Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Tutut Setyorinie, Game Changer Lingkungan lewat Ngompos di Rumah

31 Desember 2024   07:00 Diperbarui: 31 Desember 2024   13:45 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompasianer Tutut Setyorinie/Dok. Pribadi (Tutut Setyorinie)

Bagaimana rasanya ketika kita bisa menyuarakan keresahan dengan memaksimalkan platform yang kita punya, lalu bisa menginspirasi orang lain? Apakah kamu pernah melakukan aksi [yang terlihat] kecil tapi berdampak besar? 

Itulah yang sedang dilakukan Kompasianer Tutut Setyorinie. Lewat mengompos di rumah dan membagikan kisahnya di Kompasiana, Tutut mengingatkan kita semua akan pentingnya menjaga bumi tetap lestari dari ancaman sampah saat ini. 

Salah satu konten Tutut Setyorinie di Kompasiana/Dok. Tangkapan layar profil Tutut Setyorinie, Kompasiana
Salah satu konten Tutut Setyorinie di Kompasiana/Dok. Tangkapan layar profil Tutut Setyorinie, Kompasiana

Berawal dari Keresahan

Semua dicetuskan secara otodidak dan mandiri. Dari rumah. Berbekal kepedulian dan keresahan sebagai seorang warga.  

"Awalnya saya mengira slogan 'Buanglah Sampah pada Tempatnya' sudah cukup untuk mengatasi permasalahan sampah di Indonesia. Namun faktanya, tempat pembuangan sampah kini pun sudah kewalahan," kata Tutut kepada Kompasiana, belum lama ini. 

Tutut Setyorinie mengajak kita semua untuk mengompos!/Dok. Pribadi (Tutut Setyorinie)
Tutut Setyorinie mengajak kita semua untuk mengompos!/Dok. Pribadi (Tutut Setyorinie)

Tahun 2024 menjadi langkah kecil Tutut untuk konsisten memulai aksinya. Sebagai warga Bekasi, Jawa Barat, Tutut khawatir timbulan sampah di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang semakin tidak terkendali. 

"Tinggi TPST Bantar Gebang makin ke sini sudah setara dengan gedung 16 lantai alias 40 meter, khawatir nggak, sih?" ucap Tutut.

Tidak ada kompos yang gagal!/Dok. Pribadi (Tutut Setyorinie)
Tidak ada kompos yang gagal!/Dok. Pribadi (Tutut Setyorinie)

Makanya saya harus melakukan sesuatu yang bisa menyelamatkan lingkungan daerah saya sendiri dulu, yaitu lewat mengompos. - Tutut Setyorinie

Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), timbulan sampah di Indonesia pada tahun 2023 sebesar 69,9 juta ton. Berdasarkan komposisinya, sampah di Indonesia didominasi oleh sampah sisa makanan sebesar 41,60% dan sampah plastik sebesar 18,71%. Sampah terbanyak berasal dari Rumah Tangga dengan persentase sekitar 44,37%.

Selengkapnya, bisa kamu baca di sini:

Kita Perlu Naik Level, dari Membuang Sampah Jadi Kelola Sampah

Zona 2 TPST Bantargebang wilayah DKI Jakarta di Bekasi (29/10/2023). Dok. Kompas.com/Nabilla Ramadhian
Zona 2 TPST Bantargebang wilayah DKI Jakarta di Bekasi (29/10/2023). Dok. Kompas.com/Nabilla Ramadhian

Dengan hadirnya data ini, Tutut tidak ingin menjadi salah satu penyumbang sampah dapur. Setidaknya, lewat mengompos, Tutut bisa meminimalisasi jumlah sampah organik yang diangkut setiap hari dari rumahnya. Karena Idealnya, sampah organik seperti sampah rumah tangga bisa dikelola dengan baik oleh masing-masing rumah tangga, bukan berakhir di tempat sampah, apalagi di TPA atau TPST. 

Jadikan mengompos sebagai lifestyle!/Dok. Pribadi (Tutut Setyorinie)
Jadikan mengompos sebagai lifestyle!/Dok. Pribadi (Tutut Setyorinie)

Sebelum mengompos, Tutut dan keluarga bisa menghasilkan hingga tiga kantong sampah per hari dan membuangnya di tong sampah depan rumah. Dengan rutin membayar iuran sampah setiap pekannya, akan ada petugas yang membawa sampah ke TPST Bantargebang. 

"Dua kantong sampah yang kita hasilkan setiap hari, kalau dikumpulin setahun atau 365 hari, terus dikali lagi sama berapa tahun masa hidup kita. Udah berapa coba, hanya dari satu rumah tangga saja? Berapa banyak sampah yang kita sumbang ke TPA dan TPST?" kata Tutut. 

Oke. Mulai Mantap Mengompos!

Proses awal Tutut saat mengompos/Dok. Pribadi (Tutut Setyorinie)
Proses awal Tutut saat mengompos/Dok. Pribadi (Tutut Setyorinie)

Meskipun belajar secara mandiri, otodidak, dan belum ikut komunitas, itu semua tak menyurutkan niat Tutut untuk mantap mengompos. Tutut mengumpulkan sampah organik seperti sampah dapur alias sampah hijau, mencari  dedaunan, ranting, kertas, kardus, serpihan kayu, dan rumput kering alias sampah coklat, menyulap wadah bekas seperti ember dan drum sampah menjadi komposter, dan menyimpan air cucian beras sebagai bioaktivator. 

"Sebetulnya hal paling utama yang kamu perlukan adalah niat, kesabaran, dan konsistensi, karena tiga hal itu sangat challenging," kata Tutut. 

Aktivitas Tutut mengompos di Rumah/Dok. Pribadi (Tutut Setyorinie)
Aktivitas Tutut mengompos di Rumah/Dok. Pribadi (Tutut Setyorinie)

Dukungan dari keluarga juga sangat membantu Tutut untuk konsisten dalam mengompos. Awal mengompos, Tutut dan keluarga berbagi tugas dan bekerja sama. 

"Ibu saya memisahkan sampah, saya mencacah sampah, adik saya mengaduk isi kompos, ayah saya mengangkut kompos yang siap panen," ucapnya. 

Tutut mengaku, konsistensi untuk mengompos memang bukan perkara mudah, apalagi untuk pemula. Sebelum berangkat kerja misalnya, Tutut perlu ikut menyetor sampah di pagi hari untuk dikumpulkan hingga mengaduk kompos setiap minggunya. Tutut juga harus bisa membagi waktu antara pekerjaan rumah, pekerjaan di kantor, kehidupan pribadi, dan tentunya mengompos.

Kompos yang sudah jadi/Dok. Pribadi (Tutut Setyorinie)
Kompos yang sudah jadi/Dok. Pribadi (Tutut Setyorinie)

Dibutuhkan proses hingga 40 hari untuk membuat kompos menjadi ideal, mulai dari mengumpulkan sampah, mencampurkan material sampah hijau dan coklat, hingga menunggu proses penguraian selesai. Semua komposisi bahan mesti seimbang dan rutin diaduk agar proses pengomposan bisa berjalan lebih cepat. 

"Mengompos mengajarkan kita untuk kembali menghargai proses bahwa tidak ada sesuatu yang instan," ungkap Tutut. 

Ngompos, yuk!/Dok. Pribadi (Tutut Setyorinie)
Ngompos, yuk!/Dok. Pribadi (Tutut Setyorinie)

Tantangan Mengompos bagi si Pemula: "Bau dan Jijik!"

Saat awal-awal mengompos dan membagikan aktivitasnya di media sosial, teman-teman Tutut penasaran. Dengan mengumpulkan sampah dapur setiap harinya, apakah Tutut tidak merasa jijik? Bukankah sampah dapur baunya sangat menyengat jika tidak dibuang sesegera mungkin?

"Mengompos identik dengan sampah. Hal ini yang membuat kompos rentan bau menyengat dan hewan kecil menjijikan tidak bisa bisa hingga," ucap Tutut.

Tapi, kata Tutut, dari situ ia belajar bahwa kompos yang baik dan bernutrisi seharusnya memang tidak berbau menyengat atau dihinggapi serangga. Bau busuk atau menyengat dari sampah dapur biasanya disebabkan karena sampahnya terlalu basah. Itu semua bisa disiasati dengan menambah material sampah kering atau sampah coklat dan menambah bioaktivator secara rutin untuk menyerap bau. 

Satu hal yang saya petik dari mengompos adalah 'tidak ada kompos yang gagal. -Tutut Setyorinie

Hasil kompos bisa bermanfaat untuk pupuk tanaman/Dok. Pribadi (Tutut Setyorinie)
Hasil kompos bisa bermanfaat untuk pupuk tanaman/Dok. Pribadi (Tutut Setyorinie)

Kalau komposmu bau busuk dan terlalu basah, segera jemur di bawah sinar matahari dan tambahkan material kering. Jika komposmu dipenuhi belatung, lalat, semut, dan cacing, itu pertanda sampah dapur yang kamu kumpulkan mengandung lemak atau material hewani seperti keju, susu, tulang ayam dan tulang ikan. 

