Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Tutut Setyorinie, Game Changer Lingkungan lewat Ngompos di Rumah

31 Desember 2024   07:00 Diperbarui: 31 Desember 2024   13:45 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompasianer Tutut Setyorinie/Dok. Pribadi (Tutut Setyorinie)

Dukungan dari keluarga juga sangat membantu Tutut untuk konsisten dalam mengompos. Awal mengompos, Tutut dan keluarga berbagi tugas dan bekerja sama. 

"Ibu saya memisahkan sampah, saya mencacah sampah, adik saya mengaduk isi kompos, ayah saya mengangkut kompos yang siap panen," ucapnya. 

Tutut mengaku, konsistensi untuk mengompos memang bukan perkara mudah, apalagi untuk pemula. Sebelum berangkat kerja misalnya, Tutut perlu ikut menyetor sampah di pagi hari untuk dikumpulkan hingga mengaduk kompos setiap minggunya. Tutut juga harus bisa membagi waktu antara pekerjaan rumah, pekerjaan di kantor, kehidupan pribadi, dan tentunya mengompos.

Kompos yang sudah jadi/Dok. Pribadi (Tutut Setyorinie)
Kompos yang sudah jadi/Dok. Pribadi (Tutut Setyorinie)

Dibutuhkan proses hingga 40 hari untuk membuat kompos menjadi ideal, mulai dari mengumpulkan sampah, mencampurkan material sampah hijau dan coklat, hingga menunggu proses penguraian selesai. Semua komposisi bahan mesti seimbang dan rutin diaduk agar proses pengomposan bisa berjalan lebih cepat. 

"Mengompos mengajarkan kita untuk kembali menghargai proses bahwa tidak ada sesuatu yang instan," ungkap Tutut. 

Ngompos, yuk!/Dok. Pribadi (Tutut Setyorinie)
Ngompos, yuk!/Dok. Pribadi (Tutut Setyorinie)

Tantangan Mengompos bagi si Pemula: "Bau dan Jijik!"

Saat awal-awal mengompos dan membagikan aktivitasnya di media sosial, teman-teman Tutut penasaran. Dengan mengumpulkan sampah dapur setiap harinya, apakah Tutut tidak merasa jijik? Bukankah sampah dapur baunya sangat menyengat jika tidak dibuang sesegera mungkin?

"Mengompos identik dengan sampah. Hal ini yang membuat kompos rentan bau menyengat dan hewan kecil menjijikan tidak bisa bisa hingga," ucap Tutut.

Tapi, kata Tutut, dari situ ia belajar bahwa kompos yang baik dan bernutrisi seharusnya memang tidak berbau menyengat atau dihinggapi serangga. Bau busuk atau menyengat dari sampah dapur biasanya disebabkan karena sampahnya terlalu basah. Itu semua bisa disiasati dengan menambah material sampah kering atau sampah coklat dan menambah bioaktivator secara rutin untuk menyerap bau. 

Satu hal yang saya petik dari mengompos adalah 'tidak ada kompos yang gagal. -Tutut Setyorinie

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun