Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tetap Saja Marak, Kapan KDRT Ini Bisa Berakhir?

19 November 2023   21:01 Diperbarui: 19 November 2023   21:03 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Mural yang menyampaikan pesan agar tidak lakukan KDRT. (Foto: KOMPAS/AGUS SUSANTO)

Peristiwa yang tidak mengenakan datang dari seorang dokter asal Bogor, Qory Ulfiyah Ramayanti (37) ketika jadi korban KDRT oleh suaminya setelah memberi kejutan ulang tahun.

Setelah mengalami luka dan tindakan dari suaminya (kini sudah ditangkap dan dijadikan tersangka), Dokter Qory lantas pergi berjalan kaki ke ke rumah singgah PT2TP2A.

Hal yang tidak terbayangkan, padahal saat itu Dokter Qory sedang hamil 6 bulan dan masih menerima KDRT berulang kali.

Kejadian serupa bisa jadi terjadi di dekat kita, hanya saja kerap kita tidak memahami bagaimana mesti bersikap jika terjadi KDRT.

Berikut ini pandangan Kompasianer tentang beberapa tindak KDRT yang masih menyelimuti dan momok bagi perempuan.

1. Pelajaran dari Peristiwa dr. Qory, Sekali Lakukan KDRT, Segera Tinggalkan Pasanganmu

Berdasarkan pengalaman Kompasianer Fery W. membantu temannya yang mengalami KDRT yaitu tinggalkan saja pasangan itu.

"Meskipun tekadang karena berkelindannya rasa cinta atau urusan lain seperti memperhitungkan keberadaan anak, situasi yang seharusnya mudah itu jadi sulit," tulisnya.

Karena hal yang kerap diketahui Kompasianer Fery W. pasti setelah melakukan KDRT, minta maaf, kadang sampai nangis-nangis merasa menyesal.

Pesannya tetap sama dan tegas, baginya, yakni begitu pasanganmu melakukan KDRT, saat itu juga langsung tinggalkan. (Baca selengkapnya)

2. Tindakan Preventif agar Kisah Cinta Tidak Berakhir dengan KDRT

Kompasianer Martha Weda menilai dalam pernikahan kerap konflik bisa muncul dari hal-hal kecil.

Hanya saja setiap hal-hal kecil dalam pernikahan bisa membesar dan dapat memicu KDRT baik fisik maupun mental.

"Banyak rumah tangga yang berujung pada KDRT karena ketidaksetiaan. Mulai dari kebiasaan suami yang suka "jajan", selingkuh, punya wanita simpanan, bahkan menikah lagi," tulisnya.

Oleh karena itu, alangkah baiknya sebelum melanjutkan ke jenjang perkawinan mesti membuat kesepakatan terlebih dulu kepada (calon) suami. (Baca selengkapnya)

3. Reversi Korban KDRT dan Cara Kita Memandang Kekerasan Terhadap Perempuan

Pada tahun 2022 Komnas Perempuan memuat laporan ada 325.534 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.

Akan tetapi ada yang membuat Kompasianer Yana Haudy miris setiap kali kasus KDRT terjadi: tidak sedikit orang yang malah menyalahkan perempuan dengan berbagai asumsi tanpa dasar.

"Tiap terjadi KDRT yang membuat seorang perempuan terluka batin, babak belur fisik, apalagi sampai tewas, yang salah tetaplah si lelaki," tulis Kompasianer Yana Haudy.

Maka, setiap kali KDRT terjadi, Kompasianer Yana Haudy megingatkan untuk tetap untuk menolong korban. Paling tidak, mau jadi teman curhat yang baik untuknya tanpa mesti menghakimi. (Baca selengkapnya)

4. Perilaku Manipulatif Pelaku KDRT yang Dapat Memperburuk Kondisi Korban

Perilaku manipulatif yang merupakan cikal bakal KDRT, menurut Kompasianer Luna Septalisa, bahkan dapat memperburuk kondisi korban KDRT.

Karena kita semua berharap tidak ada seorang pun yang mau jadi korban KDRT. Karena potensi perilaku KDRT sebenarnya bisa dibaca dari sebelum memasuki jenjang pernikahan, misalnya ketika masih pacaran.

Sebagai contoh, ketika rasa cinta dilakukan secara berlebihan, justru cinta itu sendiri jadi kehilangan makna, palsu dan manipulatif.

Jika sudah terjadi demikian, dalam pandangan Kompasianer Luna Septalisa, bisa jadi korban love bombing.

"Alih-alih mengakui perilaku pasangan sebagai bagian dari kekerasan, korban love bombing akan menyalahkan diri sendiri ketika pasangan berperilaku kasar padanya," tulisnya. (Baca selengkapnya)

***

Tanam ini dalam hati dan pikiran: ebab tidak ada ruang sedikitpun ruang untuk tindak kekerasan dalam rumah tangga; apapun alasan dan pembenarannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun