Dukungan dari keluarga juga sangat membantu Tutut untuk konsisten dalam mengompos. Awal mengompos, Tutut dan keluarga berbagi tugas dan bekerja sama.Â
"Ibu saya memisahkan sampah, saya mencacah sampah, adik saya mengaduk isi kompos, ayah saya mengangkut kompos yang siap panen," ucapnya.Â
Tutut mengaku, konsistensi untuk mengompos memang bukan perkara mudah, apalagi untuk pemula. Sebelum berangkat kerja misalnya, Tutut perlu ikut menyetor sampah di pagi hari untuk dikumpulkan hingga mengaduk kompos setiap minggunya. Tutut juga harus bisa membagi waktu antara pekerjaan rumah, pekerjaan di kantor, kehidupan pribadi, dan tentunya mengompos.
Dibutuhkan proses hingga 40 hari untuk membuat kompos menjadi ideal, mulai dari mengumpulkan sampah, mencampurkan material sampah hijau dan coklat, hingga menunggu proses penguraian selesai. Semua komposisi bahan mesti seimbang dan rutin diaduk agar proses pengomposan bisa berjalan lebih cepat.Â
"Mengompos mengajarkan kita untuk kembali menghargai proses bahwa tidak ada sesuatu yang instan," ungkap Tutut.Â
Tantangan Mengompos bagi si Pemula: "Bau dan Jijik!"
Saat awal-awal mengompos dan membagikan aktivitasnya di media sosial, teman-teman Tutut penasaran. Dengan mengumpulkan sampah dapur setiap harinya, apakah Tutut tidak merasa jijik? Bukankah sampah dapur baunya sangat menyengat jika tidak dibuang sesegera mungkin?
"Mengompos identik dengan sampah. Hal ini yang membuat kompos rentan bau menyengat dan hewan kecil menjijikan tidak bisa bisa hingga," ucap Tutut.
Tapi, kata Tutut, dari situ ia belajar bahwa kompos yang baik dan bernutrisi seharusnya memang tidak berbau menyengat atau dihinggapi serangga. Bau busuk atau menyengat dari sampah dapur biasanya disebabkan karena sampahnya terlalu basah. Itu semua bisa disiasati dengan menambah material sampah kering atau sampah coklat dan menambah bioaktivator secara rutin untuk menyerap bau.Â
Satu hal yang saya petik dari mengompos adalah 'tidak ada kompos yang gagal. -Tutut Setyorinie