Cerita lain datang dari PLt Kepala Sekolah di SD No. 1 Kerobokan, Bali, Putu Erry. Putu yang juga Kompasianer itu mengatakan, beberapa guru memang ada yang sudah mendapat pelatihan, tetapi tidak semua guru siap ketika berhadapan langsung dengan siswa berkebutuhan khusus.
Hal ini jadi perhatian Putu karena sejak menjadi PLt Kepala Sekolah, sudah sejak 2017, Surat Keputusan (SK) sudah diberikan sebagai salah dua sekolah inklusi di Kabupaten Badung.
Meski sulit mencari guru dengan latar belakang psikologi, tetapi perlahan semua pihak stakeholder di sekolah sama-sama membantu: dari memahami dan bahkan memberikan dukungan.
Hak mendapatkan pendidikan menjadi hak semua anak, termasuk anak penyandang disabilitas.
Sekarang ini sistem pendidikan Indonesia memberi pilihan bagi anak-anak difabel, mau ke Sekolah Luar Biasa (SLB) ataupun sekolah reguler yang menyatakan dirinya sebagai sekolah inklusi.
Sedikit tentang sekolah inklusi itu sendiri, merupakan sekolah reguler yang menyatakan dirinya menerima juga anak-anak berkebutuhan khusus.
Sekolah inilah yang jadi tempat Kompasianer Putu Erry mengabdi sebagai PLt Kepala Sekolah dengan total 18 siswa anak berkebutuhan khusus pada tiap tingkat kelas.
Meski tidak ada penanda sebagai sekolah inklusi yang tertera di plang sekolah, masyarakat bisa mengetahui sekolah ini sebagai sekolah yang menerima ABK.
Itupun dari 18 siswa yang terdaftar, sekolahnya masih menerima siswa yang berada di luar zonasi SD No. 1 Kerobokan.
Sebelum masuk sekolah, kata Kompasianer Erry, memang setiap anak akan terlebih dulu melakukan screening hingga assessment awal. Tantangannya adalah tidak mau mengakui keadaan anaknya.
"Tantangannya memang ada, mungkin merasa malu, tetapi rata-rata tidak ada orangtua yang sampai tidak menyekolahkan anaknya," lanjut Kompasianer Erry.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya