dari ancaman sampah saat ini.Â
Berawal dari Keresahan
Semua dicetuskan secara otodidak dan mandiri. Dari rumah. Berbekal kepedulian dan keresahan sebagai seorang warga. Â
"Awalnya saya mengira slogan 'Buanglah Sampah pada Tempatnya' sudah cukup untuk mengatasi permasalahan sampah di Indonesia. Namun faktanya, tempat pembuangan sampah kini pun sudah kewalahan," kata Tutut kepada Kompasiana, belum lama ini.Â
Tahun 2024 menjadi langkah kecil Tutut untuk konsisten memulai aksinya. Sebagai warga Bekasi, Jawa Barat, Tutut khawatir timbulan sampah di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang semakin tidak terkendali.Â
"Tinggi TPST Bantar Gebang makin ke sini sudah setara dengan gedung 16 lantai alias 40 meter, khawatir nggak, sih?" ucap Tutut.
Makanya saya harus melakukan sesuatu yang bisa menyelamatkan lingkungan daerah saya sendiri dulu, yaitu lewat mengompos. - Tutut Setyorinie
Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), timbulan sampah di Indonesia pada tahun 2023 sebesar 69,9 juta ton. Berdasarkan komposisinya, sampah di Indonesia didominasi oleh sampah sisa makanan sebesar 41,60% dan sampah plastik sebesar 18,71%. Sampah terbanyak berasal dari Rumah Tangga dengan persentase sekitar 44,37%.
Selengkapnya, bisa kamu baca di sini:
Kita Perlu Naik Level, dari Membuang Sampah Jadi Kelola Sampah
Dengan hadirnya data ini, Tutut tidak ingin menjadi salah satu penyumbang sampah dapur. Setidaknya, lewat mengompos, Tutut bisa meminimalisasi jumlah sampah organik yang diangkut setiap hari dari rumahnya. Karena Idealnya, sampah organik seperti sampah rumah tangga bisa dikelola dengan baik oleh masing-masing rumah tangga, bukan berakhir di tempat sampah, apalagi di TPA atau TPST.Â
Sebelum mengompos, Tutut dan keluarga bisa menghasilkan hingga tiga kantong sampah per hari dan membuangnya di tong sampah depan rumah. Dengan rutin membayar iuran sampah setiap pekannya, akan ada petugas yang membawa sampah ke TPST Bantargebang.Â
"Dua kantong sampah yang kita hasilkan setiap hari, kalau dikumpulin setahun atau 365 hari, terus dikali lagi sama berapa tahun masa hidup kita. Udah berapa coba, hanya dari satu rumah tangga saja? Berapa banyak sampah yang kita sumbang ke TPA dan TPST?" kata Tutut.Â
Oke. Mulai Mantap Mengompos!
Meskipun belajar secara mandiri, otodidak, dan belum ikut komunitas, itu semua tak menyurutkan niat Tutut untuk mantap mengompos. Tutut mengumpulkan sampah organik seperti sampah dapur alias sampah hijau, mencari  dedaunan, ranting, kertas, kardus, serpihan kayu, dan rumput kering alias sampah coklat, menyulap wadah bekas seperti ember dan drum sampah menjadi komposter, dan menyimpan air cucian beras sebagai bioaktivator.Â
"Sebetulnya hal paling utama yang kamu perlukan adalah niat, kesabaran, dan konsistensi, karena tiga hal itu sangat challenging," kata Tutut.Â
Dukungan dari keluarga juga sangat membantu Tutut untuk konsisten dalam mengompos. Awal mengompos, Tutut dan keluarga berbagi tugas dan bekerja sama.Â
"Ibu saya memisahkan sampah, saya mencacah sampah, adik saya mengaduk isi kompos, ayah saya mengangkut kompos yang siap panen," ucapnya.Â
Tutut mengaku, konsistensi untuk mengompos memang bukan perkara mudah, apalagi untuk pemula. Sebelum berangkat kerja misalnya, Tutut perlu ikut menyetor sampah di pagi hari untuk dikumpulkan hingga mengaduk kompos setiap minggunya. Tutut juga harus bisa membagi waktu antara pekerjaan rumah, pekerjaan di kantor, kehidupan pribadi, dan tentunya mengompos.
Dibutuhkan proses hingga 40 hari untuk membuat kompos menjadi ideal, mulai dari mengumpulkan sampah, mencampurkan material sampah hijau dan coklat, hingga menunggu proses penguraian selesai. Semua komposisi bahan mesti seimbang dan rutin diaduk agar proses pengomposan bisa berjalan lebih cepat.Â
"Mengompos mengajarkan kita untuk kembali menghargai proses bahwa tidak ada sesuatu yang instan," ungkap Tutut.Â
Tantangan Mengompos bagi si Pemula: "Bau dan Jijik!"
Saat awal-awal mengompos dan membagikan aktivitasnya di media sosial, teman-teman Tutut penasaran. Dengan mengumpulkan sampah dapur setiap harinya, apakah Tutut tidak merasa jijik? Bukankah sampah dapur baunya sangat menyengat jika tidak dibuang sesegera mungkin?
"Mengompos identik dengan sampah. Hal ini yang membuat kompos rentan bau menyengat dan hewan kecil menjijikan tidak bisa bisa hingga," ucap Tutut.
Tapi, kata Tutut, dari situ ia belajar bahwa kompos yang baik dan bernutrisi seharusnya memang tidak berbau menyengat atau dihinggapi serangga. Bau busuk atau menyengat dari sampah dapur biasanya disebabkan karena sampahnya terlalu basah. Itu semua bisa disiasati dengan menambah material sampah kering atau sampah coklat dan menambah bioaktivator secara rutin untuk menyerap bau.Â
Satu hal yang saya petik dari mengompos adalah 'tidak ada kompos yang gagal. -Tutut Setyorinie
Kalau komposmu bau busuk dan terlalu basah, segera jemur di bawah sinar matahari dan tambahkan material kering. Jika komposmu dipenuhi belatung, lalat, semut, dan cacing, itu pertanda sampah dapur yang kamu kumpulkan mengandung lemak atau material hewani seperti keju, susu, tulang ayam dan tulang ikan.Â
Tapi, bukan berarti komposmu gagal.Â
"Belatung dan cacing bisa mempercepat proses dekomposisi kompos dan membuat komposmu cepat jadi. Tapi kalau kamu terganggu dengan kehadiran mereka, kamu bisa menambahkan material coklat atau sampah keringnya," kata Tutut.Â
Ketika kompos sudah jadi dan siap pakai, Tutut langsung mengaplikasikan kompos buatannya untuk pupuk. Hasilnya? Tanaman di pekarangan rumahnya tumbuh subur. Bahkan, jika aktivitas mengompos bisa dilakukan jangka panjang, Tutut terbesit untuk menjual hasil komposnya agar ekonomi sirkular bisa tercipta.Â
"Kalau saja kita mengompos semua sampah organik, lalu memilah sampah anorganik untuk dikumpulkan ke pengepul, alhasil sampah yang kita setor ke TPA bisa berkurang atau bahkan nol!," ucap Tutut.Â
Berbagi lewat Tulisan
Yang membuat istimewa, aksi ini tidak Tutut simpan sendiri. Sebagai Kompasianer, Tutut membagikan cerita, keresahan, dan aktivitas mengomposnya di Kompasiana. Tutut mengedukasi sesama Kompasianer untuk ikut terlibat menjaga lingkungan, dimulai dari rumah sendiri.
Lewat tulisan, Tutut merasa bisa merangkum pengalaman mengomposnya secara komprehensif. Jadi, ketika ada yang ingin mulai mengompos atau bertukar informasi soal kompos, Tutut berharap bisa menjawabnya lewat tulisan yang ia bagikan.Â
Harapan lainnya tentu agar cerita mengompos ini dapat menjangkau khalayak yang lebih luas dan menjadi amal jariyah saya untuk di akhirat. -Tutut Setyorinie
Kesabaran dan konsistensi Tutut pun berbuah manis. Siapa sangka, langkah kecil yang berawal dari keresahan pribadi, bisa mengantarkan Tutut untuk meraih penghargaan The Game Changer di Kompasiana Awards 2024. Penghargaan ini diberikan kepada Kompasianer yang aktif menyuarakan dan turut terlibat dalam mendukung kehidupan yang lebih lestari.Â
Tulisan dan cerita Tutut menginspirasi kita semua agar jangan pernah ragu melakukan aksi sekecil apa pun--toh, bisa saja gerakan kecilmu berdampak besar untuk dirimu sendiri dan untuk orang-orang di sekitarmu, bahkan untuk lingkungan. Jika setiap keluarga tergerak untuk mengompos atau mengelola sampah, ditambah keterlibatan pemerintah dalam menyediakan fasilitas, pastinya beban TPST atau TPA akan berkurang.Â
Game Changer: #BumiButuhKompos
Game Changer adalah program baru di Kompasiana yang mendukung kehidupan Lestari melalui isu sustainability. Lewat program ini, Kompasiana mendukung perubahan nyata untuk Indonesia dengan mengedepankan aksi kolaboratif.
Setelah berkolaborasi dengan Kompasianer Dayu Rifanto dan berbagai komunitas untuk mewujudkan #SemuaBisaBelajar, Game Changer kembali hadir lewat gerakan #BumiButuhKompos. Kali ini, Kompasiana berkolaborasi dengan Tutut Setyorinie untuk mewujudkan aksi kolektif bersama Kompasianer dan komunitas untuk menjaga bumi lewat mengompos dari rumah.Â
Mau coba mengompos? Mau selamatkan lingkungan seperti Tutut? Yuk, ikuti terus cerita Tutut Setyorinie dan ramaikan #BumiButuhKompos di Kompasiana, ya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H