Tapi, bukan berarti komposmu gagal. 

"Belatung dan cacing bisa mempercepat proses dekomposisi kompos dan membuat komposmu cepat jadi. Tapi kalau kamu terganggu dengan kehadiran mereka, kamu bisa menambahkan material coklat atau sampah keringnya," kata Tutut. 

Kegiatan mengompos di pekarangan rumah/Dok. Pribadi (Tutut Setyorinie)
Kegiatan mengompos di pekarangan rumah/Dok. Pribadi (Tutut Setyorinie)

Ketika kompos sudah jadi dan siap pakai, Tutut langsung mengaplikasikan kompos buatannya untuk pupuk. Hasilnya? Tanaman di pekarangan rumahnya tumbuh subur. Bahkan, jika aktivitas mengompos bisa dilakukan jangka panjang, Tutut terbesit untuk menjual hasil komposnya agar ekonomi sirkular bisa tercipta. 

"Kalau saja kita mengompos semua sampah organik, lalu memilah sampah anorganik untuk dikumpulkan ke pengepul, alhasil sampah yang kita setor ke TPA bisa berkurang atau bahkan nol!," ucap Tutut. 

Bumi Butuh Kompos lewat tanganmu!/Dok. Pribadi (Tutut Setyorinie)
Bumi Butuh Kompos lewat tanganmu!/Dok. Pribadi (Tutut Setyorinie)

Berbagi lewat Tulisan

Yang membuat istimewa, aksi ini tidak Tutut simpan sendiri. Sebagai Kompasianer, Tutut membagikan cerita, keresahan, dan aktivitas mengomposnya di Kompasiana. Tutut mengedukasi sesama Kompasianer untuk ikut terlibat menjaga lingkungan, dimulai dari rumah sendiri.

Lewat tulisan, Tutut merasa bisa merangkum pengalaman mengomposnya secara komprehensif. Jadi, ketika ada yang ingin mulai mengompos atau bertukar informasi soal kompos, Tutut berharap bisa menjawabnya lewat tulisan yang ia bagikan. 

Konsistensi Tutut yang menginspirasi kita semua/Dok. Pribadi (Tutut Setyorinie)
Konsistensi Tutut yang menginspirasi kita semua/Dok. Pribadi (Tutut Setyorinie)

Harapan lainnya tentu agar cerita mengompos ini dapat menjangkau khalayak yang lebih luas dan menjadi amal jariyah saya untuk di akhirat. -Tutut Setyorinie

Kesabaran dan konsistensi Tutut pun berbuah manis. Siapa sangka, langkah kecil yang berawal dari keresahan pribadi, bisa mengantarkan Tutut untuk meraih penghargaan The Game Changer di Kompasiana Awards 2024. Penghargaan ini diberikan kepada Kompasianer yang aktif menyuarakan dan turut terlibat dalam mendukung kehidupan yang lebih lestari. 

Tutut Setyorinie (kanan) memenangi penghargaan Kompasiana Awards untuk kategori The Game Changer/Dok. Kompasiana
Tutut Setyorinie (kanan) memenangi penghargaan Kompasiana Awards untuk kategori The Game Changer/Dok. Kompasiana

Tulisan dan cerita Tutut menginspirasi kita semua agar jangan pernah ragu melakukan aksi sekecil apa pun--toh, bisa saja gerakan kecilmu berdampak besar untuk dirimu sendiri dan untuk orang-orang di sekitarmu, bahkan untuk lingkungan. Jika setiap keluarga tergerak untuk mengompos atau mengelola sampah, ditambah keterlibatan pemerintah dalam menyediakan fasilitas, pastinya beban TPST atau TPA akan berkurang. 

Game Changer: #BumiButuhKompos


Game Changer adalah program baru di Kompasiana yang mendukung kehidupan Lestari melalui isu sustainability. Lewat program ini, Kompasiana mendukung perubahan nyata untuk Indonesia dengan mengedepankan aksi kolaboratif.

Setelah berkolaborasi dengan Kompasianer Dayu Rifanto dan berbagai komunitas untuk mewujudkan #SemuaBisaBelajar, Game Changer kembali hadir lewat gerakan #BumiButuhKompos. Kali ini, Kompasiana berkolaborasi dengan Tutut Setyorinie untuk mewujudkan aksi kolektif bersama Kompasianer dan komunitas untuk menjaga bumi lewat mengompos dari rumah. 

Mau coba mengompos? Mau selamatkan lingkungan seperti Tutut? Yuk, ikuti terus cerita Tutut Setyorinie dan ramaikan #BumiButuhKompos di Kompasiana, ya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun